indeks
Dampak Pidato Presiden yang Sebut Makar dan Terorisme dalam Aksi Demonstrasi

Presiden dan para pimpinan partai politik gagal paham menanggapi dinamika sosial politik dan ekonomi yang memicu kemarahan rakyat.

Penulis: Dita Alyaaulia, Astri Yuana Sari

Editor: Sindu

Audio ini dihasilkan oleh AI
Google News
Dampak Pidato Presiden yang Sebut Makar dan Terorisme dalam Aksi Demonstrasi
Presiden Prabowo bersama pimpinan lembaga negara dan ketua umum parpol saat merespons aksi demo di Istana Merdeka, Minggu, 31 Agustus 2025. Foto: BPMI Setpres

KBR, Jakarta- Pidato Presiden Prabowo yang menyebut ada aksi tuntutan rakyat yang mengarah ke makar dan terorisme membuat sebagian kalangan mahasiswa berpikir ulang saat akan demo lagi.

Salah satu yang khawatir adalah Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI). Ketua BEM UI, Agus Setiawan mengatakan, pernyataan presiden merugikan mereka yang ingin menyuarakan tuntutan.

"Tim investigasi independen untuk dibentuk sesegera mungkin mengusut tuntas berbagai persoalan berkaitan dengan dugaan makar terutama sehingga Kemudian kami bisa lebih lega bahwa gerakan kami hari ini ditunggangi oleh siapa harus jelas dalangnya siapa," katanya saat bertemu pimpinan DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 03 September 2025.

Pertemuan itu juga dihadiri DPP GMNI, BEM UPNVJ, Dema PTKIN seluruh Indonesia, Kepresidenan Mahasiswa Universitas Trisakti dan HMI DIPO. Lalu, GMKI, KAMMI, HMI-MPO, BEMSI Kerakyatan, BEM Nusantara, BEM PTNU se-Nusantara, dan BEMSI Rakyat Bangkit.

Selain tuntutan pengesahan RUU Perampasan Aset, pembatalan kenaikan tunjangan, mereka juga sepakat dibentuk tim investigasi independen untuk mengusut kematian sepuluh orang saat demo, korban luka-luka, juga pernyataan presiden tentang makar dan terorisme.

red
Pimpinan DPR bertemu sejumlah perwakilan BEM di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 3 September 2025. Foto: Tangkapan Layar YouTube DPR
KBR


Respons Presiden

Pernyataan itu disampaikan Presiden Prabowo Subianto menanggapi serangkaian aksi demo di berbagai daerah mulai akhir Agustus hingga awal September 2025.

Didampingi pimpinan DPR/MPR dan ketua umum sejumlah parpol di parlemen, presiden mengklaim, hak untuk berkumpul secara damai harus dihormati dan dilindungi.

"Namun, kita tidak dapat pungkiri ada gejala tindakan-tindakan melawan hukum, bahkan ada yang mengarah kepada makar dan terorisme," katanya di Istana, Minggu, 31 Agustus 2025.

Presiden juga menyampaikan beberapa hal lain, seperti tindakan transparan dan cepat terhadap aparat yang bertindak salah. Pemotongan tunjangan DPR dan moratorium kunjungan ke luar negeri.

Membuka dialog dari berbagai elemen masyarakat, dan instruksi ke TNI/Polri untuk tindak tegas pelaku kerusuhan.

Menuai Kritik

Pernyataan presiden menuai kritik dari Koalisi Masyarakat Sipil. Menurut mereka, presiden dan para pimpinan partai politik gagal paham menanggapi dinamika sosial politik dan ekonomi yang memicu kemarahan rakyat.

Menurut Koalisi, aksi demo di berbagai daerah adalah akumulasi berbagai persoalan yang bermuara pada pemborosan uang rakyat dan perilaku korup di tengah penderitaan publik. Bukan hanya soal pernyataan sebagian anggota DPR.

Koalisi kecewa, kepala negara dan ketua parpol gagal mengungkap brutalitas aparat dalam penanganan demonstrasi. Tak ada koreksi dan perintah menjamin kebebasan berekspresi sesuai standar HAM, seperti yang tertuang di Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR).

"Prabowo malah menggiring arah represi baru dengan menyebut demonstran adalah pelaku makar dan terorisme. Ini jelas membahayakan segenap bangsa dan nyawa rakyat Indonesia," bunyi rilis pers mereka yang diterima KBR.

red
Presiden Prabowo usai menjenguk warga dan polisi yang jadi korban aksi demo, Senin, 1 September 2025. Foto: presidenri.go.id
KBR


Mengulang Kata Makar

Meski dikritik, esok harinya Presiden Prabowo kembali menyebut kata makar usai menjenguk polisi dan masyarakat korban demo di RS Polri, Kramat Jati, Senin, 1 September 2025. Ia mencontohkan, pembakaran gedung DPRD Makassar, hingga menyebabkan jatuhnya korban jiwa.

"Di Sulawesi Selatan, empat ASN, orang tidak bersalah, orang tidak berpolitik menjadi korban. Gedung DPRD dibakar, ini tindakan-tindakan makar, bukan penyampaian aspirasi."

Menurut kepala negara, tindakan itu bukan penyampaian pendapat, tetapi membuat kerusuhan. Presiden juga menyinggung temuan truk berisi petasan dan peralatan bakar yang disebutnya digunakan untuk merusak gedung DPR dan kantor pemerintahan.

Dia kembali mengklaim, pemerintah menghargai masyarakat yang ingin menyampaikan pendapat.

Pemerintah Menyebarkan Ketakutan terhadap Warganya

LBH-YLBHI menilai, perintah presiden agar TNI/Polri menindak tegas massa aksi, membuat tingkat represi aparat meningkat signifikan. Perintah itu ditambah dengan pernyataan Menteri Pertahanan, Sjafrie Sjamsoeddin yang menginstruksikan TNI dan Polri "bekerja sama menjaga keamanan."

"Intensistas represi aparat gabungan semakin brutal. Pengerahan tentara dalam patroli sudah menunjukkan aparat gabungan tak lagi bergerak mengamankan aksi, namun sudah mengarah pada represi sistematis dan bentuk teror terhadap rakyat," bunyi rilis LBH-YLBHI, Selasa, 2 September 2025.

Buktikan!

Pakar hukum tata negara dari Universitas Padjajaran, Susi Dwi Harijanti menyerukan Presiden Prabowo membuktikan siapa yang makar dan siapa terorisme yang ia maksud. Susi tidak ingin pernyataan itu sekadar dugaan atau prasangka, yang ujungnya buruk bagi demokrasi.

Susi menekankan, penggunaan istilah makar dan terorisme tidak boleh sekadar stempel untuk membungkam kritik publik.

“Justru pemerintah harus membuktikan apa yang dimaksudkan tindakan makar, tindakan terorisme itu. Jadi, itu harus clear betul presiden ketika mengatakan ini mengarah kepada makar dan terorisme. Siapa yang melakukan makar? Siapa yang melakukan terorisme? Jangan hanya sekedar sangkaan-sangkaan dan dugaan-dugaan. Karena itu akan berbahaya bagi berjalannya demokrasi,” jelasnya.

Susi juga menyayangkan, pidato yang disampaikan kepala negara belum menjawab atau menyentuh akar masalah penyebab demonstrasi.

“Sebetulnya, kan, akar persoalannya adalah ketidakpuasan publik terhadap berbagai kebijakan-kebijakan yang telah dibuat pemerintah juga bukan hanya sekadar oleh legislator,” ujar Susi.

Ia juga menyoroti perintah presiden kepada aparat untuk menindak setegas-tegasnya. Menurutnya, instruksi tersebut menimbulkan kekhawatiran besar di kalangan masyarakat sipil karena berpotensi melanggengkan siklus kekerasan yang sudah pernah menelan korban jiwa.

“Karena sebetulnya yang terjadi itu adalah terutama setelah terlindasnya, ya, setelah kematian Affan itu menunjukkan protes massa itu memperlihatkan kanal ekspresi akumulasi kekecewaan yang luar biasa. Dan ketika ada perintah-perintah semacam itu, maka kita akan melihat bagaimana nanti penanganan-penanganan terhadap demonstrasi-demonstrasi yang dilakukan oleh para mahasiswa. Misalkan jangan-jangan itu akan terjadi kekerasan lagi. Ini yang dikhawatirkan, kekerasan akan terjadi berulang-ulang,” kata Susi.

red
Massa dihujani gas air mata aparat saat aksi demo Bubarkan DPR di Jakarta, Senin, 25 Agustus 2025. Foto: LBH Jakarta
KBR


Memilah Suara Rakyat

Susi juga menyoroti istilah aspirasi murni yang dilontarkan Presiden. Menurutnya, frasa tersebut berbahaya karena bisa digunakan memilah-milah suara rakyat sesuai standar pemerintah, bukan berdasarkan realitas keresahan masyarakat.

“Sekarang bagaimana kriteria bahwa satu aspirasi itu dikatakan murni dan ada satu aspirasi yang dikatakan sebagai aspirasi yang tidak murni? Apakah ketika rakyat berdemonstrasi tetapi menentang kenaikan PBB yang demikian tinggi apakah itu bukan aspirasi yang murni? Semua suara rakyat itu harus didengar, karena presiden harus ingat, bahwa dia terpilih menjadi presiden itu karena suara rakyat,” tegasnya.

Tak hanya itu, Susi juga mengkritik keras narasi pemerintah yang selalu mengaitkan aksi protes dengan keterlibatan asing. Ia menilai tuduhan seperti itu bukan saja tanpa bukti, tetapi juga kontradiktif dengan kenyataan bahwa proyek pembangunan nasional justru dibiayai investasi asing.

“Tunjukkan dong, kalau itu asing. Siapa yang ini? … Memang pembangunan Indonesia enggak dibiayai asing? Emang pembuatan kereta api cepat Indonesia tidak didanai pinjaman-pinjaman asing? Emang IKN ketika Presiden Jokowi untuk proyek-proyek IKN emang tidak mengundang investasi asing? Sama sebetulnya pemerintah Indonesia pun gitu ya menggunakan bantuan-bantuan asing gitu,” ujarnya.

Menurut Susi, minti gelombang protes ini bukanlah makar, melainkan letupan akumulasi kekecewaan rakyat terhadap ketidakadilan ekonomi. Kata dia, publik tidak membutuhkan lagi janji-janji normatif, melainkan koreksi kebijakan yang nyata.

“Seharusnya itu ditinjau ulang, dievaluasi ulang. … berbagai kebijakan-kebijakan di bidang ekonomi yang dipandang masyarakat itu kurang memperlihatkan rasa keadilan,” pungkasnya

Catatan dan Temuan Lembaga HAM

Komnas HAM menyoroti pola aparat mengamankan aksi demonstrasi di berbagai wilayah. Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah, menyebut pendekatan kekerasan masih digunakan, baik saat masyarakat menyampaikan pendapat maupun ketika pembubaran massa, termasuk dengan penggunaan gas air mata.

“Sehingga beberapa peserta aksi yang kami temui di beberapa kantor kepolisian itu mereka mengalami luka-luka yang cukup serius karena pendekatan aparat yang tidak humanis dalam proses pengamanan aksi. Saya kira itu situasi awal,” ujar Anis Hidayah saat konferensi pers bersama lembaga nasional HAM, Rabu, 3 September 2025

Data Polri per Selasa, 2 September menunjukkan, ada 3.195 orang ditangkap selama demonstrasi, 55 di antaranya ditetapkan sebagai tersangka. Terbanyak di Jakarta, yakni sekitar 1.240 orang.

Rinciannya:

1. Polda Metro Jaya: 1.240 orang

2. Polda Jatim: 709 (173 dipulangkan, 485 tahap pemeriksaan, 51 tersangka)

3. Polda Jabar: 147 orang (23 dipulangkan, 124 tahap pemeriksaan)

4. Polda Jateng: 653 orang tahap pemeriksaan.

5. Polda Bali: 138 orang (38 dipulangkan, 100 tahap pemeriksaan)

6. Polda Kalbar: 91 orang (86 dipulangkan, 5 tahap pemeriksaan)

7. Polda Sumsel: 63 orang tahap pemeriksaan. Polda 8. Polda DIY: 60 orang tahap pemeriksaan

9. Polda Sumut: 50 orang (48 dipulangkan, 2 tahap pemeriksaan karena positif narkoba)

10. Polda Jambi: 17 orang telah dipulangkan

11. Polda Banten: 15 orang tahap pemeriksaan

12. Polda Sulbar: 6 orang tahap pemeriksaan.

13. Polda Papua Barat: 4 orang ditetapkan tersangka

14. Polda Sulteng: 1 orang telah dipulangkan

15. Polda NTB: 1 orang telah dipulangkan.

red
Direktur Eksektutif Lokataru Foundation Delpedro Marhaen. IG Lokataru Foundation
KBR


Aktivis Ditangkap

Dari ribuan yang ditangkap, di antaranya termasuk anak-anak, perempuan, dan juga para aktivis. Antara lain, Direktur Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen.

Juru bicara Polda Metro Jay, Ade Ary Syam Indradi mengatakan, Direktur Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen sudah ditetapkan sebagai tersangka. Penetapan tersangka diklaim dilakukan setelah proses penyelidikan sejak 25 Agustus 2025.

"Penyidik dari Direktorat Reskrimum Polda Metro Jaya telah melakukan penangkapan terhadap saudara DMR, atas dugaan melakukan ajakan, hasutan yang provokatif untuk melakukan aksi anarkis, dengan melibatkan pelajar termasuk anak. Ya jadi anak ini usianya sebelum 18 tahun," kata Ade dalam keterangan pers di Polda Metro Jaya, Selasa (2/9/2025).

Ade Ary menyebut, Delpedro diduga melanggar sejumlah pasal, yakni Pasal 160 KUHP, Pasal 45A ayat (3) juncto Pasal 28 ayat (3) UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang ITE, dan Pasal 76H juncto Pasal 15 juncto Pasal 87 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Sebelumnya, melalui unggahan di media sosial, Lokataru Foundation mengabarkan, Delpedro Marhaen dijemput paksa polisi, Senin, (1/9) pukul 22.45.

Penangkapan dilakukan tanpa penjelasan resmi mengenai dasar hukum dan tidak ada surat perintah yang ditunjukkan saat kejadian, dan aparat langsung membawa ke arah Polda Metro Jaya.

"Penangkapan sewenang-wenang, ancaman terhadap kebebasan sipil. Kriminalisasi pembela HAM melemahkan demokrasi," tulis Lokataru Foundation dalam Instagram resminya, Senin, (1/9/2025).

Delpedro juga sosok yang aktif memberikan pendampingan hukum ke anak-anak yang ditangkap, dan meminta mereka dibebaskan.

Hentikan Kekerasan Aparat

Ketua Komnas Perempuan, Maria Ulfah menegaskan negara harus segera menghentikan praktik kekerasan aparat dalam mengawal aksi massa.

Menurut lembaga ini, penggunaan kekuatan berlebih, penangkapan sewenang-wenang, hingga penyebaran pesan intimidatif yang disertai ancaman berbasis seksual memperparah situasi dan melanggar hak asasi warga.

“Kapolri sekali lagi harus menjamin jajarannya mematuhi standar HAM internasional termasuk larangan mutlak penggunaan kekerasan seksual sebagai alat represi,” katanya.

Komnas Perempuan juga mendesak TNI kembali ke barak dan menjalankan tugas militernya sebagaimana diatur konstitusi.

“Tanpa mencampuri terhadap urusan keamanan masyarakat, terhadap urusan keamanan sipil,” tegas Maria.

Komnas Perempuan mendesak, pembentukan tim pencari fakta independen untuk mencegah impunitas aparat.

“Dengan mandat jelas untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan aparat termasuk kekerasan berbasis gender, serta memastikan hasilnya ditindaklanjuti secara transparan,” ujarnya.

red
Tangkapan layar IG rilis pers Lokataru Foundation
KBR


Aparat Tak Manusiawi terhadap Anak-Anak

Dalam pemantauannya selam aksi demo, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Diyah Puspitarini menyebut aparat memperlakukan anak-anak secara tak manusiawi.

“Melanggar Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Kemudian ada yang dituntut memakai KUHP, bukan memakai UU Sistem Peradilan Pidana Anak. Jadi, pidana yang dipidanakan itu pidana orang dewasa. Ada yang mereka dijadikan satu dengan orang dewasa. Padahal seharusnya anak ditahan itu tidak boleh lebih dari 1x24 jam,” ujar Diyah.

Kondisi ini menunjukkan masih banyak aparat penegak hukum tidak memahami Undang-Undang Peradilan Pidana Anak. Padahal, anak-anak semestinya dilindungi.

“Sehingga cara memperlakukannya pun juga semena-mena,” jelasnya.

Diyah juga mengungkap bukti kekerasan terhadap anak di lapangan. Ia menyebut KPAI telah menerima video dan foto yang memperlihatkan anak-anak dipukul, sesuatu yang seharusnya tidak boleh terjadi dalam situasi apa pun.

“Yang semestinya itu tidak terjadi pada anak-anak,” tegas Diyah.

Data Penahanan Anak dalam Aksi Demonstrasi

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, ratusan anak di bawah umur sempat ditangkap aparat kepolisian dalam gelombang aksi demonstrasi akhir Agustus 2025. Sebagian besar sudah dikembalikan ke orang tua, namun masih ada yang hingga kini belum dipulangkan. Berikut rinciannya:

Jakarta

• 25 Agustus: Polda Metro Jaya 150 anak, Polres Jakarta Timur 21 anak, Polres Jakarta Selatan 16 anak, Polres Jakarta Barat 5 anak. Seluruhnya sudah dikembalikan ke orang tua.

• 28 Agustus: Polda Metro Jaya 200 anak, Polres Jakarta Selatan 10 anak, Polres Jakarta Timur 23 anak. Seluruhnya sudah dikembalikan.

• 30 Agustus: Polres Jakarta Utara 6 anak.

• 31 Agustus: Polres Jakarta Utara 5 anak, dan hingga kini masih ada yang belum dikembalikan ke orang tua.

Daerah lain:

• DIY: 15 anak, sudah kembali ke orang tua.

• Semarang: 200 anak, sebagian besar sudah kembali ke orang tua.

• Medan: 5 anak.

• Pontianak: 3 anak.

• Pekalongan: 12 anak.

• Kebumen: 99 anak.

• Wonogiri: 6 anak.

• Solo: 65 anak.

• Surabaya: 50 anak.

• Kediri: 12 anak.

• Bali: 7 anak.

• Mataram: 2 anak.

• Bekasi: 28 anak.

red
Sikap lembaga HAM soal aksi demo dan kekerasan aparat.
KBR


Lima Rekomendasi Lembaga HAM

Lembaga nasional Hak Asasi Manusia (HAM) yang terdiri dari Komnas HAM, Ombudsman, KPAI, Komnas Disabilitas, Komnas Perempuan, dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) merekomendasikan lima hal menyikapi aksi demo dan kekerasan aparat.

Rekomendasi itu:

1. Kepolisian Republik Indonesia untuk

a. membebaskan peserta aksi yang ditangkap dan ditahan baik di Polda, Polres maupun Polsek

b. tidak melakukan tindakan represif dalam pengamanan aksi unjuk rasa, penggunaan kekuatan berlebih, dan tetap berpedoman pada prinsip-prinsip hak asasi manusia serta melakukan evaluasi secara komprehensif atas tata kelola pengamanan aksi unjuk rasa;

c. memberikan akses atas bantuan hukum kepada para korban yang saat ini masih ditahan baik di Polda, Polres hingga Polsek;

d. memperlakuan anak yang berhadapan dengan hukum secara manusiawi dan menjalankan proses penegakan hukum sebagaimana UU Perlindungan anak serta Peradilan Pidana Anak

e. bekerja secara efektif, profesional dan mengedepankan keselamatan warga sipil serta mengkoordinasikan situasi dengan jajaran pemerintahan terkait profesional

2. Kepolisian Republik Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia untuk bekerja secara efektif, dan mengedepankan keselamatan warga sipil serta mengkoordinasikan situasi dengan jajaran pemerintahan terkait;

3. Pemerintah Republik Indonesia dan DPR untuk

a. menghormati, melindungi dan memenuhi hak setiap warga negara untuk

menyampaikan pendapat di muka umum sebagai hak atas kebebasan

berpendapat dan berekspresi serta menjamin kebebasan pers jurnalis dalam menjalankan tugas-tugasnya;

b. membuka ruang partisipasi, kritik, dialog dan aspirasi dari masyarakat serta menghindari pernyataan, sikap dan tindakan yang berpotensi menimbulkan keresahan publik;

4. Meminta Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk

a. menyediakan sarana evakuasi, layanan medis, dan bantuan bagi korban dan masyarakat terdampak.

b. segera melakukan revitalisasi fasilitas publik yang mengalami kerusakan akibat dari aksi yang terjadi.

5. Mengimbau masyarakat terus melakukan aksi unjuk rasa secara damai, menjaga situasi kondusif, serta menghindari segala bentuk provokasi dan tidak terpancing tindakan-tindakan anarkis yang akan merugikan masyarakat.

red
17+8 Tuntutan Rakyat-Foto: IG socialjustice.id
KBR


Asal Muasal Tuntutan 17+8

Gelombang demonstrasi yang merebak pada akhir Agustus 2025 berawal dari wacana pemberian tunjangan perumahan sebesar Rp50 juta per bulan untuk anggota DPR. Rencana itu dikritik keras publik karena dianggap tidak masuk akal di tengah kondisi ekonomi yang sulit.

Menurut laporan Katadata, (25/8/2025), wacana tunjangan DPR ini disampaikan sebagai kompensasi penghapusan rumah dinas, namun justru memicu kemarahan masyarakat.

Gelombang demonstrasi yang mulai terjadi di Jakarta pada 25 Agustus 2025 berkembang cepat menjadi gerakan besar saat terjadi peristiwa tragis yang menyita perhatian nasional.

KBR melaporkan, kematian seorang pengemudi ojek online bernama Affan Kurniawan yang terlindas kendaraan taktis Brimob saat demo usai menjadi titik balik eskalasi unjuk rasa. Dalam laporan “48 Jam Lebih Demonstrasi ‘Tolak Tunjangan DPR’, Apa yang Perlu Kamu Tahu?”, diungkapkan:

“Ekskalasi demo memuncak pasca-peristiwa tewasnya pengemudi ojek online (ojol), Affan Kurniawan (21), yang terlindas kendaraan taktis (rantis) Brimob di Pejompongan, Jakarta Selatan pada Kamis (28/8) malam.”

Laporan itu juga menyoroti kerumunan massa yang bergerak mengerumuni Mako Brimob Kwitang hingga Polda Metro Jaya, menuntut pengusutan tuntas dan reformasi institusi Polri tanda bahwa kemarahan publik kini meluas bukan hanya soal kebijakan elitis, tetapi juga kekerasan negara.

"17+8 Demands”

Di tengah eskalasi, lahirlah platform “17+8 Demands from the People”. Inisiatif ini dicetuskan sejumlah tokoh publik dan aktivis, di antaranya Jerome Polin, Fathia Izzati, Abigail Limuria, dan Andovi da Lopez. Mereka merangkum dan mengunggah 17+8 Tuntutan Rakyat itu di akun Instagra masing-masing.

Platform tersebut merangkum 25 tuntutan rakyat: 17 tuntutan jangka pendek yang harus dipenuhi dalam satu minggu, serta 8 tuntutan jangka panjang untuk satu tahun.

Tuntutan jangka pendek mencakup pembebasan semua demonstran, penarikan TNI dari pengamanan sipil, penghentian kekerasan aparat, serta pembekuan fasilitas baru DPR.

Sementara tuntutan jangka panjang berfokus pada reformasi struktural, seperti audit independen DPR, penguatan lembaga HAM, desentralisasi kepolisian, reformasi partai politik, hingga transparansi anggaran negara.

red
Pimpinan DPR bertemu sejumlah perwakilan BEM di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 3 September 2025. Foto: Tangkapan Layar YouTube DPR
KBR


Tanggapan DPR

Kemarin, saat bertemu dengan sejumlah perwakilan badan eksekutif mahasiswa (BEM), Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad berjanji akan menindaklanjuti masukan, catatan, dan usulan dari para mahasiswa. 

Pimpinan DPR juga meminta maaf atas kekeliruan dan kekurangan dalam menjalankan tugas dan fungsi sebagai parlemen sebagai wakil rakyat. Pimpinan DPR juga mengucapkan duka cita atas meninggalnya sejumlah orang saat aksi demonstrasi. 

 "Pertama melakukan evaluasi menyeluruh terhadap tunjangan anggota dewan, dan khusus untuk tunjangan perumahan dihentikan per 31 Agustus 2025. Moratorium kunjungan ke luar negeri anggota DPR. Reformasi DPR akan dipimpin langsung oleh Ibu Puan Maharani," katanya, Rabu, 3 September 2025.

Baca juga:

DPR
Makar
Terorisme
Demonstrasi
Polisi
17+8 Tuntutan Rakyat

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...