NASIONAL

BUMDes dan Kopdes Bisa Saling Terjadi Konflik Kepentingan

Idealnya sekarang itu yang dibutuhkan sebuah pilot project dulu.

AUTHOR / Siska Mutakin, R. Fadli

EDITOR / Resky Novianto

Google News
Kopdes
Pengamat Koperasi, Rully Indrawan. (Foto: KBR/Dokpri)

KBR, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan memaparkan, sedikitnya ada tujuh unit bisnis Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih. Ketujuhnya adalah bisnis Pengadaan Sembako, Simpan Pinjam, Klinik Desa, Apotek Desa, Cold Storage/Pergudangan, Sarana Logistik Desa, dan Usaha Lainnya sesuai potensi Desa.

“Kopdes Merah Putih akan dijadikan pusat ekonomi desa dengan gudang modern dan outlet strategis,” jelas Zulhas saat Lanjutan Sosialisasi Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih Wilayah 4 (Jakarta, Banten, Sulawesi, Maluku dan Papua), Selasa (15/4/2025).

Pembentukan Kopdes Merah Putih berdasarkan Instruksi Presiden RI Nomor 9 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih yang ditandatangani pada 27 Maret 2025.

Ada begitu banyak Kopdes Merah Putih yang akan dibentuk. Jumlahnya mencapai 80.000 unit hingga paling lambat Juli 2025. Modal awal Kopdes itu Rp5 miliar per unit. Sehingga, total modal Kopdes seluruhnya mencapai Rp400 triliun. Ditargetkan, dalam dua tahun, perputaran uang di seluruh Kopdes mencapai Rp2.000 triliun.

Tapi, efektifkah pengelolaan Kopdes Merah Putih nantinya? Mengingat, selama ini sudah ada yang namanya Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Apa risiko yang bakal terjadi dan menimpa keduanya? Mengapa pula pemerintah diingatkan untuk membentuk Badan Pengawas Kopdes?

Redaksi KBR mewawancarai pengamat koperasi yang juga mantan Sekretaris Kementerian Koperasi dan UKM RI, Rully Indrawan pada (15/4/2025). Berikut kutipannya:

* * *

Pembentukan Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih, apakah menjadi langkah tepat untuk memperkuat ekonomi desa?

Pada dasarnya apa yang diinisiasi Presiden Prabowo Subianto ini sudah cukup bagus. Apalagi dikaitkan dengan produksi pangan dunia yang kondisinya mengkhawatirkan dan menjadi semacam tantangan. Dengan rencana kehadiran Kopdes Merah Putih akan memperkuat sistem rantai pasok hasil produksi pertanian, terutama komoditas pangan.

Apa yang tengah dilakukan saat ini, juga sedang diterapkan di Jepang dan Arab Saudi. Cuma memang reformasi menciptakan ada “arus balik”, dimana ide-ide di masa Orde Baru itu kemudian terdegradasi.

Jadi, secara umum kehadiran Kopdes adalah tepat. Hanya saja problemnya adalah, kesiapan tata kelola dimana kita sedang mencoba membangun kembali sebuah kekuatan, yang seolah distigmatisasi oleh bangsa ini sebagai sesuatu yang tidak akan berhasil. Makanya, perlu semacam kesiapan pada tingkatan perencanaan dan pengendalian.

Tantangan apa saja yang dihadapi Kopdes Merah Putih dalam proses percepatan pembentukannya?

Menurut saya, “tidak nyaman” kalau tidak mau dikatakan “kurang taktis”, bahwa pembentukan Kopdes itu ditargetkan mencapai 80.000 unit dalam waktu dua bulan (Mei-Juni 2025). Atau paling lambat Juli 2025. Itu kan luar biasa banyaknya.

Kalau mau dimisalkan, target 80.000 unit itu sebaiknya dicapai dalam tempo lima tahun. Katakanlah misalnya, 10.000 unit terbentuk pada tahun ini, dan bertambah terus selanjutnya. Tapi ya sudahlah, Presiden Prabowo Subianto maunya seperti itu.

Kendala lainnya?

Paling tidak ada tiga kendala pembangunan Kopdes Merah Putih. Pertama, kendala membangun kembali kepercayaan publik terhadap koperasi. Ini akan jadi pekerjaan yang paling rumit. Karena, berkaitan dengan kemampuan sumber daya manusia (SDM) di desa untuk membangun kekuatan perekonomian desa dengan basis koperasi.

Kenapa? Karena kita punya mimpi buruk masa lalu yang sebetulnya bukan kesalahan Koperasi Unit Desa, juga bukan kesalahan koperasinya. Tapi karena, ada banyak unsur kelompok politik yang “dicampur”, sehingga agak mengacaukan virus koperasi itu bisa berkembang di pedesaan.

Jadi persoalan pertama adalah citra koperasi di mata publik itu sendiri, dan SDM-nya.

Kendala kedua, saat ini sudah ada Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di desa. Jadi dikhawatirkan akan ada konflik kepentingan (conflict interest) dengan Kopdes nantinya. Karena BUMDes itu pada dasarnya milik Desa, sementara Kopdes kan milik anggota. Itu mungkin akan menyebabkan conflict interest. Dan jangan lupa Desa itu adalah sebuah ekosistem bisnis yang memang terbatas.

Dengan adanya beberapa “pemain”---BUMDes dan Kopdes---, akan menyebabkan terjadinya persaingan yang mungkin menciptakan kondisi tidak terlalu nyaman. Belum lagi persoalan Dana Desa yang terambil oleh Kopdes misalnya, ini kan juga menciptakan ketidaknyamanan lain.

Ketiga, kendala pembiayaan. Dengan janji bahwa Kopdes Merah Putih akan diberi modal awal Rp5 miliar per unit, maka dengan jumlah 80.000 unit dibutuhkan total modal hingga Rp400 triliun. Ini bukan pekerjaan mudah, apalagi bila mengajak Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), perbankan nasional, yang diharapkan mensuplai biaya operasional untuk Kopdes. Ini juga bisa jadi persoalan. Karena akan menyangkut masalah kesanggupan setiap Kopdes dalam mengelola bisnisnya.

Saya kira, idealnya sekarang itu yang dibutuhkan sebuah pilot project dulu. Mungkin bisa dipropagandakan satu unit Kopdes Merah Putih dulu untuk tahun ini. Untuk tahun depan, mungkin bisa ditingkatkan lebih banyak lagi jumlahnya. Terus begitu selanjutnya.

red

Ilustrasi. BUMDes di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. (Foto: ANTARA)

Anda melihat bahaya potensi tumpang-tindih antara unit-unit usaha yang dijalankan BUMDes dengan yang dikelola Kopdes Merah Putih?

Idealnya sih kolaborasi saja. Kopdes kan memang sudutnya melakukan akumulasi kegiatan dari peran-peran ekonomi. Tapi dalam praktiknya, sering terjadi benturan-benturan kepentingan. Saya kira, ini harus diselesaikan baik-baik, begitu juga dengan sistemnya dan pemerintahnya harus tegas, mana yang merupakan bisnis Kopdes, dan mana pula bisnis BUMDes.

Atau begini, putusan Mahkamah Konstitusi kan memutuskan bahwa BUMDes itu bisa berbentuk Koperasi. Nah, jadi ya enggak perlu ada dua “pemain”. Jadinya, satu saja dalam bentuk Koperasi, sebetulnya. Tapi apakah memang perencanaan Kopdes juga didesain seperti itu atau tidak, saya masih menunggu sebetulnya pengejawantahan Inpres itu akan bagaimana.

Catatan: Mahkamah Konstitusi (MK) telah membuat beberapa putusan yang relevan dengan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Salah satu putusan yang penting adalah Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012, yang menguatkan legalitas BUMDes sebagai bagian dari usaha ekonomi desa. Selain itu, ada juga Putusan MK Nomor 79/PUU-XII/2014 yang juga terkait dengan BUMDes. Putusan-putusan ini menjadi dasar hukum bagi inisiasi dan penyusunan RUU BUMDes oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Kopdes Merah Putih akan memiliki modal awal Rp5 miliar per unit. Bagaimana agar pengelolaan modal ini tepat penggunaan dan tidak bermasalah?

Saya kira, masalahnya bukan disitu saja. Tapi, sumber dana modal awalnya itu juga dari mana? Kalau dari APBN, angka Rp400 triliun itu sama dengan kurang lebih 15 persen dari total APBN nasional. Makanya, jangan terlalu berharap-harap, tapi nyatanya nanti uangnya enggak ada.

Masalah berikutnya adalah pengelolaan. Saya pikir, pengelolaan Kopdes saat ini sebetulnya relatif kuat berkat keunggulan digital, karena Menteri Keuangan dengan Himbara kan sudah mempunyai sistem model, untuk bagaimana dana itu bisa cair sesuai dengan kebutuhan bisnis yang dikembangkan.

Jadi, selain sumber dana dan peruntukannya harus jelas, maka visi pengawasannya juga harus sama-sama jelas. Saya kira, kita harus belajar dulu dari pengalaman bagaimana KUD menjadi masalah besar di tanah air, hingga KUD akhirnya berguguran. Karena, KUD saat itu menjadi avalis bagi peminjam KUT. Pinjaman-pinjaman itu oleh masyarakat tidak digunakan untuk usaha produktif, tapi justru yang bertanggungjawab justru KUD-nya. Sehingga, banyak dana-dana KUD yang diblokir oleh perbankan pada saat awal-awal reformasi bergulir.

Nah begitulah KUD berguguran. Jadi KUD berguguran itu bukan hanya faktor koperasinya saja, tapi juga karena memang sistem dan juga tata kelola yang tidak baik, tambah lagi ada persoalan-persoalan lain semisal perubahan Inpres nomor 4/1984 tentang Pembinaan dan Pengembangan Koperasi Unit Desa (KUD), menjadi Inpres Nomor 18/1998 tentang Peningkatan Pembinaan dan Pengembangan Perkoperasian.

Baca juga:

Risiko Kopdes Merah Putih Cawe-cawe Bisnis Klinik dan Apotek

Kopdes Merah Putih apakah akan agar efektif, mengingat sebelumnya banyak pengelolaan Koperasi yang gagal?

Efektif atau tidak, saya kira karena banyak faktor. Bukan hanya persoalan koperasinya saja, tapi juga sistem tata kelola dan persoalan pengawasannya. Jadi untuk kedepannya, untuk Koperasi itu perlu ada Badan Pengawas yang fungsinya sangat baik untuk mengendalikan jalannya usaha dan keuangan Kopdes.

Untuk Badan Pengawas ini, harus diperkuat dari unsur luar daerah dengan kualifikasi tertentu. Misalnya, kemampuan membaca keuangan Kopdes, dan kemampuan memberi masukan kepada para pengurusnya. Itu yang paling utama, tata kelola pengelolaan pengawasan.

Kemudian berikutnya, tentu saja ini membutuhkan sistem yang teruji. Diharapkan memang, pemerintah membantu hingga Kopdes itu tinggal menjalankan apa yang memang harus dilakukan. Pengelola Kopdes itu misalkan, dalam hal administrasi, sebaiknya sudah disediakan format yang jelas, berikut mekanisme pelaporan operasional yang terintegrasi.

Juga, rencana kehadiran Kopdes Merah Putih harus disosialisasikan secara masif kepada masyarakat. Jangan sampai Kopdes ini dianggap sebagai lembaga hibah, artinya mereka para pengelola hanya menganggap sebagai diberi modal pinjaman dan tidak harus ada kewajiban mengembalikan uang.

Semua itu penting, dengan bercermin pada pengalaman Koperasi yang lalu-lalu.

Minimal akan ada tujuh unit bisnis yang akan dikelola Kopdes Merah Putih, mulai dari pengadaan Sembako, Simpan pinjam, Klinik, Apotek, Pergudangan, bisnis Logistik, dan usaha lain sesuai potensi desa. Ini apa enggak terlalu luas cakupan unit bisnisnya?

Ya, tadi saya katakana, perlu ada sistem yang terstandarisasi. Jangan biarkan masyarakat desa menyiapkan sendiri semuanya untuk pengembangan Kopdes itu. Harus ada sebuah sistem yang terintegrasi dari pemerintah sehingga mereka di lapangan akan tinggal menjalankannya saja. Misalnya, tentang pelayanan kesehatan yang akan diberikan unit bisnis Kopdes itu seperti apa?

Dan syukur-syukur, penerapannya memang harus by design dengan sistem digital yang kuat. Sehingga dapat diketahui apa yang harus dilakukan masyarakat desa, dengan dipandu secara digital dari Pusat.

Baca juga:

Koperasi Desa Merah Putih akan Dibentuk, Apa Keunggulannya?

Apa kendala yang mungkin muncul dalam pengelolaan bisnis Klinik dan Apotek Desa oleh Kopdes Merah Putih?

Ya, sebetulnya Inpres Nomor 9/2025 itu kan sifatnya koordinatif. Jadi, urusan kesehatan itu kan sebetulnya, mohon maaf ya, itu sudah menjadi domainnya Puskesmas.

Sekarang itu, dengan menjadi salah satu dari unit bisnis Kopdes, maka ditawarkan perlindungan atau swastanisasi layanan kesehatan. Kalau biasanya Puskesmas lebih banyak pada kegiatan bersifat social center, sekarang ada layanan tambahan yang akan menjadi profit center. Berubah begitu saja, barangkali.

Soal target perputaran uang Kopdes Merah Putih sebesar Rp2.000 triliun dalam dua tahun, bagaimana opini Anda?

Kelembagaan Kopdesnya saja belum ada. Selain itu, setiap daerah kan juga punya potensi yang berbeda-beda, sehingga return usaha juga akan berbeda di setiap daerahnya.

Jadi saya kira, saat ini, susah memprediksi kenapa, karena setiap daerah itu punya potensi ekonomi yang berbeda. Ada yang memang harus disubsidi. Jangan juga pernah berpikir, bahwa desa-desa kita ini, seperti desa-desa di Jawa Barat atau seperti kelurahan-kelurahan di Jakarta. Di Indonesia timur, untuk punya suatu koperasi desa itu biayanya mahal. Karena misalnya, harus menanggung biaya mengangkut pupuk atau biaya distribusi pupuk yang lebih mahal.

Jadi saya kira, setiap desa itu biarkan saja warganya menyusun kalkulasi ekonominya sendiri. Karena mereka pasti memiliki hitung-hitungan yang berbeda, sebagai rangkaian dari potensi ekonominya yang juga berbeda, termasuk permasalahan yang mereka hadapi juga berbeda-beda.

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

  • Rully indrawana month ago

    KUD apatis, mestinya KUD menjadi avalis atas pinjaman anggota.