Penyelenggara negara menutup sementara SPPG bermasalah untuk evaluasi dan investigasi.
Penulis: Ken Fitriani
Editor: Sindu

KBR, Yogyakarta- Ribuan anak keracunan Proyek Makan Bergizi Gratis (MBG) sejak Januari hingga September 2025. Catatan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), per 27 September 2025, ada 8.649 anak jadi korban keracunan Proyek MBG. Dalam dua pekan terakhir, ada lonjakan korban keracunan hingga 3.289 anak.
Jumlah tersebut termasuk data terakhir dari Bandung Barat, Tuban, Mamuju, dan Ketapang. Bahkan lebih dari 1.300 anak di Bandung Barat baru-baru ini keracunan dan ditetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB).
Kasus keracunan MBG juga membuat puluhan emak-emak di Yogyakarta yang tergabung dalam Kenduri Suara Ibu, resah. Mereka menggelar aksi damai dengan membawa panci dan aneka peralatan dapur lain di Bundaran UGM, Yogyakarta, Jumat sore, 26 September 2025.
Peralatan dapur itu mereka tabuh hingga mengeluarkan bebunyian sebagai simbol, perlengkapan masak yang menghasilkan makanan bergizi justru datang dari rumah, bukan dari Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG).
Salah satu orator dan aktivis perempuan, Kalis Mardiasih menduga, Proyek MBG adalah program bagi-bagi dan balas budi. Hal ini dibuktikan dengan tata kelola pelaksanaan MBG sangat sentralistik.
Kata dia, sebetulnya negara ini sudah memiliki dan terbiasa menyelenggarakan program pemenuhan gizi yang biasanya dilaksanakan Kementerian Kesehatan.
"Kalau di daerah diturunkan kepada dinas kesehatan, yang kalau berkaitan dengan perempuan dan anak itu dikerjakan Dinas Pemberdayaan Perlindungan Perempuan dan Anak dan dinas terkait seperti Kementerian Sosial dan Dinas Sosial. Tetapi, kenapa khusus MBG ini berbeda? Presiden tahu-tahu mengeluarkan perpres untuk membentuk Badan Gizi Nasional, yang kita tahu isinya itu siapa saja pejabat-pejabatnya," katanya.
Di sisi lain, Presiden Prabowo juga mengeluarkan perpres soal efisiensi anggaran di hampir semua lini, termasuk anggaran di Kementerian Perlindungan Perempuan dan Pemberdayaan Anak. Akibatnya, layanan-layanan di kementerian tersebut terpaksa dihentikan.
"Layanan terhadap korban KDRT, korban kekerasan seksual, korban kekerasan terhadap anak sekarang semuanya dipangkas. Layanannya berhenti hanya untuk mendanai program (MBG) ini," jelasnya.

Makan Diawasi Tentara
Kalis menyebut, setelah Perpres MBG keluar, Badan Gizi Nasional (BGN) langsung menawarkan kepada yayasan-yayasan atau organisasi-organisasi yang mau melaksanakan program ini tanpa koordinasi lebih dahulu ke dinas kesehatan setempat.
Akibatnya, program ini tidak terintegrasikan dengan program-program pemenuhan gizi yang sudah berjalan seperti posyandu dan PKK.
"Kader posyandu dan PKK ini tidak diajak ngobrol. Tahu-tahu seperti yang kita duga, berita-berita ada ribuan dapur fiktif. Ternyata yang punya dapurnya adalah legislator-legislator daerah, pejabat-pejabat. Hari ini ibu-ibu di Yogyakarta menyerukan untuk hentikan program prioritas MBG," tegasnya.
Kalis mengatakan, ibu-ibu di Yogyakarta tak terima dengan pernyataan pemerintah yang selalu asal bunyi ketika terjadi masalah. Salah satunya adalah soal janji perbaikan program sembari program tersebut berjalan.
"Artinya setiap hari ada ribuan anak keracunan. Hari ini ada ibu menyusui keracunan karena nyobain makanan anaknya. Ada guru-guru yang keracunan karena berusaha melindungi murid-muridnya. Maka evaluasi total adalah hentikan saat ini juga," tegasnya.
“Kalau mau jalan lagi, pengelolaannya tidak sentralistik, tidak militeristik. Mana ada makan tidak diawasi tentara? Pak tentara enggak usah sok-sokan gendongin anak kalau pas keracunan. Makan direpresi, diawasi tentara, anak-anak trauma, Pak.”
MBG Tidak Gratis
Salah satu perwakilan ibu hamil, Angie menambahkan, jika anaknya lahir nanti, ia tidak ingin buah hatinya mendapatkan MBG. Ia menilai, anak bukan investasi untuk diracun melalui makanan gratis.
"Saya enggak rela kalau anak-anak kita, anak-anak saya mengikuti program yang grusa-grusu, yang hanya sekadar untuk janji politis semata," imbuhnya.
Angie mengungkapkan, Proyek MBG ini digadang-gadang menjadi persiapan generasi emas dengan memberikan nutrisi yang baik. Namun, ia mempertanyakan sesungguhnya siapa yang dibikin kenyang dalam proyek ini?
"Bagi mereka angka empat ribu, lima ribu, dan enam ribu itu hanya data statistik. Mereka lupa, bahwa satu nyawa ada tangis, ada sedih dan ada kerepotan orang tua. Tetapi, mereka hanya berpikir bahwa programnya jalan, tanpa pernah melihat dampaknya," jelasnya.
"Jadi, ibu-ibu kita semua harus berada di depan, bukan hanya untuk kita, tetapi untuk generasi penerus, untuk yang katanya dijanjikan generasi emas. Kita harus berdiri dan MBG harus dihentikan, dievaluasi, diinvestigasi secara transparan. MBG pun enggak gratis, kita yang bayar. Sudah kita bayar, anak kita keracunan lagi," imbuhnya.

Hentikan Proyek MBG
Sekretaris Jenderal Caksana Institute, Wasingatu Zakiyah dalam orasinya mengatakan, ibu-ibu yang hadir dalam aksi ini adalah ibu-ibu yang khawatir. Menurutnya, seorang ibu tidak bisa membiarkan anak-anak bangsa terus menerus dilecehkan dengan mendapatkan makanan beracun.
"Kita prihatin atas itu. Pertama, tata kelola yang buruk menjadi persoalan yang ada di sini. Grusa-grusu. Program ini dibuat tidak ada perencanaan yang jelas, seolah-seolah uang yang turun dari langit," tegasnya.
Zakiyah menjelaskan, uang yang digunakan adalah uang rakyat. Uang rakyat yang dipakai justru untuk meracuni anak-anak bangsa. Karenanya, ia menuntut stop makan bergizi gratis.
"Kita ada di barisan terdepan untuk melakukan protes keras ini pada saat DPR RI diam. Kami berdiskusi dengan DPRD, mereka tidak mau membuat pansus, tidak mau melakukan moratorium, tidak mau stop dan evaluasi. Apa gunanya orang yang kita pilih kemarin?" ungkapnya.
Sanksi Tegas dan Pelibatan Daerah
Terpisah, Ketua Komisi bidang Pendidikan dan Kesehatan (D) DPRD DIY, RB Dwi Wahyu mengatakan, penyelenggara negara baik di pusat maupun di daerah perlu menerapkan sanksi kepada SPPG yang tak sesuai SOP. Selain itu, alur distribusi bahan pokok juga harus jelas dan terkontrol.
"Kalau menunya salah, prosesnya salah, dampaknya bisa fatal. Maka harus ada regulasi dari pusat, dan daerah menurunkan dalam bentuk perda," katanya di Gedung DPRD DIY, Jumat, (26/9/2025).
Menurut Dwi, pelibatan lintas dinas menjadi kunci agar rantai pasok pangan aman dan tidak menimbulkan persoalan di lapangan. Misalnya, jika distribusi diserahkan ke dinas pendidikan lalu dibagikan di sekolah, maka alurnya harus jelas melalui kerja sama dengan dinas-dinas lain.
"Dinas Kelautan punya ikan, Dinas Pertanian punya sayur dan telur, Dinas Perdagangan bisa atur tata niaganya. Jadi, terlihat apa yang bisa dipenuhi dari DIY, apa yang harus diambil dari luar. Jangan sampai DIY sebenarnya mampu, tetapi malah ambil dari luar karena tidak ada kontrol,” jelasnya.
Menurut Dwi, regulasi pusat dan daerah harus selaras, terutama terkait sanksi kepada SPPG yang lalai. Terlebih selama MBG dilaksanakan belum ada aturan jelas. Padahal, saat ini sudah ada ribuan anak jadi korban keracunan MBG karena masakan yang tidak higienis dari SPPG.
"Sanksi tegas untuk SPPG yang mengakibatkan keracunan itu wajib. Apakah sampai proses hukum, kita belum tahu, karena regulasi dari pusat belum ada. Nah, inilah yang harus kita dorong," tandasnya.

Sertifikasi Higienitas
Pemda DIY sepakat jika diperlukan evaluasi menyeluruh Proyek MBG. Salah satunya menurut Sekretaris Daerah (Sekda) DIY, Ni Made Dwi Panti Indrayanti, adalah melalui sertifikasi higienitas.
"Kalau dievaluasi, berapa SPPG yang sudah punya sertifikat layak higienis? Dari lebih seratus yang terdaftar, baru sekitar 160 yang punya sertifikat. Padahal ribuan yang sudah operasional. Nah, ini harus kita dorong. SPPG yang kemarin menyebabkan keracunan, jangan sampai masih tetap melayani sebelum ada evaluasi," katanya di Kompleks Kepatihan Yogyakarta, Jumat, (26/9/2025).
Karenanya, Made meminta SPPG memerhatikan seluruh tahapan, mulai dari bahan baku hingga waktu konsumsi. Menurutnya, seringkali persoalan bukan hanya bahan baku, tetapi juga cara memasak, kebersihan dapur, distribusi dan jadwal makanan dikonsumsi.
"Kalau dimasak terlalu awal lalu distribusi lama, risiko keracunan tinggi. Pengalaman kami di haji dan umrah, makanan ada batas jam layaknya. Jadi, tahapan ini yang perlu diperhatikan," tegasnya.
Selain itu, Made juga turut menyoroti persoalan hulu dalam program MBG yang belum terpetakan. Misalnya, selama ini tidak ada data bahan baku MBG maupun penyedianya. Padahal data tersebut penting untuk pemberdayaan petani lokal.
"Kalau hulunya jelas, rantai pasok lebih sehat, dan ekonomi lokal ikut tumbuh," paparnya.
"Pemda DIY akan mengadakan koordinasi bersama seluruh SPPG dan Badan Gizi Nasional (BGN) pekan mendatang," lanjut Made.

Belum Siap dan Harus Dibenahi
Sementara itu, pakar gizi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Merita Arini menjelaskan, MBG pada dasarnya merupakan poyek baik yang patut dilanjutkan. Namun, kasus keracunan ini memperlihatkan banyak aspek yang belum siap dan harus segera dibenahi.
“Banyak penelitian membuktikan bahwa program makan siang di sekolah berdampak positif, mulai dari kontrol nutrisi, kebersihan, hingga peningkatan kehadiran dan prestasi siswa. Tetapi, ketika muncul kasus keracunan hingga ribuan orang, ini jelas menimbulkan keprihatinan. Artinya ada hal besar yang perlu kita evaluasi, baik dalam pengawasan, distribusi makanan, maupun keterlibatan masyarakat,” ungkapnya dalam keterangan tertulis, Kamis, (25/9/2025).
Ia menjelaskan, penyebab utama keracunan massal biasanya bukan karena makanan sengaja diracuni, melainkan akibat kontaminasi. Kontaminasi bisa berasal dari bakteri, virus, jamur, atau parasit yang menempel pada makanan, peralatan, maupun wadah distribusi.
“Yang paling sering penyebabnya itu kontaminan. Bisa dari mikroba atau toksin alami pada makanan yang tidak fresh. Produk hewani yang terlalu lama disimpan bisa mengandung histamin dalam kadar tinggi, dan tubuh tidak bisa mentoleransi itu.”
Selain itu, bahan pangan yang tidak segar, terutama produk hewani seperti ikan atau kerang, lebih berisiko menghasilkan zat beracun yang memicu keracunan.
“Karena itu, rantai pengadaan harus benar-benar ketat. Mulai dari bahan pangan segar, proses pengolahan higienis, alat yang steril, hingga jalur distribusi yang jangan terlalu panjang. Kalau distribusinya lama, risiko kontaminasi makin tinggi,” jelasnya.
Penanganan Keracunan
Dalam hal penanganan, dr. Merita menekankan pentingnya masyarakat segera membawa pasien dengan gejala keracunan ke fasilitas kesehatan. Gejala bisa bervariasi, mulai dari ringan seperti mual, hingga berat seperti muntah hebat, diare, sesak napas, bahkan kejang.
“Kalau gejalanya ringan, tetap harus segera diperiksa. Tetapi, kalau sudah muncul tanda bahaya seperti muntah atau diare berat, sesak napas, atau kejang, pasien harus segera dibawa ke IGD. Selain itu, kasus harus dilaporkan ke puskesmas setempat agar ada investigasi dan pencegahan lebih lanjut,” paparnya.
Lebih jauh, ia menekankan, pengawasan MBG tidak bisa hanya mengandalkan dapur produksi. Ada pilar lain yang harus diperkuat, yakni perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) serta edukasi bagi semua pihak, baik penerima makanan maupun pengelola.
Guru, siswa, hingga petugas dapur harus terbiasa menjaga kebersihan, mencuci tangan sebelum makan, dan memastikan peralatan tetap steril.
“Program MBG hanya akan berhasil kalau semua pilar dijalankan. Bukan sekadar penyediaan makanan, tapi juga PHBS dan edukasi. SOP dapur harus dijalankan ketat. Begitu juga bahan baku harus fresh dan benar-benar dikontrol oleh pengawas yang berkompeten. Kalau itu dijalankan, risiko bisa ditekan,” pungkasnya.

Reaksi Presiden
Usai mengetahui kasus keracunan MBG, Prabowo menggelar rapat dengan para pembantunya di kediaman pribadinya di Jalan Kertanegara, Jakarta, Minggu, 28 September 2025. Sekretaris Kabinet, Teddy Indra Wijaya mengatakan, dalam rapat evaluasi itu presiden ingin MBG berjalan baik dan tepat sasaran.
Beberapa menteri yang dipanggil presiden adalah terutama yang berkaitan dengan MBG, semisal BGN.
"Salah satu yang jadi pembahasan utama adalah mengenai Program MBG, terkait langkah terbaik dan beberapa evaluasi agar program ini berjalan baik sesuai yang direncanakan dan tepat sasaran," katanya, Senin, 29 September 2025, seperti dikutip dari ANTARA.
Kata Teddy, kepala negara juga memberikan arahan langsung soal detai dan teknis dalam rapat itu, semisal soal kedisiplinan, prosedur, dan masalah kebersihan.
Klaim Kepala Negara
Kepala negara mengatakan, meski ada beberapa kendala, termasuk keracunan, namun jumlah deviasi (penyimpangan) yang terjadi sangat kecil dibandingkan capaian program keseluruhan. Angka deviasinya 0,00017 persen. Hingga kini tercatat sudah lebih satu miliar makanan tersalurkan lewat MBG.
"Ada keracunan, ini kita benahi," ujarnya di Cileungsi, Bogor, Jawa Barat, Senin, 29 September 2025, mengutip ANTARA.
Prabowo menekankan perlunya memperbaiki standar pengolahan makanan untuk mencegah berulangnya kasus serupa.Ia menyatakan, seluruh SPPG bakal dilengkapi peralatan pencuci dengan teknologi ultraviolet hingga alat uji kualitas makanan sebelum didistribusikan.
Selain itu, tenaga masak terlatih juga wajib dimiliki setiap dapur agar kualitas dan keamanan pangan terjaga.
Perbedaan Data
Terdapat perbedaan data korban keracunan antara Badan Gizi Nasional dan JPPI. Catatan BGN, sepanjang Januari-September 2025, ada 5.914 korban. Sedangkan data JPPI, ada 8.649 anak jadi korban keracunan Proyek MBG.
Wilayah terdampak versi BGN adalah:
- Wilayah I Sumatra (Kab. Lebong, Bengkulu, Lampung, dan Kota Bandar Lampung): 1.307 korban.
- Wilayah II Pulau Jawa: Tercatat 41 kasus dengan jumlah korban 3.610.
- Wilayah III (Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Bali, dan Nusa Tenggara): 20 kasus dengan 997 korban.
Dari puluhan kasus keracunan tersebut, penyebab utamanya karena kandungan jenis bakteri, yakni e-coli pada air, nasi, tahu, dan ayam. Lalu, staphylococcus pada bakso dan tempe.
Wakil Kepala BGN Nanik S. Deyang menyatakan, seluruh biaya pengobatan akibat keracunan MBG sepenuhnya ditanggung pemerintah.
"Kita bayar semua, bahkan kemarin berapa miliar sudah kita siapkan," kata Nanik di Cibubur, Jawa Barat, Kamis, (25/92/2025), mengutip ANTARA.

SPPG Ditutup
Setelah ribuan kasus keracunan, penyelenggara negara menutup sementara SPPG bermasalah, untuk evaluasi dan investigasi.
Penutupan ini disampaikan Menteri Koordinator bidang Pangan Zulkifli Hasan, usai memimpin rapat penanganan KLB Proyek MBG.
"Harus atau wajib hukumnya. Setiap SPPG harus punya SLHS (sertifikat laik higienis dan sanitasi). Harus," katanya di kantor Kemenkes, Jakarta, Minggu, 28 September 2025.
Katanya, SLHS memang syarat SPPG. Namun, usai kasus keracunan MBG, penyelenggara negara mewajibkan SPPG mengurus sertifikat itu.
"Kalau tidak ada, ini (keracunan) akan kejadian lagi dan lagi," imbuhnya.
Ia menegaskan, keselamatan anak-anak penerima MBG adalah prioritas utama. Zulhas juga memerintahkan Kemenkes mengoptimalkan puskesmas di seluruh tanah air aktif dan rutin memantau SPPG.
Sejauh ini, ada 56 SPPG ditutup usai ribuan kasus keracunan MBG. Semisal, dua dapur di Kecamatan Cipongkor dan satu dapur di Cihampelas, Bandung Barat. Lalu, ada satu SPPG Banggai Kepulauan Tinakung, Sulawesi Tengah.
Penutupan dilakukan untuk evaluasi menyeluruh terhadap dapur-dapur itu. Penonaktifan SPPG masih menunggu hasil uji laboratorium yang dilakukan BPOM. Hasil pemeriksaan itu nanti akan dijadikan dasar untuk menentukan langkah selanjutnya, apakah perbaikan atau sanksi.
Data BGN, sudah ada 9.615 unit SPPG yang beroperasi hingga saat ini. Total penerima manfaat mencapai 31 juta.
Catatan Komnas HAM
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengeluarkan enam catatan menanggapi kasus keracunan Proyek MBG yang mencapai ribuan, yaitu:
1. Penyelenggara MBG dan kementerian/lembaga (K/L) terkait agar memerhatikan prinsip-prinsip HAM dalam pelaksanaan program MBG, di antaranya, tetapi tidak terbatas pada, Prinsip Ketersediaan dan Prinsip Kelayakan.
2. Penyelenggara MBG dan K/L terkait agar di antaranya: Badan Gizi Nasional (BGN), Pemerintah Daerah, dan Kementerian Kesehatan agar memastikan keamanan pangan yang dikonsumsi anak-anak pelajar/siswa/siswi peserta MBG;
3. Penyelenggara Program MBG dan K/L terkait agar menyediakan mekanisme pengaduan dan pemulihan secara cepat, transparan, dan berkeadilan bagi seluruhkorban keracunan.
4. BGN agar mengevaluasi dan memperbaiki tata kelola MBG secara menyeluruh yang akuntabel, transparan, dan partisipatif, untuk mendapatkan masukan komprehensif
dan akurat, guna mencegah keberulangan.
5. BGN agar mengevaluasi Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang diduga lalai dalam proses produksi, distribusi, dan penyajian makanan dalam MBG.
"6. Pemerintah agar membentuk mekanisme pengawasan multipihak yang independen terhadap pelaksanaan MBG," bunyi rilis pers pernyataan Komnas HAM soal kasus keracunan di MBG, seperti yang diterima KBR, Selasa, 30 September 2025.
Baca juga: