NASIONAL
Bivitri Susanti: Revisi UU TNI Kenapa Terburu, Tak Ada Kondisi Mendesak
RUU TNI juga dikhawatirkan membuka peluang bagi kembalinya dwifungsi TNI dalam pemerintahan sipil.

KBR, Jakarta - Pembahasan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) menuai kritik lantaran dilakukan secara tertutup dan terburu-buru.
Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti, menyoroti tidak adanya transparansi dalam proses legislasi ini, termasuk rapat yang digelar di hotel mewah berbintang lima sebagai alih-alih di Gedung DPR.
“Urgensinya apa yang menyebabkan rapatnya harus di hotel mewah, padahal ada Gedung DPR? Yang bahkan tertutup bagi rakyat seringkali. Kemudian harus seburu-buru itu? Yang saya catat, targetnya diselesaikan sebelum masa sidang berakhir yaitu 21 Maret 2025 mau diselesaikan, berarti tinggal 6 hari lagi. Urgensinya apa? Padahal tidak ada kondisi mendesak yang mengharuskan revisi ini dipercepat,” kata Bivitri dalam sebuah diskusi, Minggu (16/3/2025).
Menurut Bivitri, Indonesia tidak sedang dalam situasi darurat seperti perang atau ancaman keamanan yang ekstrem.
Selain prosesnya yang tidak transparan, kata Bivitri, RUU TNI juga dikhawatirkan membuka peluang bagi kembalinya dwifungsi TNI dalam pemerintahan sipil.
Konsep dwifungsi ABRI telah dihapus dalam reformasi 1998 untuk memastikan pemisahan antara militer dan sipil dalam struktur pemerintahan. Namun, beberapa pasal dalam RUU TNI dinilai dapat mengaburkan batasan tersebut.
Bivitri menegaskan, dalam sistem hukum tata negara Indonesia, TNI diposisikan sebagai alat negara, bukan lembaga negara. Hal ini berarti tugas utama TNI adalah mempertahankan, melindungi, dan menjaga kedaulatan negara, bukan terlibat dalam urusan pemerintahan sipil.
Ia menilai karakteristik militer yang berbasis komando dan hirarki tidak sejalan dengan prinsip demokrasi yang mengutamakan transparansi dan partisipasi publik.
Salah satu poin krusial dalam revisi UU TNI adalah rencana menambah jumlah jabatan di instansi kementerian dan lembaga dari 10 menjadi 15 (kemudian menjadi 16 lembaga) yang dapat diisi oleh perwira TNI aktif.
Bivitri mengingatkan bahwa RUU TNI seharusnya tidak sekadar menambah jumlah posisi, melainkan harus dikaji secara mendalam mengenai dampaknya terhadap pemerintahan demokratis.
“Yang perlu dikaji bukan hanya soal perwira kebanyakan yang harus disebar ke jabatan sipil, tapi bagaimana kebijakan ini berimplikasi terhadap demokrasi dan supremasi hukum. Jangan sampai ini hanya jadi cara memberikan posisi baru bagi militer di pemerintahan,” ujar Bivitri.
Ia juga menyoroti bahwa bila alasan RUU TNI ini adalah profesionalisme TNI, maka yang seharusnya diprioritaskan adalah pembenahan peradilan militer. Hingga kini, undang-undang terkait peradilan militer belum diperbarui, padahal UU TNI 2004 sudah mengamanatkan agar hal itu dilakukan.
Lebih jauh, Bivitri menilai, cara pembahasan RUU TNI ini sudah memberikan gambaran bahwa ruang demokrasi semakin tertutup. Jika pemerintah diisi oleh kelompok yang tidak demokratis, maka partisipasi publik dalam pembuatan kebijakan akan semakin sulit.
“Apakah kita mau terus-menerus mendobrak ruang rapat hanya untuk bisa ikut serta dalam proses legislasi?” tanyanya kesal.
Karena itu, ia mendesak agar revisi UU TNI dihentikan sementara, dan dibahas secara lebih transparan dengan melibatkan berbagai pihak. Dengan begitu, revisi ini bisa benar-benar memperkuat profesionalisme militer tanpa mengancam prinsip demokrasi yang telah dibangun sejak reformasi 1998.
Baca juga:
Usman Hamid: Militer Duduki Jabatan Sipil, Potensi Tuai Masalah
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!