NASIONAL

Berbenah Basis Data Kekerasan terhadap Perempuan

Sebab, hingga kini jumlah kasus terhadap perempuan masih tinggi, dan terus bertambah.

AUTHOR / Siti Sadida Hafsyah

Berbenah Basis Data Kekerasan terhadap Perempuan
Ilustrasi: Aksi perempuan menuntut RUU TPKS segera disahkan di depan Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, Selasa (8/3/2022). (Foto: ANTARA/Novrian Arbi)

KBR, Jakarta- Pemerintah dan sejumlah lembaga berupaya mensinergikan data kasus kekerasan terhadap perempuan. Tujuannya antara lain agar strategi penurunan angka kekerasan terhadap perempuan bisa lebih baik. 

Sebab, hingga kini jumlah kasus terhadap perempuan masih tinggi, dan terus bertambah. Karena itu, diperlukan data yang lengkap dan akurat dalam penyusunan kebijakan, program, dan kegiatan perlindungan perempuan. 

Sinkronisasi data kekerasan terhadap perempuan dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), dan Forum Pengada Layanan (FPL).

Sinkronisasi dan integrasi data tersebut sebetulnya sudah dilakukan oleh tiga lembaga itu sejak 2019. Melibatkan SIMFONI PPA milik Kementerian PPPA, Sintaspuan KP milik Komnas Perempuan, dan Titian Perempuan milik FPL.

Kepala Biro Data dan Informasi Kementerian PPPA Lies Rosdianty menyebut saat ini data kekerasan terhadap perempuan masih tersebar di berbagai unit layanan, sehingga memengaruhi kebijakan penanggulangan. 

Contohnya data kekerasan terhadap perempuan pada semester pertama periode Januari-Juni 2021 yang mencapai lebih dari 11.800-an korban. Data jumlah korban tersebut tersebar di SIMFONI PPA, Sintaspuan KP, dan di Titian Perempuan FPL.

“Tidak mudah untuk melakukan sinergi data dengan berbagai perbedaan di dalamnya. Baik sistem, kemudian konsep definsi, dan juga kategori-kategori yang ada di dalamnya. Ketiga lembaga ini saling mengisi dan saling melengkapi berdasarkan data-data yang ada,” kata Lies dalam acara ‘Gerak Bersama dalam Data, Laporan Sinergi Database Kekerasan terhadap Perempuan Tiga Lembaga, Selasa, (05/09/22).

Menurut Kepala Biro Data dan Informasi Kementerian PPPA Lies Rosdianty, data terbaru pada periode Juli hingga Desember 2021, menunjukkan usia anak merupakan karakteristik korban yang rentan mengalami berbagai bentuk kekerasan.

“Dari tiga lembaga ini, kita tahu bahwa korban kekerasan terhadap perempuan dominan berada pada usia muda, antara usia 13 sampai 44 tahun. Nah, kalau kita bandingkan antara anak-anak dan dewasa, data yang terlaporkan itu lebih banyak anak-anak, 52,59 persen korbannya adalah anak,” ujarnya.

Kerentanan korban juga bisa dilihat dari status pendidikan dan pekerjaan. Dari segi pendidikan, paling dominan adalah korban berpendidikan SLTA.

“Nah, ini juga kemungkinan disebabkan karena pengetahuan atau literasi mereka terhadap kekerasan berbasis gender sudah lebih baik. Sehingga mereka sadar untuk melaporkan apa yang dialaminya. Nah, kalau dilihat dari status pekerjaannya, yang paling dominan adalah mereka yang berstatus pelajar, mahasiswa, dan ibu rumah tangga,” tuturnya.

Baca juga:

Berdasarkan catatan Komnas Perempuan, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan, paling banyak terjadi di Pulau Jawa. Komisioner Komnas Perempuan Dewi Kanti menyebut, dari data tersebut bisa dijadikan gambaran, bahwa secara infrastruktur, pelayanan, dan pendokumentasian kasus kekerasan terhadap perempuan di Pulau Jawa, bisa disebut lebih optimal.

“Menurut SIMFONI PPA, Provinsi Jawa Tengah memiliki data korban kekerasan tertinggi. Dan Sintaspuan dari Komnas Perempuan, Jawa Barat memiliki data korban kekerasan tertinggi. Sedangkan dari FPL Titian Perempuan, Jawa Timur memiliki data korban kekerasan tertinggi. Ini juga bisa menunjukan bahwa data korban kekerasan yang terjadi di Indonesia, terutama di Pulau Jawa, memiliki catatan tertinggi,” katanya dalam acara yang sama.

Bersumber dari data tersebut, ketiga lembaga penghimpun data merekomendasikan sejumlah hal kepada pemerintah pusat dan daerah. Antara lain merekomendasikan pemerintah daerah berperan aktif untuk menurunkan angka kekerasan pada perempuan, bersumber dari data-data yang sudah ada.

Dewan Pengarah Nasional FPL, Siti Mazumah menyebut data tersebut bisa diolah menjadi bahan advokasi kebijakan terkait kasus kekerasan terhadap perempuan. Sebab menurutnya, data bukan hanya sekadar angka, melainkan bisa digunakan untuk banyak hal, semisal untuk perubahan sistem hukum yang paling baik. 

“Mendorong pemerintah daerah membangun komitmen politik pada koordinasi pelayanan dan pendokumentasian kasus kekerasan terhadap perempuan. Dengan memastikan dukungan dana alokasi khusus untuk mengembangkan sistem pendataan kasus kekerasan terhadap perempuan,” ucapnya.


Editor: Sindu

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!