NASIONAL

Belum Lama Dihapus, Jurusan SMA Mau Dihidupkan Lagi

"Setiap menteri cenderung membawa agenda dan pendekatannya sendiri, sehingga sistem pendidikan menjadi tidak stabil.

AUTHOR / Ardhi Ridwansyah

EDITOR / Muthia Kusuma

Google News
SMA
Ilustrasi siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) (FOTO: Pemkab Karanganyar)

KBR, Jakarta- Rencana Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Muti untuk menghidupkan kembali penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa di Sekolah Menengah Atas (SMA) menuai kritik dari sebagian kalangan parlemen. 

Ketua Komisi Pendidikan DPR RI Hetifah Sjaifudian mengatakan, Kebijakan yang diisyaratkan Mendikdasmen ini dinilai tergesa-gesa mengingat sistem penjurusan baru saja dihapus melalui Kurikulum Merdeka di bawah kepemimpinan Mendikbudristek sebelumnya.

Hetifah menekankan perlunya grand design pendidikan jangka panjang yang konsisten, bukan kebijakan yang mudah berubah seiring pergantian menteri.

"Setiap menteri cenderung membawa agenda dan pendekatannya sendiri, sehingga sistem pendidikan menjadi tidak stabil. Oleh karena itu, evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan penting, agar perubahan tidak bersifat coba-coba. Perubahan merupakan hasil dari riset mendalam atau kebutuhan nyata di lapangan," tegasnya melalui keterangan tertulis, Selasa (15/4/2025).

Lebih lanjut, Hetifah menyoroti pentingnya arah kebijakan pendidikan nasional yang berkelanjutan. Perubahan yang terlalu cepat tanpa masa transisi yang memadai akan membingungkan satuan pendidikan dan menghambat implementasi di lapangan.

"Perlu dipastikan kesiapan infrastruktur pendidikan, termasuk ketersediaan guru mata pelajaran spesifik, sarana penunjang, serta kesiapan sekolah-sekolah di daerah, apabila sistem penjurusan ini diterapkan kembali," ujarnya.

Ketimbang menghidupkan kembali sistem lama secara kaku, Hetifah mengusulkan agar penjurusan dibuat lebih fleksibel dan berbasis minat siswa.

"Misalnya, siswa bisa diberikan waktu satu tahun pertama untuk mengeksplorasi berbagai mata pelajaran lintas jurusan sebelum memilih peminatan utama di kelas 12. Dengan begitu, mereka memiliki dasar yang cukup untuk menentukan arah sesuai bakat dan minatnya secara sadar dan merdeka," tuturnya.

Baca juga:

Hetifah juga menekankan agar kurikulum ke depan memungkinkan siswa mengambil mata pelajaran pilihan dari luar jurusan sebagai lintas minat, tanpa batasan yang ketat.

"Harapannya, pendekatan ini menjaga esensi yang memberi kebebasan dan tanggung jawab kepada siswa atas proses belajarnya, sekaligus mempersiapkan mereka secara lebih terarah untuk melanjutkan pendidikan tinggi atau memasuki dunia kerja," jelasnya. 

Dukungan TKA

Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Muti memberikan sinyal mengenai rencana menghidupkan kembali sistem penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa di Sekolah Menengah Atas (SMA). Wacana ini disampaikan Muti kepada wartawan di Kantor Kemendikdasmen, Jakarta, pada Jumat (11/4/2025). Menurutnya, langkah ini diambil sebagai dukungan terhadap pelaksanaan Tes Kemampuan Akademik (TKA) yang akan menggantikan Ujian Nasional (UN).

"Ini bocoran, jurusan akan kita hidupkan lagi. Jadi nanti akan ada lagi jurusan IPA, IPS, dan Bahasa," ungkap Muti.

Kebijakan ini direncanakan berlaku mulai tahun ajaran baru 2025/2026, terutama bagi siswa kelas 10 yang akan naik ke kelas 11, dan akan diatur melalui peraturan menteri.

Lebih lanjut, Muti menjelaskan kehadiran TKA sebagai salah satu pertimbangan penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi menjadi alasan utama dihidupkannya kembali penjurusan.

TKA yang berbasis mata pelajaran dinilai memerlukan pengelompokan siswa berdasarkan minat akademik sejak SMA. Muti menambahkan, dalam TKA nanti, siswa dari semua jurusan wajib mengikuti tes Bahasa Indonesia dan Matematika, ditambah mata pelajaran khusus sesuai jurusan masing-masing.

Siswa IPA, misalnya, dapat memilih mata pelajaran khusus seperti kimia, biologi, dan fisika. Rencana ini juga didasari masukan dari Forum Rektor yang merasakan kurangnya kesiapan akademik mahasiswa baru di program studi tertentu akibat sistem pembelajaran SMA yang dianggap terlalu fleksibel pasca-penghapusan penjurusan.

Alasan Penghapusan Penjurusan

Sebelumnya, sistem penjurusan di SMA dihapuskan saat implementasi Kurikulum Merdeka di bawah Menteri Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Nadiem Makarim, mulai tahun ajaran 2024/2025.

Penghapusan ini bertujuan memberikan keleluasaan siswa memilih mata pelajaran sesuai minat dan menghilangkan stigma antarjurusan, serta memperluas akses siswa ke berbagai program studi di perguruan tinggi tanpa batasan jurusan SMA. Sebagai gantinya, siswa kelas 11 dan 12 SMA saat ini memilih mata pelajaran dari kelompok umum dan minimal tujuh mata pelajaran pilihan dengan alokasi waktu 5 jam pelajaran per minggu (kecuali Prakarya dan Kewirausahaan).

Tanpa Evaluasi

Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim menilai rencana Mendikdasmen ini terkesan terburu-buru dan tanpa evaluasi mendalam terhadap Kurikulum Merdeka yang baru berjalan.

"Format jurusan kan baru saja dihapus dalam Kurikulum Merdeka, kita belum lihat dampak dan efektivitasnya termasuk evaluasi IKM secara komprehensif belum ada. Menghidupkan kembali jurusan IPA/IPS terkesan tanpa kajian matang," katanya.

Dia khawatir perubahan kebijakan pendidikan yang terlalu sering dan kontras akan menghambat upaya mencerdaskan bangsa.

Pengamat Pendidikan Ina Liem juga menyuarakan ketidaksetujuannya, menilai penjurusan sudah tidak relevan dengan tuntutan era global yang membutuhkan fleksibilitas dan kemampuan interdisipliner.

Sementara itu, Salsa, seorang siswa Kelas 11 SMA di Jakarta, justru mengaku lebih menyukai adanya penjurusan karena dapat membantu fokus pada minatnya sejak awal sebagai persiapan kuliah.

"Karena industri 4.0 ini kan interdisipliner, jadi harus punya keahlian khusus di satu bidang jago banget tapi harus bisa memahami perspektif yang berbeda-beda," ucapnya kepada KBR. 

Ia mengkritisi alasan yang mungkin mendasari kebijakan ini, yaitu kesulitan perguruan tinggi dalam menyeleksi mahasiswa tanpa adanya penjurusan di SMA. Menurutnya, seharusnya pihak kampus mencari solusi dalam sistem seleksi mereka, bukan malah mengorbankan siswa dengan kembali memberlakukan pengkotak-kotakan jurusan.

"Alasannya karena perguruan tinggi tidak mampu atau kesulitan membuat sistem persyaratan masuk oleh karena itu anak-anak di SMA dikorbankan, lah harusnya perguruan tinggi mau dimampu kan enggak? Saya yakin orang-orang di perguruan tinggi ini bukan orang-orang yang intelektualitasnya rendah jadi pertanyaanya bukan tidak mampu tapi apakah mau?" ucapnya. 

Di sisi lain, seorang siswa Kelas 11 SMA Negeri di Jakarta, Salsa, justru mengungkapkan preferensinya terhadap adanya penjurusan. Ia berpendapat bahwa penjurusan dapat membantu siswa untuk lebih fokus dalam mendalami bidang ilmu yang diminati sejak awal.

"Kalau menurut saya lebih enakan ada jurusan IPA/IPS ya karena bisa membantu siswa fokus dalam mendalami bidang tertentu, jadi siswa akan lebih bisa mempelajari bidang itu yang mereka minati seperti sains di IPA atau sosial di IPS ini penting untuk persiapan kuliah," ucapnya kepada KBR. 

Salsa, yang bercita-cita masuk jurusan kedokteran, mengaku telah memilih mata pelajaran pilihan yang relevan seperti matematika tingkat lanjut, kimia, biologi, dan sosiologi sebagai persiapannya.

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!