NASIONAL
Atasi Perselisihan Pengusaha-Buruh soal UMP 2025, Ini Saran Pakar
Uwiyono menyarankan agar pengusaha dan pekerja berunding untuk mencapai kesepakatan terkait implementasi putusan MK. Hasil perundingan ini, menurutnya, dapat dituangkan dalam PKB
AUTHOR / Heru Haetami, Astri Septiani
-
EDITOR / Muthia Kusuma
KBR, Jakarta- Sebagian kalangan pakar hukum ketenagakerjaan mendorong pemerintah segera membuat regulasi untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK), terkait UU Cipta Kerja yang digugat kelompok buruh.
Guru Besar Hukum Ketenagakerjaan dari Universitas Trisakti, Aloysius Uwiyono, menilai regulasi ini penting untuk mencegah konflik antara pengusaha dan buruh yang semakin intensif pasca putusan MK.
"Tapi di sini pemerintah yang ikut campur di dalam hukum ketenagakerjaan. Sehingga keluarlah ketentuan Cipta Kerja tadi itu sangat merugikan buruh katanya. Nah dari segi pengusaha ada kebaikan-kebaikan. Sehingga memang hukum ketenagakerjaan itu berkembang antara dua sisi ini, kepentingan buruh dan kepentingan pengusaha yang selalu tidak sesuai. Sehingga bagaimana penyesuaian itu," ujar Aloysius dalam acara Ruang Publik KBR, Senin, (4/11/2024).
Baca juga:
Uwiyono menyarankan agar pengusaha dan pekerja melakukan perundingan untuk mencapai kesepakatan terkait implementasi putusan MK. Hasil perundingan ini, menurutnya, dapat dituangkan dalam Peraturan Kerja Bersama (PKB).
"Sehingga, penyesuaian itu dicapai melalui perundingan-perundingan atau perubahan undang-undang," katanya.
Formula UMP 2025
Sementara itu, merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan sebagian gugatan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja, Pengamat ketenagakerjaan, Timboel Siregar, mendesak pemerintah untuk merevisi formula penghitungan upah minimum provinsi (UMP) 2025.
Timboel menjelaskan bahwa putusan MK menegaskan kembali pentingnya komponen hidup layak dan persentase kontribusi pekerja terhadap pertumbuhan ekonomi daerah dalam perhitungan UMP 2025.
"Dengan putusan MK ini, maka harus ada revisi kembali Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2023 yang saat ini menjadi acuan yang memang pertama memastikan indeks itu tidak harus 0,1-0,3 dia harus dibuka berdasarkan komponen hidup layak dan persentase kontribusi pekerja terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah ya PDRB," ucapnya kepada KBR, Jumat, (1/11/2024).
Baca juga:
- Upah Buruh Tak Cukup Penuhi Kebutuhan Dasar, Meski Deflasi
- Sritex Pailit, Badai PHK Pekerja di Industri Tekstil Diperkirakan Tak Terbendung
Timboel juga menyoroti peran dewan pengupahan yang menurutnya harus diperkuat. Menurut dia, dewan pengupahan harus menjadi institusi yang menetapkan indeks kenaikan upah, bukan hanya formalitas.
"Kemudian juga dewan pengupahan harus benar-benar berdaya, tidak boleh dikerdilkan bahwa unsur pekerja memastikan mengikuti putusan MK dan mengambil sikap proaktif untuk bisa memastikan upah minimum 2025 tidak lagi berbasis pada PP 51 tersebut," jelasnya.
Putusan MK
Pekan lalu, Mahkamah Konstitusi memerintahkan DPR dan presiden, membentuk Undang-Undang Ketenagakerjaan baru dan mengeluarkan kluster ketenagakerjaan dari Undang-Undang tentang Cipta Kerja.
MK memberikan waktu dua tahun bagi DPR dan pemerintah membuat undang-undang baru, yang isinya menampung materi di UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan putusan Mahkamah Konstitusi.
Salah satu poin penting dalam putusan ini adalah penggunaan komponen hidup layak dalam perhitungan upah pekerja. MK meminta penjelasan mengenai "penghidupan yang layak bagi kemanusiaan" dimasukkan kembali dalam aturan pengupahan.
Selain itu, MK juga menghidupkan kembali peran dewan pengupahan daerah dalam menentukan kebijakan upah. Ini berarti, penetapan upah tidak lagi menjadi otoritas penuh pemerintah pusat, melainkan harus melibatkan perwakilan dari pemerintah daerah, pengusaha, dan pekerja.
Selain itu, MK juga mengatur struktur dan skala upah harus ditetapkan secara proporsional, dengan mempertimbangkan kontribusi pekerja terhadap pertumbuhan ekonomi daerah, kepentingan perusahaan, dan kebutuhan hidup layak pekerja.
Terkait indeks pengupahan, MK memerintahkan indeks yang digunakan harus mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi. Penetapan indeks pengupahan harus dilakukan seimbang dan tidak hanya menguntungkan salah satu pihak.
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!