NASIONAL

YLBHI: Aparat Polisi Menendang, Menyeret, dan Melukai Demonstran

"Polisi dilarang melakukan tindakan kekerasan dalam situasi apa pun, bahkan dalam situasi chaos."

AUTHOR / Hoirunnisa, Astri Septiani, Sindu

EDITOR / Sindu

YLBHI: Aparat Polisi Menendang, Menyeret, dan Melukai Demonstran
Ilustrasi: Aksi saling dorong antara aparat polisi dan demonstran tolak revisi UU Pilkada di kantor DPRD Mataram, NTB, Jumat, (23/08). Foto: ANTARA

KBR, Jakarta- Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyebut aparat polisi menendang, menyeret, dan melukai pedemo Kawal Putusan MK di sejumlah daerah. Direktur YLBHI Muhammad Isnur mengatakan, kekerasan aparat di berbagai kota terhadap para demonstran sudah sangat berlebihan.

"Yang ditangkap sangat, banyak data-data yang masuk kepada kami (YLBHI, red) lebih dari 300 orang yang terjadi di sana sini. Terjadi kekerasan brutal juga luar biasa terjadi di Semarang dan Makassar semalam, di Jakarta, di Purwokerto, di Palu, dan di Bojonegoro," tuturnya kepada KBR, Selasa, 27 Agustus 2024.

"Yang di Jakarta, yang pada tanggal 22 aksi itu dilepas semua, tapi kami belum menelusuri yang di tanggal 23. Jadi, kami sedang mencoba menelusuri melengkapi data-data jadi semua wilayah berapa banyak, dan berapa banyak yang dilepaskan kemudian," imbuhnya.

Desakan untuk Kapolri dan Komnas HAM

Direktur YLBHI Muhammad Isnur mendesak Kapolri Listyo Sigit Prabowo mengevaluasi menyeluruh seluruh aparat polisi yang melakukan kekerasan kepada pedemo di berbagai daerah.

"Jangan sampai ini juga seperti Kanjuruhan terjadi. Baik itu undang-undang dan juga Konvensi internasional tentang aksi politik, Konvensi Internasional Antipenyiksaan, Undang-Undang Kepolisian, Peraturan Kapolri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Penanganan Demonstrasi, Perkap 8/2009 tentang Implementasi HAM. Semua itu jelas melarang kepolisian untuk terpancing, untuk melakukan tindakan arogan, dilarang juga untuk melakukan tindakan kekerasan dalam situasi apa pun, bahkan dalam situasi chaos," katanya.

Kata Isnur, evaluasi perlu dilakukan kepada kepala polisi satuan wilayah. Sebab, kekerasan aparat polisi terhadap demonstran adalah tindakan melanggar hukum dan HAM.

"Jadi, kepolisian yang melakukan kekerasan baik itu komandannya, baik itu kemudian juga para pelaksanaannya, jelas bisa dijerat oleh banyak undang-undang," ujarnya.

Desakan juga ditujukan YLBHI kepada Komnas HAM. Isnur mendesak Komnas HAM mengusut pola kekerasan terstruktur, masif, dan meluas yang dilakukan aparat polisi.

"Kemudian penting bagi Komnas HAM melihat apakah ada, pola kekerasan ini dalam bentuk struktur, masif dan meluas. Ini bisa dilihat dan dijerat Undang-Undang 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM Berat. Oleh karena itu Komnas HAM perlu melakukan penyelidikan proyustisi, ya. Jadi, kami juga mendesak kepolisian tidak melakukan pelanggaran dengan menghalang-halangi tugas Undang-Undang Advokat dan Undang-Undang Bantuan Hukum," pungkas Isnur.

red
Aksi massa Kawal Putusan MK saat demo di Balai Kota Semarang, Kamis, 22 Agustus 2024. Foto: KBR/Aninda Putri

Sanksi Aparat Polisi Terduga Pelaku Kekerasan

Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) mendorong pemberian sanksi kepada aparat polisi yang diduga melakukan kekerasan saat aksi demo Kawal Putusan MK di berbagai daerah.

Komisioner Kompolnas Yusuf Warsyim menegaskan, pengamanan unjuk rasa semestinya sesuai SOP atau aturan. Kata dia, anggota yang bertugas di lapangan tidak boleh terpancing situasi apa pun yang bisa menyebabkan lepas kendali, apalagi melakukan kekerasan.

"SOP kan mengatakan tidak terpancing. Apakah mereka ini memang tidak bisa mengendalikan dirinya sehingga keluar dari SOP? Nah, kalau sudah keluar dari SOP yang bagaimanapun pasti dimintai pertanggungjawabannya. Tentu dugaan-dugaan kekerasan yang itu dilakukan oleh oknum anggota yang bertugas di lapangan, ya, tetap diproses. Nanti bagaimana proses bukti-buktinya kita serahkan kepada pihak Propam. Apakah itu pelanggaran disiplin atau pelanggaran kode etik biar itu kita serahkan," kata Yusuf kepada KBR, Selasa, (27/08/24).

Kata dia, Kompolnas juga mendorong kepolisian mengedepankan langkah-langkah humanis dalam penanganan unjuk rasa, dan memastikan tidak terjadi kekerasan oleh aparat polisi di lapangan. Ia juga mendorong konsep kepolisian demokratis. Sebab, kebebasan menyampaikan pendapat adalah hak konstitusional.

Selain itu, Yusuf juga menyayangkan penetapan tersangka terhadap beberapa masyarakat sipil yang ikut aksi demo. Ia mendorong ada restorative justice atau keadilan restoratif untuk para tersangka.

Klaim Aparat Polisi

Sebelumnya, dalam konteks pengamanan di Jakarta, Kapolres Metro Jakarta Pusat, Susatyo Purnomo Condro mengeklaim tetap menghargai massa aksi yang menyampaikan pendapat. Kata dia, personel yang terlibat pengamanan juga tak ada yang membawa senjata api.

"Dalam rangka pengamanan aksi elemen masyarakat di bundaran Patung Kuda Monas dan sekitarnya, kami melibatkan sejumlah 1.273 personel gabungan. Personel gabungan tersebut dari Polda Metro Jaya, Polres Metro Jakarta Pusat, TNI, Pemda DKI dan instansi terkait personel ditempatkan di sejumlah titik di sekitar Patung Arjuna Wijaya, depan Gedung MK, hingga depan Istana Merdeka," ujar Susatyo kepada wartawan, Kamis, (22/8/2024).

Susatyo mengatakan pengamanan dilakukan untuk mengantisipasi, dengan menyiapkan sejumlah personel untuk melakukan pengamanan dan mencegah massa aksi masuk ke kawasan. Ia mengingatkan seluruh personel selalu bertindak persuasif, tidak memprovokasi dan terprovokasi.

"Lakukan unjuk rasa dengan damai, tidak memaksakan kehendak, tidak anarkis dan tidak merusak fasilitas umum. Hormati dan hargai pengguna jalan yang lain yang akan melintas di Bundaran Patung Kuda Monas dan beberapa lokasi lain," imbau Susatyo.

Batal

Aksi demo Kawal Putusan MK terjadi di sejumlah daerah di tanah air, semisal di Jakarta, Semarang, dan Bandung. Ribuan massa bergerak, lantaran DPR dan pemerintah berupaya mengakali putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang ambang batas pencalonan, dan syarat usia calon kepala daerah lewat revisi UU Pilkada. Sebab, putusan MK bakal mengubah konstelasi Pilkada 2024.

Revisi UU Pilkada akhirnya batal disahkan, lantaran rapat paripurna tak memenuhi syarat kuorum, Kamis, 22 Agustus 2024. Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengeklaim, parlemen patuh, taat, dan tunduk aturan yang berlaku.

red
Aksi demo massa kawal putusan MK di depan gedung DPR, Kamis, 22 Agustus 2024. Foto: KBR/Nanda Naufal

Brutal

Merespons aksi kekerasan di berbagai daerah saat aksi demo Kawal Putusan MK, Amnesty International menyebut aparat polisi bertindak brutal. Menurut Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, ini bukan kali pertama polisi bertindak brutal.

"Aparat yang brutal tersebut seolah tidak mau belajar dari sejarah, bahwa penggunaan kekuatan eksesif telah merenggut hak asasi manusia, dari hak untuk berkumpul damai, hingga hak untuk hidup, tidak disiksa, dan diperlakukan tidak manusiawi," kata Usman dalam siaran persnya, Kamis, 22 Agustus 2024.

Menurut Usman, para pedemo bukan kriminal, tetapi warga yang ingin mengkritik pejabat dan lembaga negara. Ia menegaskan, seumpama mereka melanggar hukum pun tak boleh diperlakukan dengan brutal.

"Di petang hari, ada banyak yang ditangkap dan diperlakukan dengan cara-cara yang tidak mencerminkan penegak hukum yang profesional. Kekuatan hanya bisa dipakai ketika polisi bertindak untuk melindungi warga atau menyelamatkan jiwa, baik jiwa peserta aksi maupun petugas," imbuhnya.

Aksi demo diikuti sejumlah tokoh mulai dari guru besar, akademisi, dan aktivis 1998 untuk mengawal putusan MK yang berusaha diakali DPR dan pemerintah.

Baca juga:

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!