BERITA

Apakah Produk Halal = Produk Sehat?

Puluhan jenis fast food dan soft drink dicap "halal" oleh MUI. Tapi, menurut berbagai penelitian medis, produk-produk itu tidak baik untuk kesehatan.

AUTHOR / Adi Ahdiat

Apakah Produk Halal = Produk Sehat?
Logo halal Majelis Ulama Indonesia. (Gambar: www.halalmui.org)

KBR, Jakarta- Mulai hari ini (17/10/2019) pemerintah memberlakukan Undang-undang Jaminan Produk Halal (JPH). Dengan demikian, seluruh produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.

Adapun produk-produk yang diharamkan agama Islam, semisal alkohol dan daging babi, wajib mencantumkan label "tidak halal" di kemasannya.

Menurut Wapres Jusuf Kalla, kebijakan ini tak hanya bermanfaat bagi warga muslim saja, tapi juga semua agama.

“Karena sertifikat itu jaminan, dan tentu memperlancar pemasaran. Cuma, konsep yang sekarang ini lebih maju, bukan hanya halal tapi halalan thayyibah. Halal dan baik. Itu konsepnya,” kata Kalla, seperti dilansir situs Kementerian Agama, Rabu (16/10/2019). 

"Jadi kalau tidak mau ambil halalnya, tetap bisa ambil thoyib, baiknya. Atau bisa saja makan dan minuman itu halal, bahan-bahannya halal, tapi ternyata tidak baik, ini juga bahaya," katanya lagi.


Tak Semua Produk Halal itu Sehat

Meski diklaim "baik", ternyata tak semua produk halal bermanfaat untuk kesehatan.

Makanan cepat saji atau fast food, misalnya. Ada puluhan restoran fast food yang sudah dicap "halal" dan masuk dalam Daftar Belanja Produk Halal rilisan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Tapi, menurut berbagai penelitian medis, produk itu tidak baik untuk kesehatan. 

"Makanan cepat saji jelas berbahaya bagi kesehatan anak. Anak-anak yang makan fast food memiliki asupan energi, lemak jenuh, natrium, dan asupan minuman bersoda lebih tinggi, serta asupan vitamin A dan C lebih rendah dari mereka yang tidak mengonsumsinya," jelas Jagadish C. Das, associate professor dari Chittagong Medical College, dalam laporan penelitiannya yang dirilis Medical & Clinical Reviews.

Menurut Jagadish, kebiasaan mengonsumsi fast food bisa menyebabkan obesitas, hipertensi, dyslipidemia (penumpukan lemak dalam darah), penyakit jantung, serta diabetes.

"Generasi muda semakin kecanduan makanan cepat saji, yang mengindikasikan ada masalah serius di sektor kesehatan masyarakat. Perlu ada tindakan serius untuk mengatasi masalah ini," kata Jagadish.

Selain makanan cepat saji, soft drink seperti Coca-Cola, Fanta, Sprite, Big Cola, dan Pepsi juga dicap "halal" oleh MUI. Padahal, menurut berbagai penelitian, minuman manis bersoda itu tidak baik untuk kesehatan anak. 

"Salah satu hal terburuk bagi anak-anak adalah minuman bergula dan bersoda. Bukan hanya cola dan jus-jus rasa buah, sport drink (minuman energi) juga mengandung gula dalam jumlah tinggi, tapi kalorinya nol," kata sejumlah peneliti dalam Journal of Pharmaceutical and Scientific Innovation.

"Minuman ini (soft drink) sama sekali tidak mengandung nutrisi. Lebih buruk lagi, mereka mengandung bahan kimia dan gula yang justru menguras nutrisi tubuh Anda. Menurut studi epidemiologi kanker, meminum dua (botol/kaleng) soda per minggu bisa menggandakan risiko seseorang terkena kanker pankreas," jelas mereka lagi.


UNICEF: Kendalikan Pemasaran Produk Tidak Sehat

Menurut UNICEF, organisasi PBB di bidang kesejahteraan anak, maraknya peredaran produk-produk tidak sehat seperti fast food dan soft drink itu menjadi salah satu penyebab kasus malnutrisi di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Karenanya, UNICEF mendorong pemerintah membuat kebijakan terkait perbaikan gizi masyarakat, terutama untuk anak-anak.

Beberapa contoh kebijakan itu seperti: mengontrol pemasaran produk tidak sehat, membuat sistem pelabelan produk "sehat", serta mengedukasi masyarakat soal gizi.

UNICEF juga mendorong negara-negara supaya memberlakukan pajak tinggi bagi produk-produk "tidak sehat".

“Perjuangan ini tidak bisa dilakukan sendiri. Kita butuh pemerintah, sektor swasta dan masyarakat sipil untuk memprioritaskan nutrisi anak, serta bekerja sama mengatasi pola makan tidak sehat dalam segala bentuknya," kata Direktur Eksekutif UNICEF Henrietta Fore dalam rilisnya, Selasa (15/10/2019).

Editor: Sindu Dharmawan

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!