NASIONAL
Sertifikasi Halal Indonesia, antara Protes Trump dan Desakan Pembenahan
Skeptis, label halal dikemasan produk masih bisa menjadi jaminan konsumen mendapatkan produk yang benar-benar halal.

KBR, Jakarta - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memprotes kebijakan sertifikasi halal yang diberlakukan di Indonesia. Dalam laporan tahunan Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) itu, pemerintah AS menyebut, kebijakan sertifikasi halal menghambat perdagangan negaranya ke Indonesia.
Hambatan-hambatan perdagangan itu tertuang dalam National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers 2025 yang rilis pada 31 Maret 2025.
Berdasarkan NTE 2025 itu, “Paman Sam” keberatan dengan kebijakan sertifikasi halal yang membuat barang impor dari AS harus lebih dulu melalui ‘kantor’ Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk uji kehalalan.
"Karena Indonesia terus mengembangkan peraturan untuk menerapkan undang-undang ini, para pemangku kepentingan AS khawatir bahwa Indonesia telah menyelesaikan banyak peraturan tersebut sebelum memberitahukan rancangan peraturan tersebut kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan mempertimbangkan masukan dari para pemangku kepentingan. Sebagaimana yang dipersyaratkan dalam Perjanjian WTO tentang Hambatan Teknis Perdagangan dan sebagaimana direkomendasikan Komite WTO tentang Hambatan Teknis Perdagangan (Komite TBT WTO)," demikian klaim NTE 2025.
AS pun menyebut, kebijakan sertifikasi halal di Indonesia tidak transparan dan sangat memberatkan eksportir. Tak hanya itu, AS menuding, untuk mendapatkan sertifikat halal dan memenuhi syarat tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) di Indonesia juga sama-sama dianggap menyusahkan.
Regulasi Sertifikasi Halal di Indonesia
Aturan wajib sertifikasi produk halal di Indonesia tertuang dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Regulasi ini mengatur jaminan kehalalan produk yang beredar di tanah air.
Undang-undang ini pun mewajibkan seluruh produk makanan dan minuman yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di Indonesia memiliki sertifikat halal.
Sertifikat Halal diterbitkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama berdasarkan fatwa halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Lantas apa komentar Kepala BPJPH, Ahmad Haikal Hassan terkait protes AS itu?
Saat konferensi pers di kantornya, Senin (21/4/2025), Haikal masih belum bersedia memberikan tanggapan saat diminta tanggapan terkait AS yang protes dan menganggap kebijakan sertifikasi halal di Indonesia sebagai hambatan teknis perdagangan.
"Akan kami jawab, setelah kami melakukan hubungan langsung ke Amerika," kata Haikal saat itu.
PBNU Singgung Kedaulatan RI
Sementara itu, merespons ‘tekanan’ dari AS, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf alias Gus Yahya menegaskan, sertifikasi halal merupakan aturan yang berlaku di Indonesia dengan tujuan melindungi masyarakat sebagai konsumen. Sertifikasi halal merupakan aspirasi masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim.
"Protes (AS) itu boleh saja. Tapi kita juga punya kedaulatan untuk membuat pengaturan tentang semua hal didalam masyarakat kita, untuk perlindungan (konsumen). Menurut saya normal saja. Kalau masyarakat punya aspirasi untuk mendapat perlindungan dalam produk halal, dalam hal ini aturan (sertifikasi) halal. Saya kira hal itu normal dan patut diberlakukan," kata Gus Yahya dalam pernyataannya dikutip KBR Media dari situs resmi nu.go.id, Jumat (25/4/2025).

Gus Yahya juga mengingatkan, semua barang impor yang masuk ke Indonesia termasuk dari AS, harus mengikuti aturan yang berlaku. Aturan demikian tidak hanya diberlakukan di Indonesia, bahkan di negara-negara Islam lain, beleid sertifikasi halal itu lebih ketat diberlakukan daripada yang diterapkan di Indonesia.
"Kita punya kepentingan melindungi masyarakat kita. Toh mereka (AS) tidak dilarang untuk jual barang di Indonesia, cuma enggak pakai produk halal. Kalau tidak paai sertifikat halal, bukan berarti dilarang, hanya tidak boleh dipasarkan sebagai produk halal saja," tambahnya.
Sertifikasi Halal, Wajib tapi Masih Bermasalah
Meski PBNU menyatakan kebijakan sertifikasi halal penting untuk melindungi masyarakat sebagai konsumen, tapi implementasinya justru bermasalah.
Awal pekan ini misalnya, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bersama BPJPH memaparkan temuan sembilan produk pangan olahan yang mengandung unsur babi. Konferensi pers kedua institusi ini Senin, 21 April 2025. Terungkap di sana, dari sembilan produk tersebut, justru ada tujuh produk di antaranya yang sudah bersertifikat halal, namun mengandung unsur babi.
Kasus ini mendapat sorotan berbagai pihak, termasuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Baca juga:
Wajib Sertifikasi Halal UMKM, Perlu atau Nanti Dulu?
Wakil Ketua KPAI, Jasra Putra mempertanyakan peran pengawasan dari BPOM, BPJPH, MUI, lembaga pengawasan konsumen, dan lembaga pengawasan badan halal lainnya terhadap implementasi kebijakan sertifikasi halal.
Jasra bahkan menyebut, pencantuman logo jaminan produk halal pada tujuh kemasan produk pangan olahan yang mengandung unsur babi mengecoh banyak pihak. Akibatnya, masyarakat terautama anak-anak menyukai dan mengonsumsinya.
Jasra pun mendorong kasus ini diselesaikan oleh Kepolisian.
“Kita juga berharap, kalau ada kelalaian, kesengajaan, harus ada sanksi tegas dari Kepolisian. Karena, ini terkait tumbuh-kembang anak, ini tidak hanya sekadar pangan, tapi bicara keyakinan akan produk yang halal atau tidak, yang perlu segera menjadi perhatian pemerintah,” kata Jasra kepada KBR Media (23/4/2025).
YLKI Dorong Evaluasi Proses Sertifikasi Halal
Kondisi kontras antara urgensi sertifikat halal dengan temuan tujuh produk pangan olahan bersertifikat halal namun mengandung unsur babi, membuat Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) berkomentar.
Peneliti di YLKI, Niti Emiliana menyatakan skeptis, label halal dikemasan produk masih bisa menjadi jaminan konsumen mendapatkan produk yang benar-benar halal.

Ia pun mendorong pemerintah mengevaluasi dan memperbaiki teknis proses dan pemberian sertifikat halal. Tak hanya itu, pemerintah juga didesak memeriksa secara ketat semua produk impor tanpa kecuali.
“Sehingga, label halal di kemasan produk itu benar-benar bisa menjadi jaminan kehalalan untuk konsumen,” kata Niti kepada KBR Media, Jumat (25/4/2025).
Meski ada protes dari pemerintah AS terkait sertifikasi halal yang menghambat perdagangan, tapi Niti menyatakan, persyaratan sertifikasi halal untuk barang-barang impor termasuk dari AS, tetap harus dipertahankan. Namun, Niti mendorong dilakukannya evaluasi serta pengawasan yang lebih ketat.
Ia juga menjelaskan, perdagangan internasional telah diatur oleh organisasi perdagangan dunia (WTO). Peraturan WTO memperbolehkan negara memberlakukan persyaratan sertifikasi halal untuk setiap barang impor, selama penerapannya tidak secara diskriminatif.
“Karena ini juga merupakan hak dan kebutuhan konsumen Muslim di Indonesia. Semua negara boleh mensyaratkan sertifikasi halal untuk barang impor, dan ini tidak melanggar peraturan WTO. Asalkan peraturan tersebut tidak diskriminatif, dan diberitahukan terlebih dahulu sesuai regulasi, dan transparan,” tukasnya.
Alur dan Biaya Mengurus Sertifikasi Halal
Persiapan pelaku industri sebelum mengurus sertifikasi halal:
1. Surat permohonan
2. Aspek legal (NIB)
3. Dokumen penyelia halal
4. Daftar produk dan bahan yang digunakan
5. Proses pengolahan produk
6. Manual Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH)
7. Ikrar pernyataan halal pelaku usaha

Sepuluh alur mengurus sertifikasi halal reguler:
1. Pelaku usaha mendaftar sertifikasi halal di ptsp.halal.go.id (SIHALAL)
2. BPJH akan melakukan verifikasi dokumen
3. Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) akan menghitung dan meng-input biaya pemeriksaan di SIHALAL
4. BPJH akan menerbitkan tagihan pembayaran
5. Pelaku usaha membayar tagihan dan mengunggah bukti bayar di SIHALAL
6. BPJH akan memverifikasi bukti bayar dan menerbitkan Surat Tanda Terima Dukungan (STTD)
7. LPH akan melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian produk
8. Komisi Fatwa/Komite Fatwa akan melakukan sidang fatwa penetapan kehalalan produk
9. BPJH menerbitkan sertifikasi halal
10. Pelaku usaha bisa mengunduh sertifikat halal
Biaya sertifikasi halal bervariasi tergantung jenis usaha dan produk yang akan disertifikasi. Namun secara umum, melalui Keputusan Kepala BPJPH Nomor 141 Tahun 2021, tarif sertifikasi halal reguler bagi usaha mikro dan kecil (UMK) adalah sebesar Rp650.000. Biaya tersebut terdiri dari biaya pendaftaran dan penetapan kehalalan produk sebesar Rp300.000, dan biaya pemeriksaan kehalalan produk oleh Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) sebesar Rp350.000.
Biaya tersebut di luar biaya uji laboratorium dan di luar akomodasi dan/atau transportasi pemeriksaan lapangan.
Sanksi Pelanggaran Sertifikasi Halal
Dikutip dari laman bpjh.halal.go.id, salah satu kasus pelanggaran sertifikasi halal terjadi tahun lalu.
BPJPH mencabut sertifikat halal produk Roti Okko, berdasarkan hasil investigasi tim pengawasan BPJPH yang menemukan adanya sejumlah pelanggaran atas regulasi Jaminan Produk Halal (JPH).
Sanksi yang diberikan adalah administratif berupa pencabutan sertifikat halal dengan nomor ID00210006483580623 terhitung sejak 1 Agustus 2024.
Baca juga:
Waspada, Produk Pangan Berunsur Babi tapi Bersertifikat Halal
Sejak BPOM merilis temuan penggunaan bahan berbahaya berupa Natrium Dehidroasetat pada produk Roti Okko, BPJH juga langsung menugaskan tim untuk melakukan pengawasan ke lapangan. BPJH meminta konfirmasi lebih dulu kepada Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) LPPOM, dan berkoordinasi dengan BPOM.
Hasil pemeriksaan menunjukkan, PT ARF telah mengajukan sertifikasi halal melalui Sihalal pada 27 Juni 2023 sesuai ketentuan yang berlaku. Pada saat itu Roti Okko menggunakan bahan pengawet kalsium propionate sesuai dengan daftar bahan yang dilaporkan perusahaan pada saat pengajuan sertifikasi halal di Sihalal. Juga, tidak ditemukan bahan natrium dehidroasetat saat auditor halal melakukan pemeriksaan bahan dan produksi.
Melalui pengawasan ke fasilitas produksi atau pabrik, BPJPH menemukan ketidaksesuaian proses produksi terhadap penerapan Sistem Jaminan Produk Halal atau SJPH. Dalam hal ini, yang berkaitan dengan kriteria komitmen dan tanggung jawab, penggunaan bahan, proses produk halal, produk, dan juga pemantauan dan evaluasi.
BPJPH juga menemukan pencantuman label halal pada produk Roti Bun Rasa Kopi Susu yang tidak terdaftar sebagai varian produk dalam sertifikat halal nomor ID00210006483580623.
Dari hasil temuan pengawasan ke fasilitas produksi itulah, tim pengawas menemukan pelanggaran terhadap ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal pasal 65, pasal 84 dan pasal 87.
Atas dasar itu, sesuai ketentuan PP yang sama di pasal 149, maka atas pelanggaran tersebut pelaku usaha dikenai sanksi administrastif berupa pencabutan sertifikat halal, dan penarikan barang dari peredaran. (*)
Koreksi:
Sabtu, 26 April 2025 pukul 19.09 WIB, Redaksi mengganti judul "Amerika Protes Sertifikasi Halal, Indonesia Harus Melawan" menjadi "Sertifikasi Halal Indonesia, antara Protes Trump dan Desakan Pembenahan". Perubahan dilakukan demi relevansi dengan isi artikel. Terima kasih.
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!