indeks
Aktivis May Day 2025 Diculik dan Disiksa: Aku Berteriak 'Tolong' dengan Sangat Lantang

Aktivis May Day 2025 mendapat teror usai melaporkan polisi atas tindakan kekerasan selama aksi peringatan Hari Buruh di depan gedung DPR-MPR

Penulis: Heru Haetami, Naomi Lyandra, Ninik Yuniati

Editor: Ninik Yuniati

Google News
Aktivis May Day 2025 Diculik dan Disiksa: Aku Berteriak 'Tolong' dengan Sangat Lantang
Gambar hasil coretan aktivis May Day 2025 yang menjadi korban penculikan terduga aparat. (Foto: dok pribadi).

KBR, Jakarta - Dua gambar di atas kertas putih bergaris, dijajarkan di atas meja.

Gambar pertama adalah sebatang rokok yang sudah dibakar, ditandai dengan asap di ujungnya. Di atas gambar itu ada tulisan: “Ia berteriak minta TOLONG…”

Coretan kedua adalah gambar raut wajah sisi kanan dengan pipi penuh guratan luka berbentuk bulatan. Di atasnya ada tulisan: “Langitnya suram, lukanya pun semakin dalam…”

Dua gambar itu karya seorang laki-laki muda korban penculikan dan penyiksaan, yang terjadi pada Rabu, 30 Juli 2025 dini hari.

Ada dugaan tindak kekerasan ini terkait aktivitas korban yang pernah mengikuti aksi peringatan Hari Buruh atau May Day di depan gedung DPR-MPR, Mei lalu.

Lewat dua gambar itu, korban mendeskripsikan pengalaman traumatis yang ia alami.

Ia disiksa, disundut rokok berulang kali.

“Aku berteriak "Tolong" dengan sangat lantang. Namun, sebatang rokok itu justru semakin dekat dan membakar kulit tipis wajah ku ini,”kata korban melalui pesan teks kepada KBR, Rabu (6/8/2025), menjelaskan makna tulisan di gambar pertama.

“Aku melihat wajahku yang penuh dengan luka di bawah langit malam yang tak hitam, melainkan abu-abu suram karena tertutup awan hujan yang tebal. Bahkan, bukan hanya langit yabg suram, tetapi rasa sakit luka ini semakin dalam,” lanjutnya menerangkan makna gambar kedua.

red
Teguh Aprianto, aktivis peserta aksi May Day 2025, dikriminalisasi atas tuduhan membangkang perintah polisi. (Foto: Heru/KBR)

Kronologi

Korban menceritakan kisahnya diculik dan disekap selama 40 menit ke kawannya, Teguh Aprianto.

Kala itu, kata Teguh, korban sedang mengendarai motor untuk pulang ke indekosnya di wilayah Depok, Jawa Barat. Tiba-tiba sebuah mobil Xenia hitam mendekat dan langsung memepet motornya.

Empat orang berbadan tegap turun dan menarik korban masuk ke dalam mobil.

“Jadi (korban) langsung ditarik, kakinya diborgol, langsung dipukul. Dipukul, diculik ke dalam mobil, dan disekap,” ucap Teguh kepada KBR di gedung YLBHI, Jakarta, Selasa, (5/8/2025).

Korban didudukkan di kursi tengah, diapit dua orang di kiri dan kanan. Semua pelaku bertopeng.

Pelaku yang duduk di sebelah sopir mencecarnya dengan pertanyaan seputar orang-orang yang terlibat aksi May Day 2025. Korban disodori puluhan foto dan dipaksa menjawab apakah mereka turut dalam aksi.

“Dia (korban) juga diminta untuk mengidentifikasi yang mana dirinya. Dia ditanya-in bergabung ke kelompok apa,” ungkap Teguh yang juga turut dalam aksi May Day.

Korban disiksa jika jawabannya tak memuaskan pelaku.

“Setiap kali pertanyaan diberikan, terus mereka merasa gak mendapatkan jawaban yang mereka harapkan. Itu ya udah (korban) dipukul, pipinya disundut rokok. Dan itu dilakukan berulang kali,”tutur Teguh.

Tiba-tiba, ponsel salah satu pelaku berbunyi. Si pelaku mengangkatnya kemudian berbincang dengan orang di ujung telepon, yang disapa dengan panggilan “Ndan”.

“Percakapannya seperti,‘bukan ini orang, Ndan, tapi kayaknya ini temannya. Kata si pelaku. Terus dia keluar dari mobil. Buat melanjutkan telepon, terus gak berapa lama dia balik lagi masuk ke mobil. Dia ngomong, iya, Ndan, gak ada HP-nya. Siap, Ndan, izin arahan’,” ujar Teguh menirukan.

Tak berapa lama, korban dilepaskan.

Kasus ini mendapat pendampingan dari Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD). 

Menurut Yahya, pendamping hukum TAUD, di era Reformasi, penculikan atau penghilangan paksa masih terjadi. Bedanya, jangka waktu penculikan kini relatif singkat. Kasus-kasus tersebut sudah dilaporkan sejak 2019, tetapi tidak pernah diusut tuntas.

"Kami biasa sebut dengan short term disapearance. Mereka ditangkap, diculik, dihilangkan dalam jangka waktu singkat, mungkin hanya hitungan jam," tutur Yahya dalam talkshow di Ruang Publik KBR, Kamis (7/8/2025)



Teror usai lapor

Penculikan ini bukan teror pertama yang dialami korban. Menurut Yahya, korban pernah dikuntit orang tak dikenal dan dikirimi bangkai tikus yang ditaruh di motornya.

Banyak peserta aksi May Day 2025 lain yang juga mengalami teror, termasuk Teguh Aprianto. TAUD mencatat setidaknya 17 intimidasi terjadi sepanjang Juni-Juli. 

Rentetan teror terjadi usai TAUD melaporkan Polda Metro Jaya ke Mabes Polri sekitar pertengahan Juni 2025, atas tindak kekerasan yang dilakukan aparat saat aksi May Day. 

Teguh dan rekan-rekannya harus melakukan berbagai mitigasi sebagai upaya antisipasi, tetapi mereka tetap diintimidasi. 

“Ketika kami audiensi di Ombudsman, pulangnya kami semacam bikin pengalihan. Kami nggak langsung pulang ke rumah. Kami singgah di salah satu tempat billiard. Kita main duluan, terus tiba-tiba penyidik di PMJ (Polda Metro Jaya) main di sebelah kita," tutur Teguh. 

"Awalnya kita cuma mikir kebetulan, tapi kok terlalu banyak gitu. Dan habis itu, terus berlanjut ke tempat tinggal, diawasi, serangan digital, percobaan pengambilalihan WhatsApp,” imbuhnya.

Celakanya, Mabes Polri malah melimpahkan laporan TAUD ke Polda Metro Jaya.

“Sengaja kita melaporkannya ke Bareskrim dan Mabes Polri karena secara kedudukan mereka lebih tinggi. Tapi kemudian malah dilimpah ke Polda Metro Jaya. Jadi pihak yang kita laporkan, menangani laporan tersebut,” tutur Teguh.

Menurut pengacara publik LBH Jakarta, Mala Silviani, pelimpahan laporan ini bentuk upaya memperlama perkara (undue delay), yang memperkuat impunitas terhadap polisi yang melanggar.

red
Data KontraS menunjukkan ada 602 peristiwa kekerasan yang dilakukan Polri selama Juli 2024-Juli 2025, yang tertinggi adalah penembakan

Kriminalisasi tak berhenti

Selain diteror, sebagian peserta aksi May Day dikriminalisasi karena dianggap membangkang perintah polisi. Sebanyak 14 orang, termasuk Teguh, menyandang status tersangka.

Komisioner Komnas HAM Pramono Ubaid mendapat informasi bahwa kasus ini sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Komnas berupaya agar kasus tersebut tak berlanjut.

“Sudah berkirim surat kepada Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta agar mempertimbangkan tidak menerbitkan P21 sehingga kasus ini tidak dilanjutkan, kita mendorong agar di kasus ini diselesaikan melalui mekanisme restorative justice,” ujar Pramono di talkshow Ruang Publik KBR, Kamis (7/8/2025).

Pramono bilang, Komnas HAM sebelumnya juga telah bertemu Inspektur Pengawasan Daerah (Irwasda) Polda Metro Jaya dalam rangka mengawal kasus kriminalisasi terhadap belasan aktivis May Day. Ada sejumlah temuan menunjukkan bahwa proses penangkapan dan penetapan tersangka tidak dilandasi bukti-bukti kuat.

“Bahkan, paramedis dan paralegal ikut dituduh. Kalau fungsi intelijen (polisi) berjalan baik, seharusnya tidak perlu ada penangkapan acak. Harus ada bukti video, rekaman, dan investigasi yang tepat,” tutur Pramono.

Kebebasan sipil menyempit

Pramono mengamini kasus-kasus ini memperlihatkan kebebasan sipil di Indonesia makin sempit. Menurutnya, lembaga-lembaga negara dan masyarakat sipil harus tetap bersuara untuk menyelamatkan demokrasi.

Di forum yang sama, anggota DPR dari Fraksi PKS, Nasir Djamil pun mengakui penurunan demokrasi di negeri ini. Namun, ia malah mempertanyakan kinerja lembaga-lembaga negara seperti Komnas HAM dan LPSK yang semestinya berperan mengawal demokrasi.

“Saya pikir ini harus dievaluasi bersama. Apalagi lembaga-lembaga seperti Komnas HAM adalah perpanjangan tangan DPR yang diharapkan bisa lebih all out memperjuangkan kepentingan masyarakat,” ujar Nasir Djamil yang juga anggota Komisi III DPR yang membidangi hukum ini.

Indeks demokrasi Indonesia terus menurun beberapa tahun terakhir menurut The Economist Intelligence Unit (EIU). Pada 2024, Indonesia berada di peringkat ke 59 secara global, turun tiga posisi. Indonesia memperoleh skor 6.44 yang masuk kategori "flawed democracy" (demokrasi cacat).

Baca juga: Mayday! 79 Tahun, Polri Masih jadi Aktor Utama Kekerasan

penculikan aktivis
penghilangan paksa
may day
kekerasan aparat

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...