NASIONAL

AJI Indonesia: 82,6 Persen Jurnalis Perempuan Mengalami Kekerasan Seksual

852 jurnalis perempuan di 34 provinsi yang dilibatkan dalam riset tersebut.

AUTHOR / Hoirunnisa

AJI Indonesia: 82,6 Persen Jurnalis Perempuan Mengalami Kekerasan Seksual
Ilustrasi setop kekerasan terhadap jurnalis. Foto: DKW

KBR, Jakarta- Ratusan jurnalis perempuan di Indonesia pernah mengalami kekerasan seksual sepanjang karier jurnalistiknya. Angka itu diperoleh berdasarkan hasil riset Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, yang dikerjakan bersama Pemantau Regulasi & Regulator Media (PR2Media), pada akhir 2022. Tercatat ada 852 jurnalis perempuan di 34 provinsi yang dilibatkan dalam riset tersebut.

Dari jumlah itu, 82,6 persen di antaranya pernah mengalami kekerasan seksual. Rinciannya, 704 jurnalis perempuan yang mengalami kekerasan daring 26,8 persen, luring 18,2 persen, daring-luring 37 persen, dan yang tidak pernah mengalami kekerasan sebanyak 17,4 persen.

Koordinator bidang Gender, Anak dan Kelompok Marginal AJI Indonesia, Nani Afrida mengatakan riset tersebut dilakukan untuk membuktikan bahwa kekerasan seksual terhadap jurnalis perempuan bukan mitos semata dan dapat dibuktikan secara data.

"Sekali lagi saya menekankan teman-teman, bahwa kekerasan seksual itu adalah zero tolerance kendati hanya ada satu kasus tetapi itu serius dan itu tidak boleh ada. Kemudian pelaku kekerasan ini, ada macam-macam dan pelakunya tidak spesifik kita bilang misalnya narasumber atau atasan atau yang lain-lain tapi beragam," kata Koordinator bidang Gender, Anak dan Kelompok Marginal AJI Indonesia, Nani Afrida saat konferensi pers mengenai "Laporan Situasi keamanan Jurnalis Indonesia 2022" secara daring dan luring, Senin, (16/01/2023).

Body Shaming

Nani menyebut, berdasarkan hasil riset, 26 persen pelaku kekerasan seksual berasal dari kantor tempat mereka bekerja, serta orang lain yang ditemui di lapangan ketika liputan. Kemudian, sebanyak 24,7 persen anonim, yakni identitas pelaku tidak diberitahukan oleh penyintas, 15,7 persen rekan kerja, 12,8 persen narasumber berita, dan 3,4 persen atasan.

Menurut riset, body shaming atau mengejek/menghina bentuk tubuh secara luring adalah jenis kekerasan seksual yang paling banyak terjadi pada jurnalis perempuan, jumlahnya 58,9 persen, disusul catcalling secara luring sebanyak 51,4 persen, dan di posisi ketiga ialah body shaming secara daring 48,6 persen.

SOP Pencegahan dan Penanganan

Nani berharap, perusahaan media membuat Standar Operasional Pekerjaan (SOP) untuk mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual serta pemulihan korban kekerasan seksual berdasarkan hasil riset tersebut.

Selain itu, ia menilai Dewan Pers selaku regulator perlu terlibat dalam penyusunan SOP, memfasilitasi penyusunan SOP tersebut, dan mendorong perusahaan pers merumuskan SOP terutama untuk perusahaan pers yang sumber dayanya terbatas.

"AJI Indonesia sudah memiliki SOP penanganan dan penyelesaian kasus kekerasan seksual sejak akhir tahun 2021 dan mulai diimplementasikan awal tahun 2022 kita sudah mulai menjalankan itu. SOP itu melindungi 1.800 jurnalis yang kebetulan anggota AJI, namun kita menyadari yang bukan anggota saja banyak gitu dan salah satu caranya newsroom itu juga punya SOP," jelas Nani.

Menurut Nani, ruang redaksi perlu mengubah SOP-nya, jika masih menyamakan kekerasan seksual dengan kekerasan lain. Sebab, kekerasan seksual tidak bisa disamakan dengan kekerasan lain, karena memerlukan perlakuan dan penanganan khusus.

Baca juga:

Editor: Sindu

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!