RUANG PUBLIK
5 Masalah Kesehatan Akibat Perubahan Iklim
Inilah beberapa jenis penyakit yang rentan menyerang di tengah suhu bumi yang kian memanas.
AUTHOR / Adi Ahdiat
ANDY Haines, profesor kesehatan masyarakat dari London
School of Hygiene and Tropical Medicine (LSHTM), Inggris, menyebut perubahan iklim bisa meningkatkan risiko kesehatan warga dunia di masa depan.
Dalam artikel penelitian terbarunya di New England Journal of Medicine (2019), Andy Haines memaparkan jumlah karbon dioksida (CO2) di atmosfer telah mencapai sekitar 410 PPM (part per million). Gas rumah kaca tersebut bisa bertahan di atmosfer selama 1.000 tahun dan mempercepat proses pemanasan global.
Dampaknya bisa terlihat di berbagai belahan dunia. Di Australia, misalnya. Pada Januari 2019 ini Australia sudah memasuki musim panas dan suhunya naik hingga mencapai 40 derajat Celsius.
Selain berpotensi menimbulkan bencana kekeringan dan kebakaran hutan, menurut Andy Haines perubahan iklim ini juga berpeluang meningatkan risiko masalah kesehatan.
Berikut adalah beberapa jenis penyakit yang rentan dialami warga dunia di tengah suhu bumi yang kian memanas.
1. Serangan Panas
Serangan panas atau heat stroke adalah kondisi di mana suhu tubuh seseorang naik hingga melebihi 40 derajat Celsius.
Kondisi ini disebabkan karena kenaikan suhu lingkungan secara ekstrem, dan bisa menyebabkan gangguan seperti mual-mual, kejang, hilang kesadaran, bahkan kematian.
Kasus heat stroke massal pernah terjadi di India. Pada tahun 2015 ada sekitar 2.000 warga India yang meninggal akibat serangan panas. Di tahun-tahun berikutnya heat stroke juga menelan korban jiwa sekitar 1.000 sampai 1.500 warga India per tahunnya.
2. Diare
Di tengah kondisi cuaca panas, sumber-sumber air akan menguap serta mengalir lebih lambat. Dengan begitu konsentrasi kuman di air akan meningkat dan berpotensi menyebabkan diare.
Hal ini dikonfirmasi juga oleh dr. Bahdar T. Johan, SpPD, ahli penyakit dalam. Dalam sebuah wawancara ia menyebut penyakit diare lebih banyak menyerang di musim kemarau.
3. Malaria
Cuaca yang memanas juga bisa mendorong perkembangbiakan nyamuk dan meningkatkan risiko penularan malaria.
Menurut dr Leonard Nainggolan, SpPD KPTI, anggota Persatuan Peneliti Penyakit Tropik dan Infeksi, cuaca panas juga membuat nyamuk lahir dengan ukuran yang lebih kecil dari normalnya. Dengan begitu ia bisa semakin aktif menggigit seraya menularkan parasit atau berbagai jenis virus yang dibawanya.
4. Demam Berdarah
Demam Berdarah (DB) bukan penyakit khusus musim penghujan. Menurut para peneliti dari Southern Medical University, Cina, penularan DB justru semakin ganas saat cuaca panas.
Menurut penelitian mereka, virus dengue bisa mereplikasi DNA-nya di tubuh nyamuk lebih cepat saat cuaca panas. Dengan begitu, tubuh nyamuk-nyamuk Aedes aegypti di musim panas bisa mengandung virus DB yang lebih tinggi, dan meningkatkan risiko penularan pada manusia.
5. Stunting
Stunting adalah kondisi di mana seorang bayi atau anak-anak mengalami hambatan pertumbuhan yang menjadikan badannya lebih pendek dari rata-rata anak normal.
Menurut Kementerian Kesehatan RI stunting ini bukanlah kelainan genetik, melainkan akibat dari kekurangan gizi kronis. Penderita stunting umumnya mengalami kekurangan nutrisi penting seperti lemak, karbohidrat dan protein.
Stunting termasuk dampak tidak langsung dari perubahan iklim.
Andy Haines menyebut, perubahan iklim sangat berpeluang mengakibatkan gagal panen dan mengganggu persediaan pangan dunia.
Di tengah kondisi krisis pangan, masyarakat berpenghasilan rendah bisa kesulitan mendapat bahan makanan yang baik, mengalami malnutrisi, hingga anak-anaknya beresiko menderita stunting.
Dorong Kebijakan
untuk Menghadapi Perubahan Iklim
Andy Haines menyebut bahwa di tahun 2030 nanti ada sekitar 122 juta orang di berbagai belahan dunia yang terancam hidup dalam kemiskinan akibat perubahan iklim.
Pada kelanjutannya, masalah ekonomi itu juga akan menghasilkan berbagai masalah kesehatan lain yang belum disebutkan di atas.
Karena itu, Andy Haines menekankan agar negara-negara mulai merancang strategi serta kebijakan untuk menghadapi perubahan iklim.
(Sumber: The Imperative for Climate Action to Protect Health, New England Journal of Medicine, 2019)
Editor: Agus L Amsa
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!