BERITA

30 Tahun Pelanggaran HAM Talangsari, Ini Harapan Korban

"Penjelasan secara langsung dari pemerintah, ini gimana kalau meninggal pada saat itu dimana kuburnya? Karena juga belum pernah tahu ini di mana kuburnya."

AUTHOR / Muthia, Dian, Rei, May

30 Tahun Pelanggaran HAM Talangsari, Ini Harapan Korban
Aktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) menggelar aksi Kamisan ke-573 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (7/2/2019). (Foto: Antara)

KBR, Jakarta- Korban kejahatan HAM peristiwa Talangsari 1989 menuntut pemerintah untuk merealisasikan janjinya  menuntaskan kasus. Salah satu korban, Edi Arsadad mengatakan,   selalu melakukan upaya untuk menuntut keadilan kepada pemerintah.

"Penjelasan secara langsung dari pemerintah, ini gimana kalau meninggal pada saat itu dimana kuburnya? Karena juga belum pernah tahu ini di mana kuburnya. Kalau memang kalau masih hidup juga di mana? Apakah di penjara atau di mana? Ketiga, korban ini semua mendapatkan bukan hanya kerugian kehilangan nyawa, tapi juga kehilangan hak untuk pendidikan, kehilangan harta benda mereka, pemerintah wajib memberikan ganti rugi korban-korban ini," tutur Edi kepada KBR, Jumat, (8/2/2019).

Menurut Edi, November tahun lalu  Presiden Joko Widodo pernah menerima mereka di istana, namun janji untuk memanggil kejaksaan agung dan menegakan hukum belum juga direalisasikan.


Edi mengatakan hak-hak korban masih terabaikan. Petani-petani baru mendapatkan tanah mereka pada 2005 setelah diupayakan oleh kelompok sipil masyarakat. Korban yang menuntut dengan menyurati Soeharto, Presiden Indonesia saat itu, namun dijawab dengan kurungan penjara.


Sudah  30 tahun kasus kasus kejahatan terhadap kemanusiaan di Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way-Jepara, Kabupaten Lampung Timur, hingga kini  belum menemui titik terang. Negara tidak mampu membawa aktor-aktor yang menyebabkan puluhan orang tewas itu, ke pengadilan sampai saat ini.


Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sebenarnya sudah menyerahkan berkas penyelidikan kasus yang dikenal dengan sebutan Peristiwa Talangsari 1989 itu. Namun beberapa waktu lalu, Kejaksaan Agung mengembalikan berkas tersebut ke Komnas HAM. Hal tersebut diungkapkan Komisioner Komnas HAM Amiruddin.


"Ini ada kejahatan terjadi. Dalam undang-undang disebut kejahatan terhadap kemanusiaan. Sampai hari ini pelakunya siapa tidak pernah bisa dijelaskan secara hukum. Nah tanggungjawab negara dari segi pemerintah itu harus memperjelas siapa pelaku sesungguhnya. Nah itu tergantung hasil penyidikan kejaksaan," kata Amiruddin kepada KBR di kantornya, Jakarta, Jumat (8/2).


Menurut Komisioner Komnas HAM Amiruddin, berkas penyelidikan kasus itu sudah selesai dan lengkap. Penyelidikan itu sudah membuktikan bahwa Peristiwa Talangsari terjadi. Penyelidikan itu pun menyertakan bukti permulaan.


Dengan dikembalikannya berkas kasus tersebut oleh Kejaksaan Agung, dia menegaskan, Komnas HAM tidak akan melakukan apapun. Komnas HAM tidak akan memperbaiki berkas yang dikembalikan itu karena memang sudah final.


Amiruddin mengatakan, kasus itu harusnya sudah bisa disidik Kejaksaan Agung. Jalan keluar penyelesaian kasus ini, menurut dia, tinggal menunggu keseriusan dari presiden.

"Ini ada di otoritas yang lebih tinggi (dari Kejaksaan Agung dan Komnas HAM)," kata dia.

Menanggapi desakan  itu,  Istana membantah negara tak serius mengusut kasus pembantaian di Talangsari, Lampung, 30 tahun lalu. Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan, Presiden Joko Widodo telah memerintahkan Jaksa Agung Muhammad Prasetyo agar mengusut kasus tersebut hingga tuntas, beserta kasus pelanggaran HAM berat lainnya.

Meski begitu, menurut Moeldoko, Jokowi tak bisa mengintervensii proses yang hingga kini masih jalan di tempat.

"Itu kan sudah perintah dari presiden agar Jaksa Agung melakukan langkah-langkah itu. Tetapi dalam prosesnya, kan ada namanya, berkasnya bagaimana? Sudah P21 atau belum? Ada proses-proses itu yang harus dipenuhi. Seperti perjalannya proses hukum," kata Moeldoko di kantornya, Jumat (08/02/2019).


Moeldoko mengklaim, perintah pengusutan tersebut adalah bukti keseriusan Jokowi menyelesaikan kasus HAM berat masa lalu. Ia berkata, Jokowi tak bisa mengintervensi prosesnya, karena sudah masuk pada ranah hukum.


Menurut Moeldoko, penyelesaian kasus Talangsari tetap harus mengikuti proses hukum, termasuk mengumpulkan semua bukti dan saksi. Meski penyelidikan kasus telah dilakukan Komnas HAM, menurut Moeldoko, kejaksaan tetap harus memastikan semua bekasnya lengkap atau P21, untuk memulai penyidikan.


Tapi Kejaksaan menyatakan malah belum memiliki solusi untuk atasi, bolak-baliknya berkas perkara kasus HAM masa lalu dengan Komnas HAM. Juru bicara Kejaksaan Agung, Mukri mengatakan, setelah kejaksaan mengembalikan berkas perkara kasus ke Komnas HAM, hingga kini belum mendapat perbaikan apapun.

Ia mengatakan memang pernah ada usulan untuk membuat FGD bersama instansi terkait, dalam menyelesaikan perkara tersebut namun kata dia, hal itu belum terlaksana.

“Perkara HAM sudah kembali ke sana, (kelanjutannya?) Belum ada, belum ada (apa yang kurang?) Formil dan materil yang kurang. Koordinasinya tetap ada, inikan masih dikaji rencana memang kita mau buat, pimpinan ya usulkan untuk mengadakan FGD atau seminar-seminar terkait dengan ini,” ujar Mukri, kepada KBR, Jumat (08/02/2019).


Bolak balik berkas perkara pelanggaran HAM berat masa lalu ini sudah terjadi bertahun-tahun. Kejaksaan selalu mengembalikan berkas lantaran penyelidikan Komnas dianggap kurang. Sebaliknya, Komnas HAM selalu mengatakan bahwa kewenangan untuk menyelidiki lebih lanjut harusnya dilakukan kejaksaan bukan oleh Komnas HAM. Menanggapi itu Mukri meminta Komnas HAM memiliki sikap yang jelas dalam kasus.


“(Komnas HAM sebut sudah tidak bisa lagi melakukan penyelidikan lanjutan?)Ya kalau sudah engga bisa tentukan sikap lah,” kelit Mukri.


Namun sikap seperti apa yang dimaksud, Mukri enggan berkomentar dan mengatakan Komnas HAM yang tahu harus melakukan apa.

Deputi Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Feri Kusuma menduga  pemerintah lambat menangani peristiwa kejahatan HAM masa lalu lantaran sejumlah sektor di pemerintahan masih diisi oleh nama-nama yang terkait dan bertanggungjawab atas kejahatan HAM masa lalu. 

"Peristiwa Talangsari ini sampai hari ini belum ada satu proses yang apa namanya yang memuaskan bagi para korban, terutama terkait penegakan hukum. Hasil penyelidikan Komnas HAM sampai hari ini tidak ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung. Kemudian tanggal 27 November yang lalu, kejaksaan Agung malah mengembalikan kembali berkas hasil penyidikan termasuk peristiwa Talangsari, artinya secara hukum tidak ada komplit selama pemerintahan Jokowi dan selama 30 tahun itu," tutur Feri kepada KBR, Jumat, (8/2/2019).

Tidak hanya upaya pemerintah pusat, Feri juga menyebut pemerintah lokal tidak melakukan upaya apapun untuk memberikan pemulihan  bagi para korban. Menurut dia, peran pemerintah lokal sebagai representatif negara di tingkat lokal juga berkewajiban memberikan pemenuhan hak-hak para korban.


Kata Feri, Presiden Joko Widodo bisa memanggil kejaksaan dan mendesak untuk melakukan penyidikan. Presiden dengan otoritas yang dimilikinya bisa berperan aktif untuk penegakan hukum dan pemulihan hak-hak korban.

Peristiwa Talangsari terjadi pada 7 Februari 1989. Ada beberapa versi jumlah korban terkait penyerbuan aparat ke  Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Kabutapen Lampung Timur (dulu Kabupaten Lampung Tengah). Sebagian menyebut puluhan lainnya mengatakan korban jiwa mencapai seratusan orang.

Peristiwa penyerbuan aparat dipicu tewasnya Danramil Way Jepara Kapten Soetiman saat  datang ke tempat itu. Kedatangannya menuai amarah lantaran dianggap ingin menangkap pemimpin kelompok tersebut Warsidi. Komandan Korem (Danrem) 043 Garuda Hitam Lampung Kolonel AM Hendropriyono lantas mengambil tindakan tegas hingga mengakibatkan jatuhnya korban jiwa.


Editor: Rony Sitanggang

 

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!