NASIONAL

25 Tahun Tragedi Trisakti: Desakan dan Cerita Saksi Mata

Empat mahasiswa itu adalah Elang Mulia Lesmana, Hafidhin Royan, Hery Hartanto dan Hendrawan Sie.

AUTHOR / Astri Septiani

25 Tahun Tragedi Trisakti: Desakan dan Cerita Saksi Mata
Dokumentasi-Mahasiswa dengan foto empat korban tragedi Mei mengikuti Peringatan 18 Tahun Tragedi 12 Mei 1998 di Universitas Trisakti, Grogol, Jakarta. (Antara)

KBR, Jakarta- Empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas ditembak aparat, usai menggelar aksi menuntut Presiden Soeharto lengser pada 12 Mei 1998. Empat mahasiswa itu adalah Elang Mulia Lesmana, Hafidhin Royan, Hery Hartanto dan Hendrawan Sie.

Penembakan tersebut kemudian dikenal dengan nama Tragedi Trisakti. Peristiwa itu kemudian memicu demo di sejumlah daerah, penjarahan, hingga amuk massa.

Tragedi Trisakti 1998 menjadi salah satu peristiwa penting dalam sejarah Reformasi di Indonesia. Kini, Tragedi Trisakti genap berusia 25 tahun pada 12 Mei 2023. Namun, 25 tahun berlalu, kasus Trisakti tidak kunjung terungkap.

Jalan di Tempat

Aktivis 98 Trisakti, Suci Mayang Sari menyebut, secara hukum, tak ada perkembangan positif terkait penyelesaian tragedi tersebut. Bahkan kata dia, setelah enam kali pergantian kepala negara, kasus ini masih jalan di tempat.

Hingga kini, berkas penyelidikan Komnas HAM terkait kasus Trisakti berkali-kali ditolak Kejaksaan Agung. Untuk itu, dia mendorong pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc untuk menyelesaikan kasus Trisakti.

"Saran dan dorongan saya kepada pemerintah agar presiden menerbitkan Keppres tentang Pengadilan HAM Ad Hoc untuk Tragedi Penembakan Trisakti, Semanggi 1 dan Semanggi 2. Kemudian juga, presiden menginstruksikan Jaksa Agung untuk membentuk tim ad hoc penyidik projustitia dalam rangka menindaklanjuti penyelidikan projustisia Komnas HAM," kata dia kepada KBR, Jumat, (12/05/23).

Diadang Aparat

Suci, lalu menceritakan sekilas tentang Tragedi Trisakti. Saat itu, tepatnya Selasa, 12 Mei 1998. Sejak pagi mahasiswa mulai berkumpul di lapangan parkir Universitas Trisakti untuk melakukan aksi mimbar bebas, lalu kemudian longmarch ke Gedung MPR-DPR.

Namun, aksi mahasiswa diadang aparat keamanan bahkan dibubarkan dengan tembakan gas air mata. Tak hanya gas air mata, aparat juga menembakkan peluru tajam. Akibatnya banyak mahasiswa terluka, 4 di antaranya tewas ditembak.

"Mereka semua mati tertembak di dalam kampus dengan luka tembak di area yang mematikan. Setelah peristiwa itu demonstrasi mahasiswa bukannya mereda justru makin membesar. Keesokan harinya terjadi amuk massa pembakaran dan penjarahan Jakarta porak-poranda. Kerusuhan ini menjalar ke kota-kota besar lainnya," kata dia.

Kurikulum Reformasi

Mayang mendorong pemerintah memasukkan kisah Reformasi 98 ke dalam kurikulum resmi.

"Saya berharap pemerintah memasukkan kisah Reformasi 98 ke kurikulum resmi agar bangsa ini terutama para anak muda penerus bangsa tidak mudah lupa atas Tragedi Trisakti dan paham betapa berharganya demokrasi yang kita miliki saat ini," imbuhnya.

Sebab kata dia, demokrasi hari ini adalah buah perjuangan mahasiswa 25 tahun lalu.

"Kebebasan berbicara dan berkumpul adalah buah perjuangan yang diawali jatuhnya korban Tragedi Trisakti. Indonesia tidak boleh lagi kembali ke masa silam," pungkasnya.

Saksi Mata Tragedi Trisakti

Desakan serupa disampaikan Bhatara Ibnu Reza, salah satu aktivis HAM yang menjadi saksi mata Tragedi Trisakti. Menurut Aktivis 98 ini, pemerintah dan DPR masih tak serius dalam menyelesaikan kasus ini. Ia mendesak Tragedi Trisakti diselesaikan melalui jalur hukum.

"Tapi, saya ingin katakan bahwa sampai saat ini belum ada niatan pemerintah untuk bisa menuntaskan dan sesuai dengan janji-janji untuk menuntaskan kasus ini dengan mengedepankan jalan keadilan. Jalan keadilan maksud saya adalah dalam konteks yudisial," ujarnya.

Padahal kata dia, pelakunya masih ada, termasuk keluarga korban yang hingga kini menuntut keadilan.

"Karena apa? Karena pelakunya masih ada korban juga meskipun sudah meninggal, tetapi kan juga masih ada keluarganya menuntut keadilan. Dan saya ingin katakan bahwa peristiwa Trisakti itu tidak berdiri sendiri, karena beberapa bulan kemudian ada peristiwa Semanggi 1 dan kemudian tahun berikutnya ada Peristiwa Semanggi 2 yang memang itu menjadi satu kesatuan dalam konteks perjalanan reformasi kita."

DPR dan Pemerintah Tak Serius

Kala peristiwa itu terjadi, Bhatara adalah wakil ketua senat mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Trisakti.

"Jadi, saya ada di lokasi dan memang suasananya setelah kita mengadakan semacam unjuk rasa di dalam kampus pernyataan sikap. Lalu, kita keluar kampus dan di situlah terjadi pengadangan persis ke arah menuju ke gedung DPR, tetapi belum sampai di depan wali kota masih di gedung lama, kita diadang," tuturnya.

"Di situ memang suasananya mencekam itu di jalan sore hari dan terjadilah penembakan," kisah Bhatara kepada KBR, Kamis, (11/5/23).

Kini ia menjadi anggota Komisi Kejaksaan. Meski begitu, Bhatara menegaskan, sikapnya tetaplah sama seperti sejak ia menjadi aktivis di tahun 98.

Kata dia, tak ada jalan lain menuntaskan kasus trisakti dan kasus pelanggaran HAM berat lain, selain melalui jalur yudisial.

"Nah, bagaimana kemudian melihat situasi pada saat ini. Kita tahu bahwa saat ini pemerintah mengambil langkah-langkah nonyudisial. Saya sendiri saat ini menjadi komisioner Komisi Kejaksaan. Meskipun saya menjadi komisioner, menjadi anggota komisi dari sebuah komisi yang berada di lingkup negara, prinsip saya dan posisi saya tegas bahwa dalam kasus Trisakti termasuk Semanggi 1 Semanggi 2 itu harus segera diselesaikan dengan cara Yudisial," tegasnya.

Bhatara menuntut keseriusan pemerintah serta DPR untuk menuntaskan Tragedi Trisakti.

"Tidak bisa kemudian pemerintah mengambil langkah-langkah kemudian dapat diartikan sebagai langkah impunitas, yaitu melanggengkan praktik-praktik di mana pelaku tidak mendapatkan hukuman yang setimpal," tambahnya.

Ia menilai jika kasus Trisakti 1998 bisa diselesaikan, maka bakal membawa perubahan yang signifikan untuk memerangi pelanggar hak asasi manusia

"Persoalannya kemudian apakah kritiknya pada praktik pengadilan HAM maka yang harus dilakukan pertama kali adalah melakukan perubahan tidak hanya revisi, ya. Tetapi juga melakukan perubahan total terhadap Undang-Undang Pengadilan HAM kita, yaitu Undang-Undang 26 Tahun 2000 yang tidak memenuhi standar internasional dalam mengadili kejahatan-kejahatan berkait dengan kejahatan serius internasional, yang kemudian oleh Indonesia diartikan sebagai pelanggaran berat HAM," jelas Bhatara,

Namun, Bathara melihat tidak ada keseriusan dari pemerintah dan parlemen untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

"Saat ini saya melihat tidak ada satupun upaya untuk bisa kemudian menuntaskan itu, bahkan yang terjadi dari dari perkembangan yang terakhir, bagaimana kemudian upayanya adalah untuk tidak menyelesaikan itu dalam konteks yudisial tetapi diupayakan untuk nonyudisial dengan memberikan semacam bantuan dari pemerintah, padahal bukan itu," imbuhnya.

Menurutnya, hal terpenting dalam pelaksanaan reformasi adalah penghormatan terhadap HAM, dan tidak mengulangi kekerasan yang sama di masa mendatang.

"Karena menurut saya, kalau memang kita sudah melakukan penuntasan itu maka ada tentunya perubahan-perubahan yang cukup signifikan dari bangsa ini untuk berani mengatakan tidak terhadap setiap pelanggaran hak asasi manusia dan terhadap setiap kekerasan," pungkas Bhatara.

Krisis Moneter dan KKN

Jumat 12 Mei 2023 bertepatan dengan peringatan 25 tahun Tragedi Trisakti. Pada tragedi tersebut, empat orang mahasiswa dari Universitas Trisakti tewas ditembak aparat keamanan usai menggelar demonstrasi menuntut Soeharto turun dari jabatannya sebagai presiden.

Kala itu, Indonesia mengalami krisis moneter dan penuh korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Demo dilakukan agar reformasi pemerintahan bisa terjadi. Hingga kini belum jelas siapa otak di balik penembakan empat mahasiswa tersebut.

Baca juga: 

Editor: Sindu

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!