Ahmadiyah memang masih didiskriminasi, tetapi bukan berarti tidak bisa berkontribusi untuk masyarakat luas.
Penulis: Ninik Yuniati, Wahyu Setiawan
Editor: Sindu

KBR, Jakarta- Ahmadiyah Indonesia genap berusia 100 tahun alias seabad pada 25 Desember 2025. Acara Tasyakur bakal digelar untuk memperingati momen historis tersebut.
Di tahun ini juga, Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) punya pimpinan baru, Amir Nasional Zaki Firdaus Syahid yang dilantik pada 25 Agustus lalu untuk periode 2025-2028.
Kepada KBR, Zaki ingin mentransformasi arah gerak JAI dalam 3 tahun kepemimpinannya, beralih dari victim (korban) mindset ke author (pencipta) mindset. Ini juga seiring berubahnya respons publik terhadap Ahmadiyah satu dekade terakhir.
"Eskalasi itu sedikit melandai, sedikit menurun jika dibandingkan 2003 sampai 2013/2014," kata Zaki saat berkunjung ke kantor KBR Media, Jakarta, Kamis, (16/10/2025).
Ahmadiyah memang masih didiskriminasi, tetapi bukan berarti tidak bisa berkontribusi untuk masyarakat luas.
"Bagaimana kita bisa switching dari mode korban menjadi mode author. Karena bagaimana kita merespons sesuatu itu akan berbeda, tergantung bagaimana mindset kita mempersepsikan sesuatu," ujar lulusan Magister Teknik Elektro ITB ini.
Kerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, bakal terus dibangun untuk mengoptimalkan kebermanfaatan bagi sesama.
"Ayo kita jalan bersama, kita berkolaborasi dalam program-program yang memang bisa memberikan manfaat dan kontribusi positif terhadap masyarakat tanpa mempersoalkan masalah akidah," tutur Zaki.

Zaki bilang, di tiap kegiatan sosial kemanusiaan, JAI tak pernah melakukan dakwah. Sikap ini dilakoni jauh sebelum terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri 2008.
"Jadi, memang sudah lama, termasuk moto Ahmadiyah sedunia itu, kan, love for all hatred for none, cinta untuk semua dan tidak ada kebencian untuk siapa pun. Moto ini disampaikan atau diinisiasi oleh Khalifah Ahmadiyah III, Hazrat Mirza Nasir Ahmad, ketika pemerintah Pakistan mengeluarkan undang-undang yang menyatakan Ahmadiyah bukan muslim pada 1974," ujar eks ketua nasional Pemuda Ahmadiyah 2010-2016 ini.
Zaki tak menampik, aturan atau kebijakan diskriminatif seperti SKB 3 Menteri, tetap membuat waswas jemaat Ahmadiyah. Namun, alih-alih terkungkung dalam keresahan, Zaki ingin Ahmadiyah makin terbuka menjalin relasi dengan mereka yang berbeda.
Melalui berbagai kegiatan sosial kemanusiaan, JAI menginisiasi perjumpaan-perjumpaan bermakna dengan banyak pihak. Harapannya, ruang salah paham dan prasangka bisa dikikis.
"Kami juga mungkin kurang memublikasikan, menyosialisasikan apa sih sebetulnya Ahmadiyah itu. Publik yang betul-betul mengenal Ahmadiyah masih sedikit jumlahnya. Sehingga tidak bisa disalahkan juga ketika mereka punya persepsi negatif atau berlebihan, mengada-ada terhadap Ahmadiyah, karena memang mereka belum tahu," jelasnya.
Baca juga: Pelarangan Jalsah Ahmadiyah dan Mahalnya Harga Kebebasan Beragama (Bagian 2)

Semangat itu diwujudkan dalam rangkaian kegiatan Tasyakur seabad Ahmadiyah di Indonesia. JAI bakal membangun 100 rumah belajar, yang memfasilitasi pendidikan non-formal, tersebar di berbagai wilayah.
"Kita bangun di daerah-daerah yang memang terpencil dan cukup jauh dari akses pendidikan yang berkualitas. Salah satu misi kami dalam pendirian rumah belajar ini bagaimana meningkatkan kualitas hidup dari aspek pendidikan masyarakat Indonesia," kata Amir Nasional JAI berusia 45 tahun ini.
Dua yang sudah diresmikan adalah di Namorambe, Sumatra Utara dan Kabupaten Fakfak, Papua Barat. Rumah belajar di Fakfak dinamai SaTuTiba (Satu Tungku, Tiga Batu), terinspirasi dari adat setempat. Penduduk di wilayah itu mayoritas bukan umat Islam.
"Bisa dipastikan dan kami jamin tidak ada kegiatan dakwah. Di beberapa tempat peserta rumah belajar itu bukan hanya orang-orang muslim, tetapi non-muslim. Apa pun keyakinannya, apa pun kepercayaannya, kita tidak batasi," imbuhnya.
Di bidang lingkungan, JAI meluncurkan gerakan tanam 100 ribu pohon di 350 titik di seluruh Indonesia, hasil kerja sama dengan Kementerian Kehutanan, Indonesia Conference for Religion and Peace (ICRP), dan Yayasan Alam Lestari Asih Sesama (ALAS).
Gerakan ini dimulai pada 19 Oktober 2025 hingga 31 Desember 2025 dengan titik awal di Ciseeng, Cibeuteung Muara, Bogor, Jawa Barat.
"Program ini juga sejalan dengan program pemerintah terkait dengan perubahan iklim dan juga bagaimana kita bisa secara aktif memberikan suatu tindakan yang memang berkontribusi langsung terhadap keberlangsungan dunia kita, bumi kita," pungkas Zaki.
Baca juga: