Pembentukan MKMK sesuai perintah Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi.
Penulis: Ardhi Ridwansyah
Editor:

KBR, Jakarta– Hasil putusan dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim Mahmakah Konstitusi (MK) kemungkinan akan dibuat per terlapor.
Hal ini disampaikan Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), Jimly Asshiddiqie saat menanggapi permohonan Tim Advokasi Peduli Hukum Indonesia selaku salah satu pelapor.
Salah satu permohonan mereka ialah meminta MKMK untuk memeriksa sembilan hakim konsitusi yang memutus perkara nomor 90 dengan dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim.
Perkara yang dimaksud ialah Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Pasal 169 huruf q, terkait syarat calon presiden dan wakil presiden.
“Jadi, karena pelaporan ini banyak sekali ada 18, jadi kami kemungkinan membuat putusan per terlapor bukan per pelapor karena terlalu banyak jadi nanti putusannya itu sembilan, satu per satu hakimnya itu,” kata Jimly dalam Sidang Pemeriksaan Pendahuluan Perkara di Gedung MK, Jakarta, Kamis (2/11/2023).
Jimly meminta pelapor memerinci tuduhan pelanggaran kode etik apa saja yang dilakukan oleh masing-masing hakim konstitusi. Menurutnya, hal ini untuk memudahkan MKMK untuk membuat penilaian.
“Kalau sembilan terlalu global nanti enggak jelas (kesalahannya). Jadi perlu dirinci,” ucap Jimly.
Bukan Putusan Salah Satu Hakim
Menanggapi permintaan tersebut, Perwakilan dari Tim Advokasi Peduli Hukum Indonesia Johan Imanuel mengatakan, bahwa putusan MK tak bisa disebut sebagai putusan salah satu hakim melainkan seluruh hakim konstitusi yang berjumlah sembilan orang.
“Baik Yang Mulia, kami pertimbangkan karena di halaman 121 itu, putusan diucapkan oleh nama sembilan hakim konstitusi, jadi kami melalukan pendekatan tekstual dalam hal ini putusan MK ini tidak bisa dibaca putusan hakim a, putusan hakim b, harus dibaca putusan MK oleh karena itu kami laporkan sembilan hakim MK,” kata Johan.
Dikabulkan Sebagian
Sebelumnya, sembilan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dilaporkan oleh berbagai pihak. Pelaporan dilakukan setelah MK mengabulkan sebagian syarat pencapresan yang diajukan seorang mahasiswa Universitas Surakarta (Unsa) Almas Tsaqib Birru.
Almas mengajukan gugatan dengan fokus pada revisi syarat usia capres-cawapres. Almas ingin pemimpin-pemimpin muda bisa lebih maju. Almas mengambil inspirasi dari sosok yang dikagumi, yaitu Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo. Putusan uji materi itu dibacakan Ketua MK Anwar Usman.
"Sehingga Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu selengkapnya berbunyi: Berusia paling rendah 40 tahun atau pernah, sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah," ucap Ketua MK Anwar Usman saat membacakan putusan, Senin, (16/10/2023).
Dalam putusan tersebut, empat hakim menyatakan pendapat berbeda atau dissenting opinion, tiga menyetujui sebagian, dan dua lainnya concurring opinion atau memiliki alasan berbeda.
9 Hakim MK Dilaporkan
Menindaklanjuti laporan pelanggaran etik, MK kemudian menggelar rapat permusyawaratan hakim (RPH) untuk membentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).
MK menetapkan eks Hakim MK Jimly Asshiddiqie, bekas anggota majelis etik MK Bintan Saragih, dan Hakim MK Wahiduddin Adams, sebagai anggota MKMK. Juru bicara bidang Perkara MK Enny Nurbaningsih meyakini kredibilitas ketiganya tepat untuk mengisi komposisi MKMK.
"MKMK dalam waktu dekat ini segera akan kemudian dibentuk, ya, untuk segera bekerja. Untuk kemudian melakukan proses sebagaimana hukum acara yang berlaku di dalam MKMK untuk menangani paling tidak tujuh yang sudah masuk di sini,” kata Enny dalam konferensi pers soal pembentukan MKMK, Senin, (23/10/2023).
Enny menambahkan, pembentukan MKMK sesuai perintah Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi.
"Pembentukan MKMK sebagai bagian dari kelembagaan yang memang dimintakan oleh undang-undang, untuk kemudian memeriksa termasuk kemudian di dalamnya mengadili kalau memang terjadi persoalan yang terkait dengan laporan dugaan pelanggaran, termasuk juga kalau ada temuan di situ," ujar Enny.
Sementara itu, Ketua Hakim MK Anwar Usman mengeklaim, tidak ada konflik kepentingan dalam putusan gugatan terkait usia minimum calon presiden dan calon wakil presiden.
Baca juga:
Editor: Sindu