"Artinya adalah pertumbuhan ekonomi di tahun depan dengan adanya kenaikan tarif PPN bisa lebih lambat, pertumbuhan konsumsi rumah tangga bisa melambat," kata Nailul
Penulis: Astri Septiani
Editor: Resky Novianto

KBR, Jakarta- Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menyebut kenaikan PPN menjadi 12 persen berpotensi membuat daya beli dan konsumsi masyarakat semakin menurun. Selain itu, kata dia, pertumbuhan ekonomi diprediksi turut melambat.
"Tahun depan ketika naik (PPN) kembali, pasti akan terjadi perlambatan konsumsi rumah tangga sedangkan kita tahu konsumsi rumah tangga menyumbang PDB sebesar 50%. Artinya adalah pertumbuhan ekonomi di tahun depan dengan adanya kenaikan tarif PPN bisa lebih lambat, pertumbuhan konsumsi rumah tangga bisa melambat, ini yang mengakibatkan pertumbuhan ekonomi kita mengalami kesulitan untuk menembus angka 6% apalagi 8%," kata dia kepada KBR (17/12/24).
Nailul menilai stimulus yang diberikan pemerintah berbarengan dengan naiknya PPN menjadi 12 persen, hanyalah bersifat jangka pendek. Menurutnya, Stimulus itu tak sebanding dengan beban ekonomi yang bakal diterima masyarakat, terutama masyarakat kelas menengah akibat kenaikan PPN.
Untuk itu, Nailul mendesak pemerintah membatalkan kebijakan PPN 12 persen pada tahun depan.
"Ini masih ada waktu bagi pemerintah untuk menggagalkan kenaikan tarif PPN 12%. Masih ada waktu, masih ada celah untuk pemerintah membuat tarif yang lebih baik bagi daya beli masyarakat konsumsi dan sebagainya. Tuntutan utama kita adalah membatalkan kenaikan tarif PPN,"tuturnya.
Berlaku 1 Januari 2025
Mengutip dari Antara, Pemerintah resmi menetapkan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, penetapan PPN 12 persen sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
“Sesuai dengan amanah Undang-Undang tentang Harmoni Peraturan Perpajakan, ini sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan, tarif PPN tahun depan akan naik sebesar 12 persen per 1 Januari (2025),” kata Airlangga dalam konferensi pers Paket Kebijakan Ekonomi di Jakarta, Senin (16/12).
Meskipun demikian, untuk barang dan jasa yang bersifat strategis, pemerintah tetap melanjutkan pemberian fasilitas pembebasan dari pengenaan PPN. Airlangga merinci, pemerintah bakal memberikan fasilitas dengan membebaskan PPN untuk sebagian barang kebutuhan pokok dan barang penting (bapokting).
Adapun beberapa barang kebutuhan pokok yang tidak dikenakan PPN yakni; beras, daging ayam ras, daging sapi, ikan bandeng/ikan bolu, ikan cakalang/ikan sisik, ikan kembung/ikan gembung/ikan banyar/ikan gembolo/ikan aso-aso, ikan tongkol/ikan ambu-ambu, ikan tuna, telur ayam ras, cabai hijau, cabai merah, cabai rawit, bawang merah, dan gula pasir.
Selain itu, tepung terigu, Minyakita, dan gula industri menjadi bahan pokok yang diberikan fasilitas berupa PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) 1 persen, yang artinya tarif PPN dikenakan tetap di 11 persen.
“Stimulus ini untuk menjaga daya beli masyarakat, terutama untuk kebutuhan pokok, dan secara khusus gula industri yang menopang industri pengolahan makanan minuman yang perannya terhadap industri pengolahan cukup tinggi, yaitu 36,3 persen, juga (PPN) tetap 11 persen. Kemudian juga akan ada bantuan pangan dan beras bagi desil 1 dan 2 ini sebesar 10 kg per bulan,” jelas Airlangga.
Lebih lanjut, beberapa jasa yang bersifat strategis juga mendapatkan fasilitas pembebasan PPN dengan mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2024.
Jasa tersebut di antaranya jasa pendidikan, jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa angkutan umum, jasa keuangan, dan jasa persewaan rumah susun umum dan rumah umum.
Sejumlah fasilitas perpajakan itu diusulkan pemerintah bersama dengan paket kebijakan insentif fiskal lainnya untuk tahun 2025 mendatang.
Baca juga:
- Pemerintah Beri Stimulus, Buruh Tetap Minta Batalkan PPN 12 Persen