Abra mengatakan, pemerintah harus memperbaiki skema subsidi jika ingin menghapus Pertalite dan menggantinya dengan oktan yang lebih tinggi. Sehingga tidak membebani masyarakat.
Penulis: Astri Septiani
Editor:

KBR, Jakarta- Lembaga Pengembangan Ekonomi dan Keuangan, INDEF, mengingatkan pemerintah berhati-hati jika ingin menghapus BBM bersubsidi jenis Pertalite.
Menurut Peneliti INDEF, Abra Talattov, kebijakan itu berpotensi membuat anggaran subsidi dan kompensasi energi membengkak jika tidak dikelola dengan baik. Saat ini, harga Pertalite masih dibanderol Rp10.000 per liter. Harga itu masih mendapat subsidi dari pemerintah.
Abra mengatakan, pemerintah harus memperbaiki skema subsidi jika ingin menghapus Pertalite dan menggantinya dengan oktan yang lebih tinggi. Sehingga tidak membebani masyarakat.
Bagaimana penjelasannya? Berikut wawancara jurnalis KBR Astri Septiani dengan Peneliti INDEF, Abra Talattov.
Terkait rencana penghapusan Pertalite untuk digantikan menjadi Pertamax Green 92, pemerintah mengatakan penghapusan ini untuk mengurangi polusi. Lalu menurut Anda, bagaimana dampaknya terkait beban yang harus ditanggung oleh APBN?
"Saya pikir itu tidak akan menjadi solusi ya, dalam konteks pengurangan emisi karena justru dengan mengarahkan subsidi itu masih tetap ke BBM sumber energi fosil, itu tetap masih akan memanjakan masyarakat akhirnya untuk tetap menggunakan kendaraan pribadi. Alih-alih mengalihkan subsidi Pertalite ke Pertamax Green, yang juga mestinya menjadi fokus pemerintah adalah mempercepat reformasi subsidi energi dari mekanisme terbuka seperti saat ini menjadi targeted atau tertutup. Nah, ini kan yang belum berhasil dilakukan pemerintah sehingga khawatir ketika kebijakan reformasi subsidi energi ini belum berhasil dilakukan. Peralihan subsidi ke Pertamax Green itu justru akan jauh menambah beban APBN kita. Itu pastinya kan harga perekonomian dari Pertamax Green jauh lebih tinggi dibandingkan harga keekonomian dari Pertalite. Artinya potensi tambahan subsidi ataupun kompensasi untuk Pertamax Green itu akan jauh lebih besar. Pilihannya kan dua, pemerintah yang menambah alokasi subsidi energi atau yang kedua masyarakat yang akan menanggung potensi kenaikan harga jual BBM dari Pertalite ke Pertamax Green," kata Abra saat dihubungi KBR, Kamis (31/8/2023).
Apakah pergantian Pertalite ke Pertamax Green ini nantinya jika diimplementasikan akan berdampak juga begitu terhadap inflasi dan juga ke ekonomi masyarakat? Seperti apa?
"Inflasi ini sangat tergantung juga nanti harganya berapa, maksudnya saya juga belum bisa melakukan simulasi ini atau simulasi proyeksi kira-kira dampak inflasi karena kan tergantung dengan skenario harganya nanti. Apakah harganya tetap Rp10.000 seperti harga Pertalite ya. Artinya Pertamax Green 92 itu nanti apakah akan dijual di harga jual itu Rp10.000 atau nanti dinaikkan ya dengan selisihnya ditanggung kompensasi. Ya itu kan sangat bergantung tuh kenaikan tadi, dengan dampak terhadap inflasi. Jadi saya untuk saat ini belum bisa mengeluarkan angkanya berapa persen. Tetapi tadi risikonya memang sangat besar terhadap kenaikan inflasi di BBM. Bukan hanya itu juga, dampaknya terhadap sektor lain sektor perdagangan, dan sebagainya kan kita tahu sekarang juga di sektor pangan juga tengah menghadapi risiko El Nino juga ya. Harga beras juga lagi melonjak tinggi nih. Dengan adanya wacana ini kan juga nanti kalau harga BBM yang meningkat memicu kenaikan harga pangan juga gitu," katanya.
Adakah saran atau solusi yang bisa ditawarkan untuk mengurangi polusi untuk energi lebih hijau, namun di sisi lain bisa juga menjaga agar APBN kita tidak jebol?
"Ini core solusinya seharusnya terintegrasi lintas sektor. Artinya, pemerintah di sisi lain punya rencana ambisi untuk menumbuhkan penggunaan mobil listrik ya. Jadi bagi masyarakat yang merasa masih punya kemampuan lebih, dia masih menggunakan kendaraan BBM silakan, tapi ada alternatif lain terutama alternatif yang paling paling fundamental adalah transportasi publik. Karena harganya tarifnya di subsidi oleh pemerintah sehingga dibuat harganya tuh sangat-sangat terjangkau, untuk membantu masyarakat mobilitas. Yang kedua tadi mobil listrik atau kendaraan listrik, konteksnya adalah dia biaya operasional juga jauh lebih murah dibandingkan kendaraan BBM. Yang kedua itu juga sisi lain mengurangi beban APBN, karena produksi listrik kita kan saat ini sangat eksesif ya terjadi over supply. Nah dengan peningkatan konsumsi listrik di sektor otomotif ini, nanti juga penjualan listrik akan bertambah ya kemudian beban kompensasi untuk listrik juga berkurang. Sehingga penghematan dari kompensasi listrik ini bisa direalokasikan lagi tadi, untuk subsidi di transportasi umum. Kemudian juga infrastruktur lain untuk mendorong transportasi yang ramah lingkungan gitu. Jadi ada tiga hal yang tadi langsung, artinya terintegrasi dan yang terakhir yang jauh penting lagi adalah dalam komunikasi ini mestinya, idealnya ini disampaikan oleh pemerintah. Jadi dibahas di internal kebijakannya. Ini kan terkesan parsial dan spontanitas di masing-masing pihak," tutupnya.
Baca juga:
- Pertamina Usul Ganti Pertalite dengan Pertamax Green 92
Editor: Resky Novianto