LBH APIK mengkhawatirkan perempuan berhadapan dengan hukum bakal menjalankan proses tanpa mekanisme pengawasan memadai. Mengapa?
Penulis: Naomi Lyandra
Editor: Resky Novianto

KBR, Jakarta- Pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada 18 November 2025, diprotes sejumlah kalangan karena mengabaikan suara masyarakat sipil.
Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) menilai aturan di KUHAP baru, berpotensi mengancam hak-hak sipil, tak terkecuali bagi perempuan yang berhadapan dengan hukum. Meskipun KUHAP baru memuat beberapa pasal terkait kerentanan korban, namun implementasinya jauh dari cukup.
“Kita juga masih melihat banyak banget celah gitu ya dari korban tidak mendapatkan keadilan yang subtantif. Hak korban yang tadinya disebutkan ya di Pasal 140-an itu ya sudah gitu. Tidak ada di dalam poin-poin penyelidikan, penyidikan, penuntutan itu tidak ada gitu,” ujar Ketua Pelaksana Harian LBH APIK Khotimun Sutanti dalam siaran Ruang Publik KBR, Jumat (21/11/2025).
Ia mengatakan asesmen kebutuhan perempuan sebaiknya tidak hanya berlaku di awal, tetapi mesti dilakukan sepanjang rangkaian proses hukum.
“Memang (asesmen) itu hanya ada di tahap penyelidikan dan penyidikan saja, seharusnya di seluruh tahap pemeriksaan di dalam proses peradilan,” ujarnya.

Ancam Ruang Privasi Perempuan
Terkait poin penyadapan hingga penggeledahan dalam KUHAP baru, Khotimun menyoroti ancaman bagi privasi perempuan. Menurutnya, hak-hak perempuan rentan terabaikan saat berhadapan dengan hukum.
“Misalnya soal penyadapan itu izin pengadilannya post-factum, ketika disadap adalah perempuan dan di sana ada privasi yang sangat banyak,” terangnya.
Khotimum turut menegaskan harmonisasi KUHAP baru dengan regulasi lain yang lebih progresif diperlukan, agar perempuan tidak semakin terpinggirkan.
Ia mencontohkan, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang perlu dikolaborasi dengan KUHAP terbaru.
“Bagaimana supaya perempuan tidak terdampak dengan adanya KUHAP baru ini sebenarnya cukup sulit. (Tapi) Memastikan peraturan turunan, memastikan batasan-batasan supaya tidak sewenang-wenang,” ujar Khotimun.

Kewenangan Luas Polisi, Minim Perlindungan Perempuan
Sementara itu, Staf Kajian dan Advokasi Kebijakan LBH APIK Jakarta, Tsaltsa Arsanti mengatakan bahwa KUHAP baru masih sarat perluasan kewenangan bagi kepolisian dan minim perlindungan untuk perempuan.
“Jadi memang bagi perempuan di tanah air, ketika jadi korban akan sulit untuk ditindaklanjuti laporannya. Banyak hak-hak yang belum terakomodir juga di dalam RKUHAP. Jadi memang both sides masih sangat merugikan bagi perempuan,” ujarnya dalam siaran Ruang Publik KBR, Jumat (21/11/2025).
Salah satu kritik LBH APIK, kata dia, polisi dikhawatirkan bakal menjalankan proses hukum perempuan tanpa mekanisme pengawasan memadai.
“Di sisi lain, tidak ada pengawasan terhadap apa saja yang dilakukan terhadap kewenangan kepolisian yang semakin besar,” ucapnya.
Tsaltsa menyebut bahwa hak perempuan sebagai korban dan penyintas kekerasan, hanya disebut secara umum tanpa mekanisme pelaksanaan yang jelas di KUHAP terbaru.
“Integrasinya terhadap proses-proses dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sampai misalnya putusan itu tidak ada sebenarnya,” ungkapnya.
Tsalsa juga menilai bahwa wewenang pendampingan korban dipersempit hanya sebagai advokat akan merugikan perempuan. Imbasnya, korban yang berurusan dengan hukum bakal berada dalam posisi sulit.
“Padahal kan korban juga butuh untuk bantuan hukum juga kan sebenarnya,” terangnya.

Suara Perempuan Tidak Diakomodasi, Tunda Pemberlakuan KUHAP
Tsaltsa mengatakan pemberlakuan KUHAP bersamaan dengan KUHP pada 2 Januari 2026 terlalu cepat. Padahal, ia menilai proses legislasi KUHAP yang disahkan pekan lalu jauh dari partisipasi bermakna.
“Kita juga melihat ini satu tahun juga paling keterlibatan masyarakat sipil itu cuma berapa persen saja. Jadi memang tidak benar-benar dilakukan partisipasi bermakna,” ujarnya.
Tsaltsa menambahkan proses legislasi tersebut tidak memberikan ruang cukup untuk mempertimbangkan masukan masyarakat sipil. Itu sebab, seluruh koalisi sipil sudah menyuarakan penundaan pelaksanaan KUHAP baru di awal tahun depan.
“Teman-teman mendorong Presiden untuk menunda dulu pemberlakuan KUHAP tanggal 2 Januari karena benar-benar cepat,” ujarnya.
Restorative Justice Lemahkan Perempuan
Khotimun turut mengingatkan risiko keadilan restoratif atau restorative justice berpotensi menekan perempuan untuk mencabut pengaduan.
“Kemungkinan kemudian perempuan jadinya mencabut kuasa karena dia tidak memiliki, tidak berdaya sehingga mau mengambil keputusan ‘ya udahlah saya tidak akan melanjutkan ini demi keluarga’ begitu,” ujarnya.
Sementara, Tsaltsa menyinggung bahaya praktik restorative justice yang bisa muncul terlalu dini, bahkan sejak tahap penyelidikan.
“Sementara restorative justice adalah mekanisme yang sebenarnya korban dan pelaku sudah ada di sini, kok belum apa-apa udah didamaikan aja nih," ujarnya.

Penegasan DPR Soal Pentingnya KUHAP Baru
Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman mengatakan bahwa pengesahan KUHAP yang baru merupakan hal yang penting, mengingat KUHAP yang lama sudah berusia 44 tahun.
KUHAP baru, kata dia, diarahkan untuk menuju keadilan yang hakiki.
"Pembentukan RUU KUHAP ini tidaklah terburu-buru sama sekali, bahkan kalau hitungannya ya, waktu kita membentuk KUHAP ini lebih dari satu tahun," kata Habiburokhman dikutip dari ANTARA.
Ia menjelaskan, sejumlah perubahan dalam KUHAP pada intinya memperkuat hak-hak warga negara dalam menghadapi aparat penegakan hukum Selain itu, peran profesi advokat juga diperkuat untuk mendampingi warga negara.
“KUHAP baru juga mengakomodasi secara maksimal terhadap masyarakat kelompok rentan. KUHAP itu juga mencantumkan pengaturan spesifik terhadap kelompok rentan, termasuk penyandang disabilitas, perempuan, dan lansia,” terangnya.

KUHAP Bukan Jawaban Sistem Peradilan Pidana Modern
Menurut Tsalsa, KUHAP baru belum mampu menjawab kebutuhan sistem peradilan pidana modern yang tidak hanya bersifat punitif tetapi juga rehabilitatif.
“Kita bisa lihat bahwa sebenarnya kan harapan kita atas KUHAP ini kan sudah besar untuk tidak hanya menjawab permasalahan sistem peradilan pidana yang aspek hanya punitif tapi juga rehabilitative,” terangnya.
Menurut data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan per Mei 2025, menunjukkan peningkatan jumlah napi dan tahanan perempuan yaitu sebanyak 10.404 narapidana perempuan dan 3.283 tahanan perempuan.
Tingginya angka perempuan berhadapan dengan hukum, membuat Tsalsa beranggapan kewenangan baru seperti pembelian terselubung atau undercover buy membuka ruang kriminalisasi perempuan.
“Jadi ketika ada kewenangan polisi yang sangat besar, maka disitulah perempuan dijebak dan perempuan dikriminalisasi lebih itu,” pungkasnya.
Obrolan lengkap episode ini bisa diakses di Youtube Ruang Publik Edisi Khusus KBR Media
Baca juga:
- Desakan Perppu KUHAP Ditolak Yusril, Koalisi Sipil Tegaskan 'Semua Bisa Kena'
- Mengapa Gen Alpha dan Z Disasar Jaringan Teroris Lewat Medsos dan Game Online?






