Pengamat JPPI menyebut evaluasi yang bisa disoroti yakni terkait transparansi data siswa, perekrutan guru, serta mekanisme belajar-mengajar yang melibatkan kalangan militer.
Penulis: Shafira Aurel, Naomi L
Editor: Resky Novianto

- Pengamat mempersoalkan minimnya transparansi, pola rekrutmen guru, dan pelibatan militer di Sekolah Rakyat (SR).
- Masalah ratusan guru dan siswa mundur di awal peluncuran SR perlu mendapat atensi dari pemerintah.
- Pemerintahan mengalokasikan anggaran Sekolah Rakyat mencapai Rp24,9 triliun pada tahun depan. Jumlah ini melonjak tajam dari anggaran SR pada 2025 sebesar Rp7 triliun.
KBR, Jakarta- Program Sekolah Rakyat (SR) yang digagas pemerintahan Prabowo-Gibran dinilai belum mumpuni untuk memutus rantai kemiskinan melalui pendidikan.
Menurut Koordinator Program dan Advokasi Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ari Hardianto, terdapat sejumlah permasalahan mendasar di program Sekolah Rakyat. Diantaranya terkait transparansi data siswa, perekrutan guru, serta mekanisme belajar-mengajar yang melibatkan kalangan militer.
"Memutus mata rantai angka anak putus sekolah itu tidak bisa kita pukul rata semua. Artinya, ini tidak bisa dilakukan dalam satu atau dua program saja. Karena per Agustus 2025, ada 3,9 juta anak putus sekolah. Jadi 76 persen itu karena faktor ekonomi, dan Sekolah Rakyat yang sekarang ada ini itu hanya mampu menampung 0,33 persen saja dari total anak putus sekolah,” ujar Ari dalam acara Ruang Publik KBR yang diselenggarakan dari Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 13 Kota Bekasi Jawa Barat, Jumat (5/9/2025).
Ia menyebut penyelenggaraan Sekolah Rakyat sudah mendesak untuk segera dievaluasi menyeluruh. Sebab, ada beragam masalah yang timbul usai SR berjalan hampir dua bulan.
“Mulai dari perekrutan siswanya siapa saja yang berhak, guru, lahan yang mau dipakai ada apa tidak, dan kurikulumnya," tutur Ari.
Apalagi, saat ini SR masih menggunakan mekanisme pemberian bantuan sosial. Padahal, Undang-Undang secara tegas mengatur soal pemenuhan hak pendidikan.

Kebijakan Penempatan Guru Dipertanyakan
Lebih lanjut, Ari menilai ada pengabaian dari pemerintah ihwal kebijakan penempatan guru di Sekolah Rakyat. Selain itu, minimnya transparansi dan pembekalan dari pemerintah pusat juga berpotensi menghambat jalannya program ini.
Hal ini dia sampaikan merespon fenomena ratusan guru sekolah rakyat yang memutuskan mengundurkan diri karena penempatan lokasi mengajar jauh dari tempat tinggalnya.
"Gus Ipul (Menteri Sosial) sendiri bilang SR ini boarding tapi bukan pesantren. Pesantren tapi beda, tapi pas ditanya bedanya apa itu tidak dijelaskan. Jadi para guru itu yang background pesantren punya corak beda-beda dengan guru yang lain dan itu perlu dievaluasi mumpung baru sebulan ini sudah tepat apa belum,” tutur Ari.
Menurutnya, diperlukan penyamarataan dasar metode pembelajaran guru baik yang berasal dari sekolah umum maupun pesantren.
“Itu punya standar masing-masing dalam menertibkan siswanya, dalam mengajar. Ini yang harus disatukan oleh pemerintah. Selain itu, mereka (guru) juga mengeluhkan lokasi SR yang jauh, kepastian hak mereka seperti apa,” terangnya.

Negara Hadir Atasi Angka Putus Sekolah
Dari puluhan SR yang sudah beroperasi, salah satu yang berjalan yakni di Kota Bekasi, Jawa Barat.
Kepala Sekolah Sekolah Rakyat Menengah (SRMA) 13 Kota Bekasi, Lastri Fajarwati menilai program Sekolah Rakyat menjadi bukti pemerintah hadir dan sungguh-sungguh dalam mengatasi kemiskinan dan angka putus sekolah.
Ia mengeklaim seluruh hak siswa di sekolahnya terpenuhi tanpa ada diskriminasi.
"Ini bukti kehadiran negera ya. Dimana pemerintah fokus pada anak. Tentu kami berkomitmen. Disini hak anak-anak akan dipenuhi. Mulai dari fasilitas, layanan kesehatan, baju seragam, makan, laptop, dan wali asuh juga. Jadi kami pastikan anak-anak bisa mengikuti dengan aman dan nyaman," ujar Lastri dalam acara Ruang Publik KBR yang diselenggarakan dari Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 13 Kota Bekasi Jawa Barat, Jumat (5/9/2025).
Ia menambahkan tak hanya mata pelajaran utama, pihaknya juga menyediakan ekstrakurikuler untuk mengembangkan bakat siswa, serta menggandeng TNI dalam upaya pembentukan karakter dan disiplin siswa.
"Mereka (siswa) juga mendapatkan ekstrakurikuler, ada kegiatan mandiri jadi meraka tidak terkesan dan merasa nyaman. TNI kami libatkan untuk membantu pembentukan karakter siswa. Jadi ini kolaborasi antar pihak ya," ucap Lastri.

Data Siswa Sesuai DTSEN, tapi Ada Kendala Soal Lahan
Sementara itu, Kasubag Perencanaan, Dinas Sosial Kota Bekasi, Rino Budiarti mengeklaim siswa-siswa yang terdaftar di Sekolah Rakyat sudah sesuai dengan Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) atau target dari pemerintah.
Ia menyebut pihak Dinsos telah menganalisis dan memetakan data siswa terlebih dahulu.
"Kalau bicara ketepatan sasaran itu kami kembali lagi kepada data yang ada di kota/kabupaten, bekerjasama dengan BPS (Badan Pusat Statistik) juga ya. Jadi kalau untuk Dinas Pendidikan juga punya peran disitu, karena mereka melalui data-data Dapodik mereka dari SD, SMP, SMA mereka punya. Jadi sudah pas sasaran," ucap Rino dalam acara Ruang Publik KBR yang diselenggarakan dari Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 13 Kota Bekasi Jawa Barat, Jumat (5/9/2025).
Meski demikian, Rino mengakui Dinas Sosial Kota Bekasi masih memiliki sejumlah kendala. Salah satunya yakni terkait keterbatasan lahan untuk membangun sekolah dan jumlah tenaga pendidik.
"Kota Bekasi ini kan kecil ya, jadi ya lahan masih sulit. Cuma karena ini program dari pemerintah ya kita menjalankan saja, kita berkomitmen lah," katanya.
Ia mengatakan pihaknya secara rutin melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap program Sekolah Rakyat. Untuk itu, harapannya program ini mampu mencetak generasi unggul dan mengurangi angka putus sekolah di Indonesia.
Pelibatan TNI Tak Tepat
Merespons pelibatan TNI dalam mengajar siswa di Sekolah Rakyat, Koordinator Program dan Advokasi Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ari Hardianto menilai kebijakan tersebut tidak tepat.
Pasalnya, pelibatan militer dalam pendidikan formal berkorelasi terhadap peningkatan kualitas pendidikan secara fundamental, sehingga berpotensi menjadi langkah mundur.
"Pendidikan itu bukan sesuatu yang sifatnya instan. Pendidikan itu adalah dari kebiasaan. Jadi anak-anak tidak bisa dipaksakan disiplin karena mereka tertekan atau takut. Tapi disiplin atas dasar kesadarannya,” jelas Ari.
“Kalau TNI hanya sebatas mengajar baris berbaris itu oke, tapi kalau sampai mengajar budi pekerti dan disiplin itu peran guru," tambahnya.
TNI Tak Rutin Mengajar
Babinsa Kelurahan Margahayu, Koramil 03, Kota Bekasi, Puryanto mengatakan pihaknya diminta pihak sekolah untuk membantu mendidik para siswa di Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 13 Kota Bekasi, Jawa Barat.
Adapun materi yang diberikan yakni pelatihan baris berbaris dan kedisiplinan.
"Jadi kita diminta pihak sekolah untuk mengajar siswa. Ini juga sebagai bentuk upaya membantu menyukseskan program pak Presiden Prabowo. Kami TNI teguh untuk mengabdi. Kami bantu membentuk karakternya demi mencapai Indonesia Emas 2045," ucap Puryanto saat ditemui di SRMA 13 Bekasi, Jumat (22/8/2025).

Puryanto menambah pihaknya menggunakan pendekatan humanis dalam memberikan pelajaran kepada siswa. Ia pun menepis jika siswa tertekan diajar oleh TNI.
Awal Permasalahan SR: Ratusan Guru dan Siswa Mundur
Sebanyak 143 guru Sekolah Rakyat (SR) mengundurkan diri setelah dinyatakan diterima dalam seleksi Calon Aparatur Sipil Negara Badan Kepegawaian Negara (CASN BKN).
Alasan utama pengunduran diri ini adalah penempatan yang jauh dari domisili mereka akibat mekanisme optimalisasi penempatan oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN).
Sebabnya, ada sekitar 143 guru yang telah diterima di Sekolah Rakyat memilih mundur, meninggalkan kursi pengajar yang kosong. Tak berhenti sampai di situ, 115 siswa Sekolah Rakyat bahkan ikut mengundurkan diri secara sukarela. Padahal, kala itu, Sekolah Rakyat belum genap 1 bulan sejak resmi diluncurkan pada 14 Juli 2025.
Seperti yang terjadi di Bali, Sekolah Rakyat Menengah Pertama (SRMP) 17 Tabanan, mengoptimalisasi ketersediaan 12 orang guru untuk menyiasati kekurangan tiga orang tenaga pendidik tersebut.
"Seharusnya 15 orang guru tapi ada yang mundur atau tidak mendaftar ulang," kata Kepala Sekolah Rakyat Menengah Pertama 17 Tabanan I Putu Jaya Negara di Kediri, Kabupaten Tabanan, Bali, Senin (4/8/2025) dikutip dari ANTARA.
Tak hanya guru, sebanyak 115 siswa Sekolah Rakyat dari total 9.705 siswa juga menyatakan mundur dan batal mengikuti program pendidikan tersebut.
Ratusan siswa beralasan mundur karena memilih sekolah reguler, sementara lainnya merasa keberatan dengan kehidupan di asrama atau aturan yang berlaku di Sekolah Rakyat.

Ketidakjelasan Jaminan Kesejahteraan
Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti menilai bahwa penempatan guru di daerah yang jauh dari domisili tanpa kejelasan kontrak dan jaminan kesejahteraan menjadi pemicu utama banyaknya guru yang mundur.
“Kan jarak jauh keluarga belum tentu bisa dibawa. Begitu nyampe ternyata tidak juga misalnya dapat satu kamar, satu orang, atau minimal untuk guru dua. Ini mungkin juga kita nggak pernah bayangin mereka di dalam gimana. Atau malah disuruh ngontrak dulu," kata Retno kepada KBR.
Retno menambahkan bahwa pemerintah harus belajar dari kesalahan ini. Kata dia, niat baik tanpa eksekusi yang matang justru menimbulkan kerugian besar, baik dari sisi anggaran negara maupun nasib anak-anak dan guru yang menjadi korbannya.
“Program ini tanpa kajian gitu ya yang memadai, mungkin malah nggak ada kajian ya. Lalu kemudian berbagai macam rekrutmen yang sebenarnya juga bermasalah,” tegasnya.
“Dan akhirnya anak-anak dari keluarga miskin ini justru malah dikorbanin dalam sistem ini. Dan ternyata kan anak-anak ketika diwawancara dia ada yang bilang ya. Daripada di sini pinginnya mereka tetap bisa pulang dan kumpul dengan keluarga,” tambahnya.
Mensos Lapor Perkembangan SR kepada Prabowo
Menteri Sosial (Mensos) Saifullah Yusuf menyampaikan laporan kepada Presiden Prabowo Subianto, mengenai perkembangan pelaksanaan Program Sekolah Rakyat.
"Alhamdulillah hari ini saya bersama tim inti Kementerian Sosial bisa menyampaikan laporan rinci tentang penyelenggaraan Sekolah Rakyat, termasuk perkembangan dan tantangan yang dihadapi selama proses berjalan," kata Mensos Saifullah Yusuf (Gus Ipul) dalam keterangan di Jakarta, Minggu (7/9/2025) dikutip dari ANTARA.

Hal itu dikatakan Mensos saat mengunjungi kediaman pribadi Presiden Prabowo di Hambalang, Bogor, Jawa Barat, dalam rangka menindaklanjuti gagasan Presiden terkait penyelenggaraan Sekolah Rakyat.
"Beliau (Presiden) tadi memberikan arahan-arahan penting agar ke depan perencanaannya lebih matang," tambahnya.
Gus Ipul mengatakan Presiden Prabowo Subianto menyampaikan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah mendukung pelaksanaan Sekolah Rakyat rintisan tahun ini.
Pemerintah Klaim SR Berdampak Positif
Gus Ipul menyatakan Program Sekolah Rakyat mulai memberikan dampak positif bagi siswa maupun keluarga setelah beberapa bulan berjalan.
"Setelah tiga bulan, kami lakukan evaluasi. Secara umum sekolah berjalan baik dan sudah mulai memberi dampak yang dirasakan oleh siswa dan keluarganya,” kata Saifullah Yusuf saat ditemui di Jakarta, Rabu (3/9/2025) dikutip dari ANTARA.
Mensos mengakui bahwa tantangan terbesar terjadi pada tahap awal pembelajaran, namun kini ia mengkeliam kondisi Sekolah Rakyat lebih stabil.
Dalam hal ini, lanjutnya, setiap siswa dan guru memiliki rekam medis untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan berbasis kesehatan. Kemensos menemukan masalah kesehatan seperti anemia atau masalah gigi yang juga dapat segera ditindaklanjuti.
Selain itu, kata Mensos, orang tua siswa juga mendapat layanan Cek Kesehatan Gratis (CKG). Ia menambahkan Program Sekolah Rakyat juga memberikan manfaat kepada perekonomian domestik.
"Khususnya pelaku usaha UMKM melalui pembuatan seragam dan menyerap tenaga kerja melalui Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Program Makan Bergizi Gratis (MBG)," jelasnya.

Kilas Balik Tujuan SR
Progam Sekolah Rakyat merupakan inisiatif langsung dari Presiden Prabowo Subianto dan ditujukan bagi anak-anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem yang selama ini sulit mengakses pendidikan berkualitas.
Hingga saat ini sudah terdapat 100 Sekolah Rakyat yang beroperasi di berbagai daerah.
Presiden Prabowo Subianto menargetkan program Sekolah Rakyat pada Tahun 2025-2026 dapat menampung 15.000 siswa di 190 Sekolah Rakyat di seluruh Indonesia.
Per 14 Juli 2025, sebanyak 63 Sekolah Rakyat telah beroperasi. Sisanya, 37 sekolah akan dibuka pada akhir Juli atau awal Agustus, menjangkau total 100 lokasi di seluruh Indonesia.
Distribusinya meliputi: Jawa 48 sekolah, Sumatera 22 sekolah, Sulawesi 15 sekolah, Bali 4 sekolah, Nusa Tenggara 4 sekolah, Kalimantan 4 sekolah, Maluku 4 sekolah, dan Papua 3 sekolah. Total kapasitas saat ini mencapai 9.705 anak.
Kementerian Sosial sebagai pelaksana teknis menargetkan pada tahun ajaran 2025/2026 ini total akan ada sebanyak 165 Sekolah Rakyat jenjang SD, SMP dan SMA/sederajat yang beroperasi sehingga total kapasitas 15.895 siswa, didukung 2.407 guru dan 4.442 tenaga pendidik.
Pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp24,9 triliun untuk Sekolah Rakyat (SR) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026. Jumlah tersebut melonjak 255,71% dibandingkan dengan anggaran pada 2025 yang hanya sebesar Rp7 triliun.
Obrolan lengkap episode ini bisa diakses di Youtube Ruang Publik KBR Media
Baca juga:
- Jelang Deadline 17+8 Tuntutan Rakyat
- Sekolah Rakyat: Ratusan Guru dan Siswa Kompak Mundur di Awal Peluncuran, Apa yang Mesti Dievaluasi?