Ada empat orang yang datang ke rumah mereka, yakni kapolrestabes Semarang, kasat narkoba, kasat reskrim dan seorang wartawan.
Penulis: Anindya Putri, Ardhi Ridwansyah, Resky Novianto
Editor: Sindu

KBR, Semarang- Keluarga GRO, korban tewas yang ditembak polisi, menyebut Kapolrestabes Semarang Irwan Anwar meminta mereka membuat video pernyataan untuk mengikhlaskan anaknya.
Paman GRO, AG membeberkan, pada Senin, (25/11/2024), kapolrestabes Semarang datang bersama seorang wartawan, dan meminta pihak keluarga membuat video damai, namun ditolak.
"Setelah kejadian, kepada keluarga kami kapolres datang bersama wartawan dan orang itu bilang agar beritanya tidak menyebar sebaiknya keluarga korban membuat video bahwa keluarga sudah mengikhlaskan kejadian ini, dan tidak membesar-besarkan masalah ini, dan untuk masalah hukum selanjutnya diserahkan ke polrestabes," beber Paman GRO, AG, Selasa, (04/11/24).
AG menilai, tindakan Kapolrestabes Semarang Irwan Anwar dan wartawan tersebut sebuah intervensi terhadap keluarga korban. Kata dia, ada empat orang yang datang ke rumah mereka, yakni kapolrestabes Semarang, kasat narkoba, kasat reskrim dan seorang wartawan.
"Mereka datang empat orang dan kami diminta membuat video damai, namun kami menolak karena ini sudah urusan nyawa," jelas AG.
Respons AJI Semarang
Sementara itu, Ketua AJI Semarang, Aris Mulyawan mengecam tindakan wartawan yang ikut mengintervensi keluarga GRO. Dalam keterang tertulis di Semarang, Aris mengatakan, tindakan wartawan yang ikut menutupi kasus tewasnya GRO mencederai profesi jurnalis.
"Tak hanya itu, tindakan cawe-cawe jurnalis dalam kasus GRO berpotensi menyalahi UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik," kata Aris.
Aris menyebut, dalam Pasal 4 UU Pers jelas disebutkan, kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi manusia. Kemudian untuk menjamin kemerdekaan, maka pers nasional memiliki hak mencari, dan menyebarluaskan gagasan serta informasi.
Namun, kata dia, wartawan dalam kasus GRO malah diduga berupaya menghalang-halangi sesama rekan jurnalis untuk meliput kasus tersebut.
Dalihnya, kapolrestabes Semarang akan merilis kasus tersebut tetapi selepas Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024.
Ancaman Pidana Pers
Di dalam Pasal 18 UU Pers sudah sangat jelas tertulis, yakni setiap orang yang dengan sengaja menghambat kerja pers secara melawan hukum dapat dipidana dengan penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp500 juta.
"Mirisnya, potensi pelanggaran ini malah dilakukan oleh wartawan itu sendiri," ungkap Aris.
Selain itu, upaya intervensi wartawan terhadap kasus GRO tidak sesuai kode etik AJI, yaitu jurnalis tidak menyembunyikan informasi penting yang berkaitan dengan kepentingan publik.
Jurnalis memberikan tempat bagi pihak yang tidak memiliki kemampuan dan kesempatan untuk menyuarakan pendapat mereka.
Jurnalis tidak memanfaatkan posisi dan informasi yang dimilikinya untuk mencari keuntungan pribadi.
"Sikap dari wartawan itu sangat jauh dari tanggung jawabnya sebagai seorang wartawan," ujar Aris.
Wartawan Bukan Humas Polri
Menurut Aris, kasus ini menjadi tamparan keras bagi wajah jurnalisme di Semarang. Untuk itu, dia menekankan jurnalis memiliki prinsip keberpihakan kepada publik, kebenaran, dan keadilan.
Tugas jurnalis juga sudah diikat dalam UU Pers dan Kode Etik sehingga jurnalis diminta menaati rambu-rambu tersebut.
"Wartawan bukan Humas Polri," tandasnya.
Mengakui
Sebelumnya, Kepala Kepolisian Resor Kota Besar (Kapolrestabes) Semarang, Irwan Anwar mengakui salah satu anggotanya teledor menggunakan senjata api yang berujung tewasnya seorang siswa SMKN pada Minggu dini hari, 24 November 2024.
Hal itu disampaikan Irwan dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi Hukum (III) DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, (3/12/2024)
“Kami sebagai atasan Brigadir R (Robig) pada kesempatan ini memohon maaf sebesar-besarnya kepada seluruh masyarakat khususnya warga kota Semarang, terlebih keluarga besar almarhum ananda G dan atas segala tindakan dari anggota saya, Brigadir R, yang telah mengabaikan prinsip-prinsip penggunaan kekuatan, abai dalam menilai situasi, teledor dalam menggunakan senjata api dan telah melakukan tindakan excessive action, tindakan yang berlebihan tindakan yang tidak perlu,” ucapnya.
Sebagai pimpinan, Irwan siap menerima segala konsekuensi.
“Sepenuhnya saya siap bertanggung jawab, saya siap dievaluasi apa pun bahasanya saya siap menerima konsekuensi dari peristiwa ini,” tuturnya.
G Tewas Ditembak Brigadir R
Kasus tewasnya seorang siswa SMKN akibat ditembak polisi menjadi sorotan publik. Diduga, penembakan terjadi akibat senggolan motor di Jalan Candi, Penataran, Kota Semarang, Jawa Tengah, Minggu, (24/11/2024).
Saat itu, Kapolrestabes Semarang, Irwan Anwar mengatakan, Brigadir R menembak korban lantaran G adalah anggota gangster Tanggul Pojok yang sedang tawuran dengan gangster Seroja.
Ia berdalih, penembakan tersebut upaya membubarkan tawuran yang terjadi di depan Perumahan Paramount, Semarang Barat. Namun saat dikonfrontasi, satpam perumahan itu mengaku tidak tahu adanya tawuran.
Bantahan juga disampaikan pihak sekolah. Pihak sekolah menyebut korban dan dua siswa lain yang terluka merupakan anggota paskibra, dan selama ini belum pernah ada catatan terlibat tawuran.
Kejahatan Luar Biasa
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyebut polisi telah melakukan kejahatan luar biasa dalam kasus penembakan siswa di Semarang, Jawa Tengah, belum lama ini. Ketua Umum YLBHI Muhammad Isnur mengecam aksi penembakan tersebut.
"Karena membunuh orang tanpa bersalah. Dia dalam konteks yang kami sebut dengan extrajudicial killing, pembunuhan di luar keputusan pengadilan," kata Isnur kepada KBR, Rabu, (27/11/2024).
Isnur mengungkap pembunuhan di luar putusan pengadilan ini bukan hanya terjadi sekali. YLBHI mencatat, selama 5 tahun, ada 34 kasus kejadian extrajudicial killing. Dengan korban lebih dari 94 orang mati ditembak polisi. Itu sebab, YLBHI mendorong kepolisian mengevaluasi secara maksimal penggunaan senjata api.
Baca juga: