Cinta bisa menjadi sumber kebahagiaan dan penderitaan. Bagaimana menghindari jebakan relasi toksik.
Penulis: Khalisha Putri, Wydia Angga
Editor: Ninik Yuniati

KBR, Jakarta - Cinta bisa menjadi sumber kebahagiaan dan penderitaan. Hubungan romantis kadang malah menciptakan derita, membuat lelah, memunculkan rasa bersalah, hingga merusak kepercayaan diri.
Fenomena ini ternyata dialami banyak orang. Survei Jakpat (2023) mencatat, 64,3% responden di Indonesia pernah mengalami hubungan toxic dengan pasangan, sementara 44,3% lainnya merasakan hal serupa dalam pertemanan.
Beberapa karakter toksik yang paling banyak ditemui adalah sikap egois sebesar 63.1%. Ada juga perilaku manipulatif, tak mau mengakui kesalahan, tak suportif, hingga melakukan kekerasan verbal seperti ancaman dan penghinaan.

Ketika Cinta Tak Lagi Menumbuhkan
Bagaimana mengidentifikasi hubungan itu sehat atau toksik?
Psikolog klinis Rahelda Defanti melontarkan satu pertanyaan sederhana: Apakah aku bertumbuh dalam hubungan ini?
“Kalau hubungan itu membuat kita berkembang, merasa aman, dan didukung, itu tandanya sehat. Tapi kalau justru membuat kita merasa kecil, tertekan, atau kehilangan arah, itu bisa jadi tanda toksik,” ujar Rahel live Instagram bertajuk “Understanding Healthy vs Toxic Love” yang digelar komunitas her.space.id.
Hubungan yang sehat, lanjutnya, bukanlah hubungan yang selalu adem-ayem tanpa pertengkaran. Konflik adalah hal wajar bahkan bisa menjadi ruang untuk belajar tentang diri dan pasangan. Sedangkan, hubungan yang toksik ditandai dengan pola konflik yang berulang, bukan momen sesekali.
“Kalau masalah yang sama terus muncul tanpa ada perubahan, misalnya kebohongan atau pengkhianatan yang terus berulang, itu sudah masuk ke pola. Nah, pola itulah yang membahayakan,” jelas Rahel.
Beban Ganda bagi Perempuan
Rahel bilang, perempuan paling banyak dirugikan dalam relasi toksik, karena menanggung beban budaya dan stigma sosial. Situasi itu mempersulit perempuan keluar dari hubungan "beracun".
“Ada tekanan bahwa perempuan harus kuat, harus bisa menjaga hubungan. Kadang itu membuat perempuan merasa bersalah ketika hubungannya gagal,” tutur Rahel.
Stigma tersebut, kata Rahel, memperparah dampak psikologis dari relasi toksik. Banyak perempuan kehilangan kepercayaan diri, mempertanyakan persepsinya sendiri, sampai merasa bersalah atas hal-hal yang bukan kesalahannya.
“Ketika itu terjadi terus-menerus, perempuan jadi kehilangan kepercayaan pada dirinya sendiri. Bahkan untuk mengambil keputusan kecil pun bisa jadi sulit,” tambahnya.
Rasa bersalah dan ketergantungan emosional bisa membentuk luka ketika perempuan memaksakan diri bertahan dalam sebuah hubungan toksik. Saat mulai terbiasa dengan luka itu, ia bisa terjebak dalam trauma bonding atau keterikatan emosional terhadap orang yang justru menyakitinya. Hubungan toksik ciptakan hubungan toksik lain.

Sadari dan Validasi
Bagaimana cara keluar dari situasi ini? Sadari dulu pola yang terjadi dan validasi perasaan sendiri.
“Kita sering diajarkan untuk cepat memaafkan, cepat melupakan. Padahal belum tentu kita benar-benar pulih. Validasi dulu aja, aku memang sedih, aku memang terluka. Itu bukan kelemahan, itu manusiawi.”ujarnya.
Menurut Rahel, banyak orang terutama perempuan menekan emosinya karena takut dianggap lemah. Padahal, menolak rasa sakit justru membuat proses penyembuhan semakin lama.
Kesadaran diri (self-awareness) bukan sekadar mengenali emosi, tetapi juga mengenali pola hubungan yang berulang dan nilai diri yang mulai hilang.
“Kita nggak bisa mengubah orang lain, tetapi kita bisa mulai dengan mengubah cara kita memahami diri sendiri. Kita sadari dulu aja, oh ini pola, bukan momen.”tegasnya.
Membangun Diri Kembali
Setelah sadar, langkah berikutnya adalah memulihkan konsep diri dan nilai pribadi (values).
Rahel menekankan bahwa perempuan harus punya identitas dan nilai diri di luar perannya dalam relasi.
“Kita harus tahu, aku ini siapa selain sebagai pasangan dia. Aku bisa hidup sebagai aku bukan hanya sebagai ‘milik seseorang’,”
Dengan mengenali nilai-nilai pribadi, perempuan bisa melakukan reality check apakah suatu hubungan sejalan dengan nilai-nilai itu, atau sebaliknya.
“Kalau aku sadar hubungan ini nggak membuatku dekat dengan value-ku, berarti aku punya hak untuk pergi. Bukan karena aku gagal, tetapi karena ini nggak sejalan lagi,” ujar Rahel.
Selain kesadaran diri, dukungan sosial juga menjadi elemen penting dalam proses pemulihan. Dukungan tidak harus selalu datang dari keluarga; bisa juga dari teman, komunitas seperti her.space, atau tenaga profesional seperti psikolog dan konselor.
“Kita makhluk sosial. Jadi nggak apa-apa banget kalau merasa nggak bisa sendiri. Kadang, kita butuh orang lain untuk bantu menavigasi pikiran dan emosi kita,”
Baca Juga:
- Belajar Body Positivity, Melawan Body Shaming
Pulih adalah Proses, bukan Lomba
Pulih dari relasi toksik bukanlah perjalanan yang cepat.
“Proses pemulihan itu kayak maraton, bukan sprint, nggak apa-apa kalau masih naik-turun, yang penting kita terus jalan,”ucapnya.
Pulih tak selalu berarti memaafkan atau melupakan. Terkadang, pulih berarti berdamai, menerima bahwa luka itu pernah ada, tanpa membiarkannya menguasai hidup.
“Kita nggak perlu memaksa diri untuk langsung maafin. Cukup berdamai dulu aja dengan yang pernah melukai. Itu juga bagian dari penyembuhan.” tutupnya.
Jika anda menyukai pembahasan mengenai kesehatan mental, anda juga dapat menikmati Podcast Disko "Diskusi Psikologi" produksi KBR melalui kbr.id, Spotify maupun Youtube.