ragam
Belajar Body Positivity, Melawan Body Shaming

“Menerima itu bukan berarti menyukai. Kita boleh tidak suka tubuh gemuk, tetapi saat menerima, kita jadi lebih bijak mencari cara menyiasati" kata psikolog Nurchayati

Penulis: Khalisha Putri, Wydia Angga

Editor: Ninik Yuniati

Audio ini dihasilkan oleh AI
Google News
Belajar Body Positivity, Melawan Body Shaming
Ilustrasi body positivity dibuat menggunakan artificial intelligence (AI)

KBR, Jakarta - Sebagian perempuan merasa insecure dengan bentuk tubuhnya, karena dianggap tidak ideal.

Survei ZAP Index 2020, menunjukkan mayoritas perempuan Indonesia (62,2%) pernah mengalami body shaming. Hampir separuh (40,7%) mengalami body shaming karena dinilai terlalu berisi, dan sebanyak 36,4% karena kulit berjerawat.

Kreator konten sekaligus plus size model, Clara Debora, mengaku pernah menjadi korban body shaming. Namun, ia menjadikan pengalaman itu sebagai motivasi untuk memelajari cara menjadi model plus size.

"Awalnya aku nggak tahu ada kategori plus size model. Tetapi aku lihat di luar negeri, ada nama-nama besar yang bisa berdiri dengan percaya diri. Dari situ aku bilang ke diri sendiri: coba, kenapa tidak? Indonesia juga harus tahu kalau plus size itu ada, dan bisa jadi kekuatan," ungkap Clara dalam Webinar bertajuk “Lingerie for the Soul”, beberapa waktu lalu

Namun, perjalanan itu tidak selalu mulus. Tekanan terberat justru datang dari lingkaran terdekat.

“Di awal, keluarga besar benar-benar kayak menentang banget. Kamu ngapain sih melakukan hal-hal seperti ini, kayak nggak ada hal lain aja yang kamu lakukan. Kamu nggak bisa apa cari hal lain? Di situ udah mulai berantem. Aku pikir keluarga akan mendukung, tetapi ternyata enggak. Walaupun enggak semua. Mamaku dan adikku mendukung,” ujarnya.

Clara menuturkan, betapa tak mudah menghadapi komentar nyinyir di media sosial, terutama dari laki-laki.

“Aku kira laki-laki biasa aja nge-lihat aku. Ternyata komen-komen mereka kadang lebih menyakitkan. Mereka berusaha meruntuhkan apa yang lagi aku bangun,” kata Clara.

Clara tetap konsisten dengan branding yang ia bangun. Salah satunya melalui eksplorasi busana yang sering dianggap tabu bagi perempuan bertubuh besar, seperti lingerie. Baginya lingerie bukan sekadar pakaian dalam, tetapi medium untuk mengangkat rasa percaya diri.

"Bukan hanya sekadar pakaian seksi. Aku ingin menunjukkan bahwa perempuan plus size pun bisa tampil elegan, tetap seksi tapi tidak murahan," jelasnya.

Langkah itu menuai kontroversi, tetapi sekaligus membuka jalan. Clara mendapat kesempatan berkolaborasi dengan berbagai brand yang memiliki visi serupa: merayakan tubuh apa adanya. Baginya, itu adalah pencapaian penting.

Dobrak Stigma

Ada juga brand lokal lingerie, Nipplets, yang dirintis Ida Swasti. 

Bagi Ida, lingerie seharusnya menjadi sarana perempuan untuk mencintai diri sendiri.

“Pas pertama kali pakai lingerie, aku merasa: hey, aku sebenarnya kelihatan bagus ya. Ini aku. Aku cukup. Aku mencintai diriku,” ujarnya.

Ida bilang, Nipplets hadir untuk mendobrak stigma bahwa lingerie hanya untuk memuaskan hasrat laki-laki.

Lingerie bukan sekadar obyek visual, tetapi simbol self-intimacy dan self-respect. Perempuan nggak butuh izin untuk merasa nyaman,” tegasnya.

Sejak 2019, Nipplets konsisten menjalankan kampanye ‘Real People Real Body’ yang bertujuan mengajak perempuan melihat lingerie sebagai sarana penerimaan diri. Sejak didirikan, Nipplets telah menghadirkan koleksi lingerie dalam berbagai model, ukuran, pola, dan bahan.

“Buat Nipplets, ini bukan strategi branding. Ini belief, ini values. Banyak brand berhenti karena tren body positivity sudah lewat. Tetapi Nipplets tetap konsisten, karena ini tentang advocacy, bukan gimmick marketing,” jelas Ida.

Gali Potensi agar Percaya Diri

Psikolog Nurchayati menjelaskan pentingnya mengenali diri, menerima kekurangan, dan berfokus pada kelebihan sebagai modal untuk hidup berdaya. Orang punya keunikan masing-masing, mulai dari pikiran, emosi, bakat, hingga keterampilan. Ia mengajak tiap orang menggali potensi tersebut ketimbang terjebak pada kekurangan diri.

“Kalau kita cuma mikirnya, aduh tubuh aku gemuk, apa yang aku punya? Padahal bisa jadi aku punya kulit bagus, suara merdu, atau keterampilan berbicara. Itu semua bisa menjadi potensi,” jelasnya.

Pengembangan diri, kata Nurchayati, lebih mudah dilakukan dengan mengasah kelebihan, bukan terus-menerus meratapi kekurangan.

“Jangan fokus pada kelemahan. Karena yang paling mudah dikembangkan adalah kelebihan kita. Kalau kelemahan, biarkan saja. Kalau hanya fokus ke kelemahan, kita akan punya mental block,” tutur Nurchayati.

Penerimaan diri, menurutnya, tidak berarti berhenti berusaha memperbaiki diri. Justru, dengan sadar pada kekurangan, seseorang akan lebih mudah menemukan strategi untuk tampil lebih percaya diri.

“Menerima itu bukan berarti menyukai. Kita boleh tidak suka tubuh gemuk, misalnya, tetapi saat menerima, kita jadi lebih bijak mencari cara menyiasati. Misalnya dengan makeup atau teknik gaya,” kata dia. 

“Pada saat kita menerima diri, kita jadi tidak lebih sensitif. Orang mau bicara apapun, orang kita sudah terima. Oh iya, aku tahu kok tubuh aku memang besar. Oh iya, aku tahu kok wajah aku memang berkulit hitam, manis gitu ya. Sudah, tidak apa-apa,” tambahnya.

Nurchayati berujar, keputusan medis atau estetika seperti operasi pun sah dilakukan, selama disertai kesadaran penuh dan tujuan yang jelas.

Ia merangkum lima langkah membangun self-empowerment atau rasa berdaya pada diri sendiri:

  1. Sadar menjalani kehidupan dengan kemandirian berpikir.
  2. Hidup penuh tanggung jawab atas pilihan dan konsekuensi.
  3. Bersatu dengan masa lalu dengan menjadikannya pelajaran, bukan hambatan.
  4. Jujur pada diri sendiri, berani mengatakan tidak tanpa merasa bersalah.
  5. Mengandalkan diri sendiri, bukan berharap pada orang lain.

“Apapun bentuknya, kita hanya perlu memberdayakan apa yang Tuhan sudah berikan. Karena pada akhirnya, hanya diri kita yang bisa kita andalkan,” pungkasnya.

Jika anda menyukai pembahasan mengenai kesehatan mental, anda juga dapat menikmati Podcast Disko "Diskusi Psikologi" produksi KBR melalui kbr.id, Spotify maupun Youtube.

Baca Juga:

- Alissa Wahid Spill Kiat Rawat Perkawinan, No Baper

- Tren Curhat ke AI: Nyaman, Tapi Amankah buat Mental?

body shaming
mental health
self love
self acceptane
model plus size
percaya diri
podcast Disko
Psikolog
kesehatan mental

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...