ragam
Harga Pakaian Pejabat di @Cabinetcouture_idn, Tak Seimbang dengan Hasil Kerja

Semisal Menteri Perlindungan Pekerja Migran baru, Mukhtarudin yang memakai jam tangan seharga lebih Rp1 miliar.

Penulis: Hoirunnisa

Editor: Sindu

Audio ini dihasilkan oleh AI
Google News
Harga Pakaian Pejabat di @Cabinetcouture_idn, Tak Seimbang dengan Hasil Kerja
Akun @cabinetcouture_idn yang menampilkan sejumlah pejabat dengan pakaian dan aksesori yang dipakai disertai harganya. Tangkapan layar IG

KBR, Jakarta- Pamer dan gaya hidup mewah pejabat publik kembali jadi sorotan warganet. Itu terjadi setelah akun media media sosial Instagram @Cabinetcouture_idn menampilkan harga pakaian dan aksesori yang dipakai sejumlah pejabat maupun keluarganya.

Dalam postingannya terpampang beberapa nama mulai dari anggota DPR, menteri hingga keluarga mereka beserta harga pakaian dan aksesori yang dikenakan. Semisal Menteri Perlindungan Pekerja Migran baru, Mukhtarudin yang memakai jam tangan seharga lebih Rp1 miliar.

Kemudian ada juga Anggota Komisi Ketenagakerjaan DPR, Rieke Diah Pitaloka yang menggunakan tas Rp40 juta. Anggota DPR lain dari Komisi Pertanian, Siti Hediati Hariyadi atau Titiek Soeharto menggunakan tas seharga Rp165 juta dan sepatu Rp12 juta.

red
Titiek Soeharto membawa tas dan mengenakan sepatu hitam seharga belasan juta. Foto: @cabinetcouture_idn
advertisement


Dampak Pejabat Pamer

Menanggapi fenomena pejabat dan keluarganya yang kerap menampilkan kemewahan, pengamat sosial Universitas Indonesia (UI), Devie Rahmawati menilai, hal itu bukan sekadar persoalan etika, tetapi bisa berdampak pada stabilitas sosial.

“Bayangkan situasi ini, harga kebutuhan naik, pekerjaan tak pasti, kabar buruk datang silih berganti. Di tengah suasana seperti itu, masyarakat melihat unggahan pejabat, pesta meriah, mobil berjejer, jam tangan setara rumah. Itu bukan sekadar selera, melainkan pesan: hidup kami jauh di atas kalian,” ujar Devie kepada KBR, Selasa, (17/9/2025).

Devie menekankan, satu unggahan kemewahan saja bisa memicu rasa marah, iri, dan ditinggalkan.

“Perasaan itu cepat menular di banyak grup dan linimasa. Akibatnya, pamer pejabat bukan sekadar soal sopan santun, melainkan bisa menggerus kepercayaan publik dan memicu amuk sosial,” jelasnya.

Ia merujuk hasil penelitian yang menunjukkan pamer terselubung, misalnya mengeluh lelah sambil menampilkan jet pribadi, justru lebih memicu ketidakpercayaan. Paparan kemewahan berulang membuat masyarakat merasa tertinggal, jenuh, hingga murung.

“Ketika rasa jenuh itu bertemu pemicu, seperti ucapan pejabat yang tak peka, kemarahan bisa melonjak, bahkan menyasar simbol kemewahan,” katanya.

Menurut Devie, ada tiga dorongan utama yang membuat pejabat sering pamer, yakni gengsi jabatan, godaan popularitas di era attention economy, dan kebiasaan komunitas elit yang dibawa ke ruang publik.

Kata dia, di negara seperti Tiongkok, pemerintahan setempat sudah menertibkan konten pamer harta sejak 2013. Akibatnya tren gaya hidup mewah di ruang publik mereda. Untuk konteks Indonesia, Devie merekomendasikan penertiban perilaku pejabat dalam kapasitas jabatannya.

“Akun resmi dan acara resmi tidak boleh dipakai untuk tur rumah, parade mobil, atau pesta mewah, terlebih saat situasi genting. Fokus komunikasi pejabat publik harus pada kerja dan pelayanan,” tegasnya.

Ia juga mendorong ada sanksi berjenjang bagi pejabat yang melanggar, jalur klarifikasi cepat bersama platform digital, serta pembukaan data harta kekayaan untuk menumbuhkan kepercayaan.

“Pejabat harus ingat, mereka dipilih untuk melayani rakyat, bukan pamer di hadapan rakyat,” tutup Devie.

red
Anggota DPR RI Rieke Diah Pitaloka. Foto: @cabinetcouture_idn
advertisement


Minim Kepekaan Sosial

Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah menilai, budaya pamer tak lepas dari tradisi politik Indonesia yang memposisikan mereka sebagai kelompok elitis.

“Dalam konteks sekarang, kenapa banyak pejabat di Indonesia menunjukkan kehidupan yang lebih mewah dibandingkan masyarakat secara umum, itu karena secara tradisi mereka dianggap tokoh elitis. Bahkan fasilitas-fasilitas yang mereka terima memang lebih baik dibandingkan masyarakat umum,” kata Dedi kepada KBR, Selasa, (17/9/2025).

Menurut Dedi, fasilitas berlebih yang melekat pada jabatan pejabat justru menghilangkan kepekaan sosial.

“Kalau bicara etika politik, hal semacam ini jelas disayangkan. Tidak ada keseimbangan antara hasil kerja yang berdampak pada kesejahteraan rakyat, dan kemewahan yang mereka nikmati. Seolah-olah kesejahteraan hanya bertumpu pada mereka,” jelasnya.

Dedi menilai kondisi tersebut memicu kecemburuan sosial. Salah satu akar masalahnya ada pada sistem penghasilan pejabat.

“Mereka diberikan tunjangan berlebih, gaji pokok terpisah dari tunjangan, itu persoalan signifikan. Kalau penghasilan pejabat diatur wajar, tanpa tunjangan berlapis, mungkin gaya hidup mewah bisa berkurang,” ujarnya.

Ia mencontohkan, tidak semua pejabat perlu mendapat fasilitas pengawalan, mobil dinas, hingga rumah dinas.

“Seharusnya hanya pejabat betul-betul kelas atas yang mendapatkan pelayanan semacam itu. Anggota parlemen, baik di tingkat kota, provinsi, maupun pusat, tidak perlu mendapat keistimewaan berlebih,” kata Dedi.

Lebih jauh, Dedi mendorong negara memiliki komitmen jelas melalui regulasi yang membatasi kemewahan pejabat.

“Salah satunya dengan membuat aturan agar pendapatan pejabat hanya berupa gaji pokok, tanpa tunjangan lain dan fasilitas berlebih. Selama itu tidak dilakukan, pejabat akan terus merasa sebagai tokoh elitis, bukan pelayan masyarakat,” tegasnya.

red
Rapat Penanganan Inflasi Daerah di Kemendagri, Selasa, 2 September 2025. Tangkapan layar: YouTube Kemendagri
advertisement


LHKPN Belum Efektif

Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai lemahnya penegakan hukum membuat fenomena pamer kekayaan pejabat terus berulang. Peneliti ICW, Egi Primayogha menyebut, Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang ada saat ini belum efektif.

“Mestinya ada revisi UU Tipikor yang menambahkan pasal illicit enrichment. Jadi, ketika ada kekayaan pejabat meningkat drastis tanpa sumber yang jelas, penegak hukum bisa mengambil tindakan,” ujar Egi kepada KBR, Selasa, (17/9/2025).

ICW menekankan pentingnya langkah konkret dan serius dari aparat penegak hukum untuk menelusuri kekayaan para pejabat negara.

“Setelah itu lihat apakah ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi atau pencucian uang,” jelas Egi.

Ia mengingatkan, kekayaan melimpah pejabat seringkali tidak berdiri sendiri melainkan berasal dari hasil kejahatan.

"Ingat, kekayaan melimpah pejabat seringkali berasal dari hasil kejahatan," kata Egi.

red
Utusan Khusus Presiden bidang Pariwisata Zita Anjani. Foto: @cabinetcouture_idn
advertisement


Surat Edaran Larangan Pamer

Bicara soal aturan pelarangan pamer gaya hidup mewah, Pemkab Cirebon, Jawa Barat, telah mengeluarkan surat edaran bagi ASN di sana. Surat Edaran Nomor 100.3.4.2/25/BKPSDM tertanggal 10 September 2025 berisikan larangan bagi pelayan publik pamer kemewahan. 

Bupati Cirebon, Imron Rosyadi bilang, larangan ini tindak lanjut Instruksi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) tertanggal 2 September 2025. Selain itu sebagai upaya menegakkan integritas dan kesederhanaan di tengah krisis kepercayaan publik kepada aparatur pemerintah.

"Pejabat dan ASN memiliki tanggung jawab moral untuk memberikan teladan yang baik. Kita kan sering melihat di media sosial, bukan hanya pejabat yang pamer, tapi juga keluarganya," ujar Imron kepada wartawan, Minggu (14/9/2025).

Menurut Imron larangan itu untuk menjaga empati sosial di tengah masyarakat yang masih menghadapi berbagai tantangan ekonomi.

Tunda Seremonial

Sementara itu, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengingatkan para pejabat pemerintah agar hidup sederhana dan tidak memamerkan harta.

"Jangan sampai ada flexing kemewahan. Baik pejabat maupun keluarga. Tolong ingatkan keluarga masing-masing. Terutama cara berpakaian, kemudian penggunaan cincin, jam tangan, perhiasan, hati-hati kendaraan," kata Tito saat Rakor Inflasi Daerah di Kemendagri, Selasa, (2/9/2025), dikutip dari ANTARA.

Tito juga menginstruksikan para kepala daerah dan pejabat pemerintah menunda pelaksanaan semua jenis kegiatan yang bersifat seremonial, yang dapat menimbulkan kesan pemborosan dalam situasi sosial yang sedang kurang baik karena banyak warga menghadapi kesulitan ekonomi.

Tak Direspons

KBR telah berupaya menghubungi sejumlah pihak yang masuk unggahan @Cabinetcouture_idn seperti DPR RI Komisi IX, Rieke Diah Pitaloka dan Utusan Khusus Presiden bidang Pariwisata Zita Anjani. Namun, hingga berita ini tayang, belum ada respons dari yang bersangkutan.

Baca juga:

Flexing
@cabinetcouture_idn

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...