Dari jumlah itu, 13 persen di antaranya tidak mengakses layanan kesehatan.
Penulis: Ken Fitriani
Editor: Sindu

KBR, Yogyakarta- Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebut, sekitar dua persen masyarakat Indonesia terindikasi depresi berdasarkan survei 2023. Dari jumlah itu, 13 persen di antaranya tidak mengakses layanan kesehatan.
Direktur Pelayanan Kesehatan Kelompok Rentan Kementerian Kesehatan RI, dr. Imran Pambudi mengatakan, data Polri di tahun yang sama, kasus bunuh diri juga meningkat, yakni 1.350 kasus. Pada 2022, angkanya 826 kasus bunuh diri.
"Tetapi, 2024 naik menjadi 1.450 kasus. Itu adalah kasus-kasus yang dilaporkan. Dan mungkin saja ada beberapa kasus yang tidak dilaporkan," katanya dalam konferensi pers di sela Seminar Nasional bertajuk 'Sehat Mental di Era Digital' di Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (FKKMK UGM), Kamis, (9/10/2025).
Imran menjelaskan, kasus gangguan jiwa di Indonesia paling banyak adalah depresi, anxietas dan schizofrenia. Ketiga jenis gangguan jiwa ini menjadi masalah yang harus mendapatkan perhatian. Bahkan, schizofrenia di Indonesia masih lekat dengan pasung.
"Jadi, saat ini ternyata masih ada sekitar 1.750-an kasus pasung yang ada di Indonesia. Saya yakin harusnya lebih dari itu, karena itu yang terlaporkan. Biasanya pasung itu memang tidak mau dilaporkan atau ditemukan," jelasnya.
Imran mengungkapkan, kasus kesehatan jiwa ini perlu diperhatikan. Bukan hanya di daerah bencana saja, tetapi juga kasus kesehatan jiwa lainn, seperti yang disebabkan penggunaan internet dan media sosial.
Imran bilang, spektrum gangguan jiwa ini lebar, mulai dari gangguan jiwa ringan hingga berat meski kadang pengidap tidak merasa memiliki gejala.
"Tahunya nanti susah tidur, kemudian marah-marah. Kalau yang parah itu tadi, ya, schizofrenia itu punya halusinasi, punya paham sendiri," paparnya.
Internet dan Kesehatan Jiwa
Dalam kesempatan tersebut, Imran juga menyinggung penggunaan internet di kalangan anak. Katanya, beberapa tahun terakhir, pengguna internet dari kalangan anak berusia 7-17 tahun meningkat tajam. Bahkan, data di 2023 menunjukkan 75 persen anak Indonesia sudah mengakses internet.
"Masalah pun muncul di sini, di mana seharusnya anak belum bisa terpapar internet terlalu intens," lanjut Imran.
“Tingkat keterpaparan internet anak Indonesia itu sudah sangat tinggi. Bahkan 85 persen dari mereka yang tidak sekolah sudah mengakses internet. Artinya kita sekarang bukan kekurangan informasi, tetapi kelebihan informasi. Tetapi, kita tidak tahu mana yang benar mana yang salah, mana yang perlu mana yang tidak,” imbuh Imran.
Imran mengungkapkan, kemudahan mengakses internet ini bisa menyebabkan timbulnya kecemasan bagi penggunanya. Menurutnya, banyak pengguna internet yang merasa insecure dengan orang lain yang lebih menarik dari dirinya.
"Itu yang membuat kita stres sendiri. Orang itu kok cantik, orang kok kaya, lihatnya di internet. Jadi, itu membuat stressful sendiri padahal itu enggak usah dipikirin. Itu beberapa hal yang saya kira berhubungan antara internet dan masalah kesehatan jiwa," tandasnya.

Penggunaan Internet
Ketua Kolegium Psikologi Klinis, Indria Laksmi Gamayanti menambahkan, secara internasional sudah ada peringatan bahwa anak di bawah 2 tahun tidak boleh terpapar audio-visual electronic devices.
Kemudian anak di bawah 12 tahun secara kumulatif diperbolehkan mengakses internet maksimal dua jam per hari.
“Itu yang sehat. Mereka masih sangat perlu diberikan aktivitas-aktivitas, permainan-permainan-permainan yang mereka bisa lakukan secara langsung,” katanya.
Terkait hal tersebut, Gama menegaskan, perlunya peran aktif orang tua dan guru di sekolah untuk membatasi penggunaan internet di kalangan anak-anak. Menjadi tugas penting untuk mengedukasi orang dewasa bagaimana agar anak tidak terlalu sering terpapar internet.
“Tetapi, keterlibatan seluruh pihak diperlukan. Kita mengimbau sekolah-sekolah dan orang tua mengajarkan kepada anak cara penggunaan media secara sehat. Sekarang ini cukup banyak, anak-anak kecil sudah dipegangi handphone. Anak sekolah tidak dipungkiri diberi tugas-tugas yang harus eksplor internet. Ini kalau bisa jangan sampai membuat anak SD berlebihan akses internet,” ujarnya.
Tak hanya menyerang anak-anak, dampak penggunaan internet secara intensif juga dirasakan orang dewasa.
Beberapa waktu belakangan ini, pengguna media sosial meningkat tajam di kalangan orang dewasa. Tak sedikit dari mereka yang terjerat pinjaman dan judi online karena mudahnya mengakses keduanya.
Akibat kecanduan internet, pasien yang mendatangi tenaga medis profesional mengeluhkan kurangnya nafsu makan, sulit tidur, enggan keluar rumah, hingga berhalusinasi.
"Rata-rata ada akar permasalahannya, sehingga tenaga medis perlu mengetahui asal muasal bagaimana seseorang bisa kecanduan internet," ungkap Gama.
Untuk mengatasi pasien dengan masalah tersebut, medis mengawali dengan prevensi, kurasi, hingga tindakan rehabilitasi. Selain itu juga dilakukan assessment untuk melihat kondisi pasien jika diperlukan konseling psikoterapi agar kemudian dapat ditangani psikolog klinis.
“Yang dilakukan kita perlu mengatasi perilaku-perilaku dengan behaviour therapy, tetapi juga perlu mundur ke belakang untuk cari akar permasalahannya apa. Karena kalau tidak dorongan ke sana terus tinggi. Karena terkadang untuk mengatasi kecemasan pelariannya ke digital. Kalau yang bersangkutan ada dalam kondisi perlu obat-obatan tentu diperlukan psikiater,” imbuh Gama.
Tentang Kesehatan Mental
Menurut World Health Organization (WHO), kesehatan mental adalah kondisi kesejahteraan di mana individu mampu menyadari potensinya, mengatasi tekanan hidup, bekerja produktif, dan berkontribusi bagi komunitasnya. Namun, stigma sosial, minimnya akses layanan, serta rendahnya literasi kesehatan mental membuat isu ini kerap terabaikan.
Data nasional menunjukkan sekitar 30 persen dari 280 juta penduduk Indonesia mengalami gangguan kesehatan mental. Hasil Indonesia–National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) mengungkap bahwa 5,5 persen remaja (10–17 tahun) atau sekitar 2,45 juta anak telah terdiagnosis memiliki gangguan mental.
Tekanan akademik, paparan media sosial, kekerasan dalam keluarga, serta dampak pandemi COVID-19 menjadi faktor utama yang memperburuk kondisi ini.
Riset Universitas Indonesia dan Universitas Padjadjaran pada 2021 menunjukkan, 96,4 persen remaja tidak memahami cara mengelola stres akibat masalah yang mereka hadapi.

Mendiagnosis Diri Sendiri
Program Officer ASIK, Pusat Rehabilitasi YAKKUM, Muhammad Rafli menyampaikan, bicara kesehatan mental adalah bicara versi terbaik dari diri kita yang penting untuk diperhatikan. Di YAKKUM, ada Program ASIK yang berfokus di upaya preventif dan promotif dengan melihat tren yang terjadi pada anak muda.
"Salah satunya kurangnya ruang diskusi dan saling mendengarkan di tingkat sekolah dan mahasiswa. Upaya itu yang coba kami fasilitasi melalui program ASIK. Ada tren anak muda melakukan self diagnose. Nah, ini juga yang kita coba pelan-pelan edukasi untuk teman-teman ketika mereka merasa tidak baik-baik saja, banyak ruang-ruang untuk mereka bisa akses ke psikolog di puskesmas misalnya,” katanya di sela acara 'Kesehatan Mental bagi Generasi Muda: Akses, Kesadaran, dan Harapan', di Kompleks Kepatihan Yogyakarta, Kamis, (9/10/2025).
"Teman-teman muda cuma butuh diedukasi, dan didekati. Ketika mereka sudah terbuka untuk cerita, kasus itu bisa kita hilangkan."
Rafli menjelaskan, hilangnya ruang untuk anak muda dalam berkomunikasi dengan sekitarnya ini juga lekat dengan budaya. Banyak anak muda yang harus ditanya terlebih dahulu sebelum bercerita tentang apa yang dirasakan. Misalnya, anak muda laki-laki yang menanyakan kabar ke temannya sesama laki-laki ini belum menjadi sebuah kebiasaan.
"Anak muda sekarang itu trennya mereka harus banyak ditanya sebelum mereka bercerita. Jadi, budaya cowok untuk menanyakan kabarnya, budaya untuk menanyakan kabar hari ini itu yang harus dimulai dari sekarang. Kami lihat di teman-teman muda itu belum familiar dan dijadikan satu kebiasaan baik di sekolah maupun di lingkungannya," jelasnya.
Salah Satu Upaya
Staf Ahli Gubernur DIY bidang Hukum, Pemerintahan dan Politik, Sukamto menjelaskan, kegiatan yang diinisiasi Yakkum dan berkolaborasi dengan pemerintah serta akademisi ini upaya mendukung pengentasan masalah Orang Dengan Gangguan Psikologi (ODGP) yang disebabkan ekonomi, sosial dan lainnya di DIY.
"Dan di masyarakat sudah dibentuk pendamping. Jadi, ada yang penanganannya itu melalui instansi pemerintah, tetapi ada juga yang secara mandiri dilakukan oleh masyarakat. Saya kira dengan kolaborasi antara pemerintah, swasta dan masyarakat, Insya Allah masalah kesehatan jiwa ini bisa teratasi," ujarnya.
Sukamto mengungkapkan, langkah yang akan dilakukan Pemda DIY dalam mengatasi masalah kesehatan jiwa ini salah satunya dengan beberapa upaya. Diantarnya dengan sosialisasi, kunjungan dan rehabilitasi.
"Seperti yang ada di RSJ Grasia dan Dinas Sosial yang menggandeng mita," ungkapnya.
Di wilayah DIY, ada salah satu kabupaten yang memiliki angka kematian tinggi akibat bunuh diri.
"Jangan sampai terbawa stigma, stigma bahwa di DIY di daerah tertentu itu sering terjadi kasus. Enggak ada. Kita berupaya, berusaha lebih keras insyaallah akan teratasi, sekali lagi jangan dibawa stigma," paparnya.

Jenis-Jenis Gangguan Mental
Mengutip Kemkes.go.id, kesehatan mental tak bisa dianggap remeh, meski tak menyebabkan kematian langsung, kondisi itu bisa berdampak buruk bagi kesehatan.
Lalu, apa yang disebut kesehatan mental? Yakni, kondisi di mana seseorang dapat berkembang maksimal secara fisik, sosial, dan spiritual, sadar akan kemampuan sendiri, mampu mengatasi tekanan dan bekerja produktif, serta bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya.
Lantas, apa saja ciri-ciri gangguan mental yang dialami seseorang?
Depresi
Gangguan kesehatan mental yang menyebabkan seseorang merasa sedih dalam waktu lama dan kehilangan minat pada aktivitas sehari-hari yang biasa dilakukan Kondisi ini dapat berlangsung berminggu-minggu hingga berbulan-bulan.
Depresi seringkali dianggap sebagai gejala stres biasa. Namun, mengidentifikasi gejala depresi pada tahap awal dapat memungkinkan penanganan dan dukungan yang diperlukan.
Tanda-tanda depresi:
- Sedih dan gelisah.
- Kehilangan energi dan semangat
- Hilang keinginan untuk makan.
- Sulit untuk tidur atau sebaliknya terlalu banyak tidur.
- Merasa tidak berguna dan pesimis.
- Sulit untuk fokus dan membuat keputusan.
- Gelisah dan tidak stabil.
- Merasa sedih dan bersalah
- Memiliki pikiran yang menyakiti atau bunuh diri
- Gangguan fisik, seperti sakit punggung dan sakit kepala
Faktor-faktor berikut dapat menyebabkan depresi:
- Mengalami peristiwa traumatis, seperti kehilangan orang yang dicintai, kekerasan, kebangkrutan, atau kehilangan pekerjaan dan pendapatan.
- Riwayat penyakit mental dalam keluarga.
- Penyalahgunaan obat terlarang atau alkohol, atau konsumsi obat berlebihan.
- Mengalami penyakit jangka panjang yang menantang untuk disembuhkan, seperti kanker, HIV/AIDS, penyakit jantung, atau cacat tubuh.
- Lemah dan tidak mandiri, dan terlalu keras menilai diri sendiri.
Jika Anda mengalami gejala depresi, hindari mendiagnosis diri sendiri. Cari bantuan dokter atau psikiater segera. Dokter akan menentukan penyebab dan gejala depresi melalui pemeriksaan fisik dan psikologis, wawancara medis, dan pemeriksaan darah, jika diperlukan.

Gangguan Kecemasan
Sebenarnya, merasa cemas adalah hal yang normal, seperti saat menghadapi wawancara kerja, ujian sekolah, atau mengambil keputusan penting.
Namun, penderitanya akan mengalami gangguan kecemasan atau gangguan kecemasan ketika mereka merespon situasi atau hal-hal dengan perasaan takut, cemas, dan khawatir yang berlebihan, bahkan tanpa alasan yang jelas.
Gangguan kecemasan ini dapat berlangsung lama, sehingga mengganggu kemampuan penderitanya untuk beraktivitas sehari-hari dan kualitas hidupnya.
Beberapa kategori kecemasan;
GAD adalah jenis gangguan mental yang menyebabkan perasaan cemas yang berlebihan, sulit dikendalikan, dan berlarut-larut.
Gangguan kecemasan sosial (GAK) adalah ketika seseorang merasa khawatir akan dihakimi, diejek, atau malu saat berada di hadapan orang lain dalam situasi sosial dan keramaian.
Fobia adalah rasa takut dan ketakutan yang berlebihan yang disebabkan oleh sesuatu, seperti tempat yang tertutup (agoraphobia), atau peristiwa masa lalu.
Serangan panik adalah gangguan mental yang terjadi secara tiba-tiba, tanpa gejala sebelumnya, dan dapat terjadi berkali-kali.
Walaupun gejalanya berbeda-beda, orang dengan gangguan kecemasan mungkin mengalami beberapa gejala berikut:
Gejala Psikologis:
- Gelisah, gelisah, dan sulit untuk tenang
- Sulit untuk fokus atau mudah terganggu.
- Memiliki masalah tidur.
Gejala Fisik:
- Sakit kepala, nyeri otot, atau masalah dengan pencernaan
- Lelah berlebihan.
- Napas tidak lancar atau sesak napas.
- Mual.
- Otot bergetar atau tegang
- Keringat dingin
- Jantung berdebar
Penyebabnya beragam, antara lain:
Neurotransmitter adalah senyawa kimia yang ada di otak yang tidak seimbang, serta hormon seperti serotonin, dopamin, atau norepinephrine.
Kelainan otak yang menyebabkan aktivitas amygdala meningkat, bagian otak yang menangani rasa takut dan cemas.
Faktor genetika yang meningkatkan kemungkinan terkena gangguan kecemasan
Stres atau trauma yang berlangsung lama dapat mengubah neurotransmitter yang mengontrol suasana hati, yang dapat menyebabkan gangguan kecemasan.
Segera lakukan pemeriksaan dan berkonsultasi dengan dokter atau psikiater jika Anda mengalami gejala kecemasan.
Gangguan Bipolar
Adalah gangguan mental yang ditandai perubahan suasana hati yang drastis, misalnya, dari sangat gembira menjadi sangat sedih.
Perubahan suasana hati yang drastis ini dapat memengaruhi perilaku, tingkat energi, dan kemampuan berpikir penderitanya untuk jangka waktu yang cukup lama. Akibatnya, ini dapat menyebabkan penderitanya kesulitan melakukan aktivitas sehari-harinya.
Secara umum, gejala bipolar dapat dibagi ke dalam dua tahap: fase mania dan fase depresi.

Fase Mania:
Ciri utama gangguan bipolar I adalah penderitanya mengalami episode suasana hati yang sangat ceria dan menyenangkan sekaligus sensitif dan mudah tersinggung.
Orang yang sedang dalam keadaan mania dapat melakukan hal-hal yang dapat membahayakan mereka secara fisik, sosial, dan finansial, seperti boros, berjudi, atau mengendarai mobil secara tidak sengaja.
Salah satu gejala mania lain adalah pikirannya bergerak cepat dan dia merasa bisa melakukan banyak hal sekaligus, berbicara dengan sangat cepat, atau dia merasa sangat berbakat, penting, atau kuat.
Fase Depresi:
Pada fase ini, penderita bipolar dapat mengalami gejala-gejala seperti yang dialami oleh penderita depresi, seperti kelelahan, perasaan hampa dan sangat sedih, kehilangan nafsu makan, dan merasa tidak berharga dan tidak berminat melakukan aktivitas sehari-hari.
Selain kedua fase ini, penderita bipolar kadang-kadang mengalami euthymia, kondisi suasana hati normal.
Penyebab gangguan bipolar beragam, mulai dari perubahan dalam aktivitas dan ukuran otak hingga trauma dan stres yang berlebihan.
Terapi dan pengobatan yang tepat untuk gangguan bipolar dapat membantu mengatasi gejala, meskipun gangguan bipolar adalah kondisi yang berlangsung seumur hidup dan tidak dapat sembuh seutuhnya.
Sekilas tentang Hari Kesehatan Mental Sedunia
Hari Kesehatan Mental Sedunia dirayakan saban 10 Oktober. Sosok yang pertama kali mencetuskan adalah Wakil Sekretaris Jenderal Asosiasi Kesehatan Mental Dunia, Rich Hunter pada 1992.
Latar belakangnya lantaran masalah kesehatan mental yang tak ditangani dengan baik. Kurangnya pemahaman masyarakat tentang kesehatan mental jadi salah satu faktor buruknya penanganan.
Penetapan Hari Kesehatan Mental Sedunia diharapkan mampu memberikan kesempatan masyarakat membuka percakapan tentang kesehatan mental dengan terbuka. Meningkatkan kesadaran terhadap kesehatan mental secara global.
Selain itu, demi kolaborasi dan dukungan demi menciptakan perubahan positif dalam perawatan kesehatan jiwa di seluruh dunia.
Tahun ini, WHO mengangkat tema "Mental Health In Humanitarian Emergencies". Fokusnya pada kebutuhan mendesak untuk mendukung kesehatan mental dan kebutuhan psikososial masyarakat terdampak darurat kemanusiaan.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Mengutip klinik.ub.ac.id, ada sejumlah hal yang bisa dilakukan untuk merayakan Hari Kesehatan Mental, antara lain:
Periksa Kesehatan Mental. Meluangkan waktu untuk merenungkan tentang kesehatan mental sendiri. Jika diperlukan, pertimbangkan untuk bicara dengan profesional.
Berbicara tentang Kesehatan Mental. Jadikan lingkungan sekitar mendukung diskusi tentang Kesehatan Mental.
Dukung orang lain yang sedang berjuang dengan kesehatan mental mereka.
Perdalam pemahaman personal tentang Kesehatan Mental dengan mengikuti webinar, baca buku, dan lain sebagainya.
Baca juga: