Anggaran reses wakil rakyat naik Rp702 juta per anggota.
Penulis: Dita Alyaaulia, Naomi Lyandra
Editor: Sindu

Jakarta, KBR— Minimnya transparansi dan akuntabilitas penggunaan dana reses DPR menuai kritik berbagai pihak. Apalagi, belum lama ini anggaran reses wakil rakyat naik Rp702 juta per anggota. Sebelum naik, besarannya Rp400 juta per anggota.
Reses yang seharusnya menjadi sarana menyerap aspirasi publik dinilai berubah menjadi ruang tambahan pendapatan bagi anggota dewan. Makna reses bergeser jauh dari kepentingan rakyat.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut, sampai saat ini publik tidak pernah mengetahui secara pasti berapa besar dana reses yang diterima setiap anggota DPR maupun bagaimana penggunaannya.
Staf Divisi Korupsi Politik ICW, Yassar Aulia, mengatakan lembaganya sudah sejak lama dan telah mengajukan permohonan informasi ke DPR pada Agustus 2025.
“Ini selalu jadi concern kami di ICW soal penggunaan dana reses. Makanya di Agustus kemarin kami melayangkan permohonan informasi ke DPR. Di tengah keributan soal kenaikan tunjangan dan ada tunjangan soal pengganti rumah tinggal, itu kami juga melayangkan permohonan informasi terkait dengan penggunaan dana reses,” ujar Yassar kepada KBR Senin, (13/10/2025).
Permintaan informasi itu bertujuan agar masyarakat mengetahui secara terbuka jumlah dan penggunaan dana reses. Namun, hingga kini tidak ada satu pun dokumen resmi yang diberikan DPR.
“Kami meminta kejelasan jumlah anggarannya itu berapa, karena selama ini informasinya selalu simpang siur dan munculnya dari mulut ke mulut anggota. Tetapi, kami enggak pernah melihat ada dokumen resmi yang mencantumkan berapa besaran dana reses DPR dan bagaimana pertanggungjawabannya. Laporan pertanggung jawabannya tidak pernah terbuka ke publik,” katanya.
Penolakan DPR terhadap permintaan informasi itu dinilai tidak memiliki dasar hukum yang kuat. ICW menilai alasan laporan masih diaudit BPK justru menunjukkan lemahnya komitmen DPR terhadap transparansi publik.
“Padahal kalau kita mengacu Undang-Undang Keterbukaan Informasi di Pasal 11 dan di Pasal 9, informasi terkait laporan keuangan maupun dengan keputusan-keputusan yang diambil, termasuk dengan pertimbangannya, harusnya dibuka ke masyarakat,” tegasnya.
Yassar memperingatkan, ketertutupan ini menciptakan peluang besar terjadinya penyimpangan, karena publik tidak pernah tahu apakah reses benar dilakukan atau tidak.
“Selama ruang gelap itu tidak pernah dibuka ke publik, potensi-potensi penyimpangan atau dugaan-dugaan pelanggaran akan selalu ada. Utamanya soal kita enggak pernah tahu apakah reses itu sudah benar-benar dilaksanakan atau tidak, di saat uangnya mungkin sudah ditransfer atau sudah dipegang oleh masing-masing anggota yang jumlahnya sangat fantastis,” ungkap Yassar.

Miliaran Rupiah per Anggota
Hasil pemantauan ICW terhadap dokumen anggaran pemerintah menunjukkan, setiap anggota DPR bisa menerima dana reses hingga miliaran rupiah per tahun. Angka itu diperoleh dari pembagian total pagu dana untuk kunjungan kerja dan masa reses yang tercantum dalam DIPA Kementerian Keuangan 2025.
“Itu kan ada beberapa komponen yang bicara soal kunjungan kerja dan masa reses, ya. Itu kalau di rata-rata bisa dua sampai empat miliar per tahun untuk tiap anggota,” jelas Yassar.
Selain itu, ICW membenarkan ada kenaikan signifikan dana reses yang diakui langsung pimpinan DPR.
“Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco sudah mengakui memang ada kenaikan dana reses jadi 702 juta per orang, yang sebelumnya sekitar 400 juta di periode 2019–2024. Jadi, saya rasa informasinya cukup valid,” ujarnya.
Menurut Yassar, kenaikan itu menunjukkan ketidakpekaan DPR terhadap kondisi fiskal nasional.
“Ini tidak urgent. Dan di saat ada kebijakan secara masif untuk sektor-sektor publik dari pemerintah untuk melakukan pemangkasan anggaran dan efisiensi, rasanya belum maksimal alokasi anggarannya jika malah digunakan untuk penggunaan dana reses,” kata Yassar.

Sistem Tertutup jadi Celah Korupsi
Pandangan senada disampaikan Lucius Karus, peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi). Ia menyebut, sistem pengelolaan dana reses DPR saat ini sangat tertutup dan jauh dari prinsip akuntabilitas.
“Soal transparansi dan akuntabilitas itu yang jadi soal di DPD maupun DPR terkait dengan penggunaan dana reses. Dan segala sesuatu atau tata kelola yang kemudian tertutup, tidak transparan dan tidak akuntabel itu jadi celah untuk korupsi,” kata Lucius kepada KBR Senin, (13/10/2025).
Lucius menjelaskan, pola pencairan dana reses dilakukan secara lumpsum, yaitu digelontorkan sekaligus tanpa mekanisme pelaporan publik yang ketat. Akibatnya, uang negara yang diterima anggota DPR menjadi sulit dilacak penggunaannya.
“Praktiknya sekarang itu kan reses di DPR khususnya memang sangat tertutup. Kita tidak bisa menemukan di mana laporan reses itu disampaikan secara terbuka. Penggunaan uangnya juga tidak pernah secara transparan dilaporkan. Karena model pencairan uang untuk reses itu kan lumpsum, jadi sekali kasih gelondongan tanpa kemudian ada keharusan untuk melaporkan sesuai prinsip akuntansi,” jelasnya.
Lucius menegaskan, dengan sistem tersebut, anggota DPR bisa menggunakan dana reses tanpa beban pertanggungjawaban.
“Begitu diterima, ya, dana itu sudah dalam kekuasaan anggota untuk kemudian menggunakannya tanpa harus dibebani keharusan melaporkan kembali penggunaan dana itu ke DPR,” tegas Lucius.
Kenaikan Tak Masuk Akal
Formappi menilai, kenaikan dana reses menjadi lebih dari Rp700 juta per anggota tidak memiliki alasan masuk akal. Keputusan itu justru memperburuk situasi karena dilakukan di tengah sistem keuangan yang tidak transparan.
“Dengan tata kelola yang buruk seperti yang kita katakan tadi bahwa tata kelolanya tertutup, tidak transparan, tidak akuntabel. Kenaikan anggaran ini rasanya seperti pencairan yang dilegalkan,” ujar Lucius.
Ia bahkan menyebut, kebijakan ini seperti bentuk sokongan terselubung bagi anggota DPR.
“Jadi, kenaikan anggaran ini serasa menjadi dalam tanda petik semacam sokongan gitu ya untuk anggota DPR. Dan ini jelas-jelas bisa dianggap sebagai upaya untuk menambah pundi-pundi pendapatan anggota,” katanya.
Laporan Hanya Diserahkan ke Fraksi
Lucius menjelaskan, laporan penggunaan dana reses selama ini tidak pernah dipublikasikan ke publik, melainkan hanya diserahkan kepada fraksi di DPR. Menurutnya, mekanisme ini keliru, karena fraksi merupakan alat partai politik, bukan lembaga negara.
“Bukan cuma banyak, hampir semuanya laporan reses itu tidak ada yang dipublikasikan. Karena itu dia mekanisme pelaporannya itu ditujukan ke fraksi. Padahal fraksi itu kan alatnya partai politik di DPR,” ujarnya.
Ia menegaskan, karena dana reses bersumber dari APBN, seharusnya laporan diserahkan ke lembaga DPR sebagai institusi negara dan dapat diakses publik.
“Harusnya karena ini dana negara, ini juga kegiatan DPR. Kegiatan itu dilaporkan ke DPR sebagai lembaga, dan DPR sebagai lembaga yang kemudian menentukan publikasi informasi terkait kegiatan reses itu. Dan itu harus dikatakan sebagai data terbuka,” tegas Lucius.
Pola Lama
ICW menemukan indikasi penyalahgunaan dana reses dalam berbagai bentuk, mulai dari kegiatan yang tidak dilakukan hingga kampanye terselubung menggunakan uang negara.
“Ada indikasi kegiatannya tidak dilakukan atau tidak sebanyak yang dianggarkan. Misalkan setahun itu kan reses bisa 4–5 kali. Jadi, karena uangnya itu ditransfer bersifat lumpsum atau gelondongan, bisa saja anggota itu menggunakan anggarannya hanya untuk misalnya 3 kali reses, padahal seharusnya 4–5 kali,” ungkap Yassar.
“Jadi, di daerah-daerah pemilihan yang dia tahu suaranya kurang masif, dia malah menggunakan dana reses untuk mencetak merchandise atau bahan-bahan kampanye secara terselubung,” lanjutnya.

Ubah Sistem dan Terapkan Audit Terbuka
Sebagai solusi, Formappi mendesak tata kelola dana reses diubah sepenuhnya. Lucius menilai pola pencairan lumpsum harus diganti sistem berbasis program yang mengharuskan pelaporan rinci setelah kegiatan selesai.
“Harus diubah aturannya yang selama ini anggaran atau tunjangan reses itu diberikan secara lumpsum, ke depannya metode itu harus diubah. Jadi, anggota DPR itu mengajukan program untuk resesnya itu beserta dengan biaya yang dibutuhkan tentu saja setelah kegiatan selesai harus ada laporan secara rigid terkait penggunaan uang,” kata Lucius.
Ia menambahkan, jika terdapat sisa dana, seharusnya dikembalikan ke kas negara, bukan menjadi tambahan keuntungan pribadi.
“Kalau uangnya itu ada sisa harus dikembalikan kepada negara. Jadi, saya kira tata kelola reses itu yang harus diubah, harus diarahkan untuk terbuka dan akuntabel,” jelasnya.
Lucius juga menekankan pentingnya audit independen agar publik bisa menilai apakah penggunaan dana sesuai aturan.
“Harus ada aturan yang tegas untuk mengikat anggota DPR agar dana yang diperuntukkan untuk reses itu benar-benar digunakan reses. Karena itu perlu ada publikasi terbuka terkait kegiatan yang dilakukan anggota, lalu laporan keuangan yang kredibel, misalnya melibatkan auditor untuk menguji apakah uang yang digunakan itu tepat atau tidak,” pungkasnya.
Harus Kembali ke Tujuan Awal
Baik ICW maupun Formappi sepakat dana reses seharusnya tidak sekadar formalitas atau ruang tambahan pendapatan bagi anggota dewan.
Menurut ICW, kegiatan reses seharusnya menjadi momen anggota DPR mendengarkan persoalan masyarakat secara langsung, bukan hanya melaporkan kegiatan seremonial. Namun, praktik yang terjadi selama ini sering kali tidak menggambarkan fungsi tersebut secara ideal.
“Yang penting dari melakukan reses itu kan esensinya dia adalah fungsi-fungsi yang harus diimbangi oleh anggota legislatif untuk betul-betul menyerap keinginan dari masyarakat yang berada dalam dapilnya,” kata Yassar.
Sementara itu, Peneliti Formappi Lucius Karus menilai, reses semestinya menjadi jantung kehidupan parlemen. Ia menekankan, reses yang dijalankan dengan benar akan memperkuat hubungan wakil rakyat dengan konstituennya dan memastikan aspirasi publik benar-benar diperjuangkan di lembaga legislatif.
“Karena dengan reses ini dia kemudian diharapkan bisa menjalin hubungan yang intens dengan konstituennya,” ujarnya.
Namun, Lucius menyesalkan, praktik di lapangan justru berbanding terbalik. Ia melihat banyak anggota DPR memperlakukan reses bukan sebagai kewajiban politik, melainkan sebagai kesempatan untuk memperbesar keuntungan finansial pribadi.
“Anggota DPR memperlakukan reses ini sebagai instrumen untuk mendapatkan tambahan pendapatan dengan mengajukan usulan anggaran yang fantastis dan tata kelola penyelenggaraan reses yang tertutup,” tutup Lucius.

Produk Legislasi
Sementara itu, Jumisih, Staf Advokasi JALA PRT, menyebut kenaikan dana reses DPR sebagai hal yang miris karena kontras dengan lambatnya pembahasan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT).
“Karena RUU PPRT sampai hari ini itu belum selesai pembahasannya dan kemudian ketendang masa reses dan reses menggunakan dana yang cukup besar, hampir dua kali lipat, ya,” ujar Jumisih dalam siaran Ruang Publik KBR, Selasa, (14/10/25).
Menurut Jumisih, UU PPRT sebenarnya sudah hampir selesai.
“RUU PPRT itu tinggal beberapa pasal yang dia ke-pending gitu, dan itu sebetulnya sudah cukup bisa terjawab dengan yang kemarin dilakukan. Terus kalau sekarang pihak Mbak Puan menyampaikan ini perlu dikaji kembali, ini sangat-sangat mengecewakan untuk kami,” tegasnya.
Jumisih juga mengatakan DPR tidak benar-benar menyerap aspirasi dari kalangan akar rumput.
“Kami bahkan PRT-PRT enggak pernah ditanya sama anggota dewan pada saat mereka reses. Jadi, sebetulnya ke mana arah dari dana yang jumlahnya sangat fantastis itu?” katanya.
Ia menilai dana besar yang digelontorkan untuk reses tidak sebanding dengan kinerja legislasi DPR.
“Dana yang besar tapi kinerjanya tidak sesuai dengan harapan publik untuk menghasilkan legislasi yang dibutuhkan rakyat, itu sebetulnya DPR sedang memperburuk citranya sendiri di hadapan masyarakat”, ujarnya.

Sikap DPR
Redaksi KBR telah berupaya menghubungi sejumlah anggota DPR dari berbagai fraksi sejak pekan lalu untuk meminta konfirmasi dan tanggapan mereka terkait isu kenaikan dana reses ini, namun hingga berita ini diturunkan belum ada yang memberikan respons.
Namun, mengutip ANTARA, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menegaskan perlunya sistem pelaporan terbuka bagi kegiatan reses anggota dewan agar publik dapat memantau langsung penggunaan anggaran. Hal itu disampaikan Dasco menanggapi sorotan publik terkait kenaikan dana reses DPR yang mencapai Rp702 juta per anggota.
“Jadi kalau masyarakat ingin buka, ketik misalnya tinggal Sufmi Dasco, gitu. Jadi tinggal buka, dilihat,” kata Dasco di Jakarta, Senin, (13/10/2025).
Ia mengklaim, dalam kunjungan reses, anggota DPR sering menghadapi berbagai kebutuhan mendadak di lapangan.
“Dalam kunjungan aspirasi kadang-kadang juga itu ditembak di lapangan, misalnya jalan desa atau kampung harus diperbaiki, perlu tenda untuk orang meninggal, gitu-gitu. Kadang-kadang anggota DPR ini, ya, bisa juga nombok,” ujar Dasco.
Mengutip laman JDIH DPR RI, Ketua DPR Puan Maharani menyebut, masa reses yang berlangsung 26 Maret–16 April 2025 sebagai waktu bagi anggota dewan untuk turun ke daerah pemilihan, menyerap aspirasi rakyat, dan melaporkan kinerja konstitusionalnya. Puan menegaskan, reses bukan masa jeda, melainkan bentuk tanggung jawab politik wakil rakyat di lapangan.
Baca juga: