Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) menilai putusan MK memberikan ruang bagi perempuan untuk berperan di posisi strategis, termasuk di komisi yang selama ini tidak identik dengan isu perempuan.
Penulis: Naomi Lyandra
Editor: Resky Novianto

KBR, Jakarta- Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menegaskan kewajiban terhadap keterwakilan perempuan minimal 30 persen dalam Alat Kelengkapan Dewan (AKD) di DPR perlu ditindaklanjuti.
Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Mike Verawati Tangka yang juga merupakan salah satu pemohon perkara di MK menekankan putusan ini bukan sekadar soal jumlah. Sebab, ada momentum parlemen untuk melakukan pembangunan yang inklusif dan berkeadilan gender.
“Ini adalah pintu masuk untuk lebih memperkuat parlemen agar terus berkomitmen. Ini bukan soal angka semata, tetapi bagaimana memperkuat struktur dan ekosistem agar perempuan bisa benar-benar berkontribusi menghasilkan kebijakan yang berkualitas,” ujar Mike dalam Diskusi Ruang Publik KBR, Selasa (4/11/2025).
Menurutnya, putusan MK yang final dan mengikat memberikan ruang bagi perempuan untuk berperan di posisi-posisi strategis, termasuk di komisi-komisi yang selama ini dianggap tidak identik dengan isu perempuan.
“Lebih penting lagi bukan pada posisi-posisi yang selama ini dianggap menjadi ranahnya isu perempuan. Komisi I, Komisi II, komisi-komisi yang selama ini mungkin dianggap isu yang tidak didekatkan oleh perempuan ini penting untuk diberi ruang,” terangnya.
Mike menambahkan keberadaan perempuan di posisi pimpinan akan membawa perspektif berbeda dalam pengambilan kebijakan publik. Itu sebab, diperlukan segera perombakan untuk merespons putusan MK tersebut.
“Ketika kebijakan ini tidak di balancing dengan keragaman pengetahuan dan pengalaman antara perempuan dan laki-laki, hasil kebijakannya juga tidak akan melihat dari sisi yang holistik. Karena itu penting perempuan hadir bukan hanya sebagai anggota, tetapi sebagai pemberi masukan utama,” terang Mike.
“Bagaimana prinsip affirmative action kuota minimal 30% itu menjadi hal yang betul-betul diseriusi dan tentunya merasa lega,” tambahnya.

Perkuat Prinsip Kesetaraan dan Keadilan Gender
Anggota Komisi VIII DPR RI Fraksi PDIP, Selly Andriany Gantina menilai putusan MK soal keterwakilan perempuan dalam AKD, merupakan langkah penting untuk memperkuat prinsip kesetaraan dan keadilan gender di lembaga legislatif.
“Ini bukan saja sekedar representasi numerik, tetapi juga memastikan perspektif perempuan dalam setiap proses pengambilan keputusan,” ujar Selly dalam siaran Ruang Publik KBR, Selasa (4/11/25).
Menurut Selly, keterwakilan perempuan di DPR periode saat ini memang sudah meningkat dibandingkan periode sebelumnya. Namun, ia mengakui masih ada ruang perubahan yang bisa dilakukan, termasuk di komisinya yang membidangi isu perempuan dan anak.
“Kalau berbicara di Komisi VIII memang sangat disayangkan, kalau di beberapa media yang menyayangkan bahwa ada Kementerian Pemberdayaan Perempuan, tetapi kenapa justru pimpinannya tidak ada perempuan,” tambahnya.
DPR Berjanji Bakal Menindaklanjuti Putusan MK
Ketua DPR RI Puan Maharani memastikan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal keterwakilan perempuan di susunan keanggotaan maupun pimpinan di DPR, akan ditindaklanjuti.
Menurutnya, Pimpinan DPR akan berdiskusi dengan setiap perwakilan fraksi guna merumuskan teknis pelaksanaan putusan MK tersebut di setiap komisi.
"DPR-RI tentu menghormati keputusan MK yang secara konstitusional bersifat final dan mengikat," kata Puan di Jakarta, Jumat (31/10/2025) dikutip dari ANTARA.
Berapa Jumlah Keterwakilan Perempuan di Parlemen dan AKD?
Mengutip dari laman resmi DPR RI, tingkat keterwakilan perempuan di DPR RI periode 2024–2029 mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah, yaitu sekitar 21,9 persen atau sebanyak 127 dari 580 anggota DPR.
Angka ini naik tipis dibandingkan dalam pada 2019-2024 jumlah perempuan menduduki 120 kursi dalam lembaga DPR RI.

Perempuan Pimpinan AKD masih Minim
Mengutip dari ANTARA, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi mengapresiasi adanya tren kenaikan keterwakilan perempuan di parlemen.
Namun, pihaknya menyoroti pembentukan Alat Kelengkapan Dewan (AKD) DPRI yang terdiri dari 13 komisi dan 7 badan. Dalam periode 2019-2024 hanya 11 dari 87 pimpinan AKD yang merupakan legislator perempuan. Namun pada periode 2024-2029 keterwakilan perempuan meningkat menjadi 14 dari 70 pimpinan DPR dan komisi, serta 7 dari 35 pimpinan badan.
AKD itu meliputi Badan Musyawarah (Bamus), komisi, Badan Legislasi (Baleg), Badan Anggaran (Banggar), Badan Kerja Sama Antarparlemen (BKSAP), Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), Badan Urusan Rumah Tangga (BURT), dan panitia khusus (pansus).
MK Kabulkan Gugatan Soal Keterwakilan Perempuan di Parlemen
Mahkamah Konstitusi pada Kamis (30/10), memutuskan komposisi anggota maupun pimpinan alat kelengkapan dewan (AKD) di DPR RI harus mengakomodasi keterwakilan perempuan berdasarkan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota perempuan di tiap-tiap fraksi.
MK dalam hal ini mengabulkan Perkara Nomor 169/PUU-XXII/2024 yang dimohonkan oleh Perkumpulan Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dan pakar kepemiluan Titi Anggraini.
Putusan DPR ke Depan Mesti Lebih “Feminim”
Arif Adiputro, peneliti dari Indonesian Parliamentary Center (IPC), menilai putusan MK ini sebagai angin segar bagi parlemen yang selama ini dianggap terlalu maskulin dalam proses pengambilan keputusan.
“Saya melihat kok kayaknya DPR terlalu maskulin dalam hal pengambilan keputusan dan saya penginnya ke depan DPR ini ada nuansa feminin di dalamnya,” kata Arif dalam Diskusi Ruang Publik KBR, Selasa (4/11/2025).
Arif mencontohkan bahwa sejumlah kebijakan seperti pembahasan RUU TNI maupun RUU Energi Baru dan Terbarukan (EBT) selama ini minim perspektif gender.
“RUU TNI ini nggak ada perspektif perempuannya sama sekali. Begitu juga RUU Energi Baru dan Terbarukan jangan sampai tidak menyentuh soal inklusivitas dari sisi kebijakan subsidi, padahal penikmat subsidi banyak ibu rumah tangga,” ujarnya.

Perempuan Minim di Parlemen
Arif menyebut tantangan terbesar pada level partai politik yang seringkali belum menjalankan proses kaderisasi secara serius.
“Proses kaderisasi partai politik itu sendiri harus diperbaiki. Jumlah kader perempuan di partai-partai hanya memenuhi standar affirmative action saja, bukan menyelesaikan akar permasalahan budaya patriarki,” jelas Arif.
Arif juga mengusulkan agar setiap fraksi wajib melakukan audit internal terhadap komposisi perempuan di alat kelengkapan dewan.
“Fraksi harus mengecek apakah keterwakilan perempuan di AKD sudah mencapai minimal 30%. Kalau belum, harus ada langkah taktis dan mekanisme sanksi agar tidak sekadar formalitas,” tegasnya.
Meningkatkan Kader Perempuan Jadi Kunci
Menanggapi hal itu, Selly menambahkan bahwa perubahan kultur politik dan sistem rekrutmen partai juga harus segera dilakukan agar perempuan memiliki kesempatan yang setara.
“Perempuan bukan hanya sebagai pemoles saja, tetapi dengan adanya keputusan ini mengingatkan kepada DPR bahwa ini adalah tanggung jawab moral dan konstitusional," jelasnya.
Selly juga menegaskan bahwa PDIP telah menerapkan prinsip keterbukaan dan meritokrasi dalam menempatkan kader perempuannya di posisi strategis.
“Kalau berbicara dari fraksi PDIP tidak perlu diperdebatkan kembali karena prinsipnya PDIP Perjuangan ini sudah melaksanakan amanat apa yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi. Kami diseleksi dengan prinsip keterbukaan, keadilan, dan meritokrasi," jelasnya.
Obrolan lengkap episode ini bisa diakses di Youtube Ruang Publik KBR Media
Baca juga:
- Kritik Revisi UU HAM: Komnas HAM Rawan Dilemahkan, Kementerian HAM 'Pemain Sekaligus Wasit'
- Bisnis Guna Ulang (Reuse) Alner Cegah Jutaan Sampah Plastik Sekali Pakai





