ragam
Job Hugging in This Economy, Mental Aman?

Refleksi diri dan timbang mendalam sebelum memutuskan job hugging atau resign

Penulis: Khalisha Putri, Wydia Angga

Editor: Ninik Yuniati

Audio ini dihasilkan oleh AI
Google News
 Job Hugging in This Economy, Mental Aman?
Ilustrasi job hugging dibuat menggunakan kecerdasan buatan (AI)

KBR, Jakarta - Istilah job hugging belakangan jadi perbincangan hangat di media sosial. Secara harfiah, job hugging berarti "memeluk pekerjaan". Namun, istilah ini merujuk pada kondisi ketika seseorang memilih bertahan di satu pekerjaan meski sudah tidak merasa cocok, karena berbagai alasan. 

Salah satunya, alasan finansial. Karyawan enggan keluar dari pekerjaan, meski sudah tak lagi nyaman. 

Menurut pantauan KBR di media sosial, beberapa netizen membagikan pandangannya terkait job hugging.  

“Fenomena job hugging ini berasa banget. Di saat PHK lagi gila-gilanya, kebutuhan hidup juga gaslight kita di saat yang sama. ‘Mau resign? Cari kerja noh susah.’ Resign is such a privilege in this economy,” tulis akun XXX

Job hugging is real guys. Bertahan karena kahanan. Hopefully there will be a better chance to leave this company. Untuk sementara waktu tujuannya survive dulu,” tulis XXX 

“Malam masih kerja tuh kalau bukan karena butuh kayaknya aku udah kabur dari sini. Fase job hugging itu nyata adanya,” tulis XXX

Bijak tetapi Berisiko

Pengamat ketenagakerjaan sekaligus Ketua II Perkumpulan Pengajar dan Praktisi Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (P3HKI), Ahmad Ansyori, berpandangan, fenomena job hugging merupakan pilihan rasional di tengah kondisi ekonomi gonjang-ganjing.

“Terutama bagi mereka yang memiliki tanggungan dan tidak memiliki jaring pengaman finansial yang kuat,” ujarnya.

Dalam konteks pasar kerja saat ini, Ahmad bilang, risiko mencari pekerjaan baru sangatlah nyata. Ia mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) berada di angka 4,76 persen pada Februari 2024.

“Fakta yang lebih mencolok adalah perbandingan jumlah pencari kerja dengan ketersediaan lowongan. Pada 2024, ada sekitar 909 ribu pencari kerja terdaftar, sementara lowongan yang tersedia hanya sekitar 630 ribu,” ungkapnya.

red

Foto: Job Fair Kota Pekalongan 2025 di Kota Pekalongan, Jawa Tengah, Rabu (27/8/2025). Sumber: ANTARAFOTO

Menurut Ahmad, kondisi tersebut diperburuk dengan disrupsi teknologi dan otomasi yang menggantikan banyak pekerjaan rutin.

“Kesenjangan ini menciptakan persaingan yang sangat ketat, terutama untuk posisi low-skill jobs,” katanya.

Ahmad menekankan pentingnya pertimbangan matang sebelum memutuskan resign.

“Pastikan Anda punya dana darurat minimal 6 hingga 12 bulan, evaluasi kembali keterampilan Anda, dan jangan lupakan pentingnya jaringan profesional,” sarannya.

Pekerja sebaiknya melakukan riset mendalam sebelum melamar ke tempat kerja baru. 

“Jangan sampai meloncat dari kapal yang bocor ke kapal yang sedang tenggelam. Analisis industri dan budaya kerja sangat penting,” tegasnya.

Ahmad bilang, bertahan bukanlah satu-satunya jalan. Pekerja bisa memanfaatkan peluang lain di luar pekerjaan formal.

“Bila lingkungan kerja sudah sangat merugikan, bertahan bukanlah solusi, freelance, ekonomi kreatif, atau usaha mandiri bisa jadi pilihan,” paparnya.

Sektor teknologi, transportasi, logistik, hingga agribisnis modern masih memiliki peluang besar.

“Generasi muda bisa menggarap pertanian modern berbasis teknologi. Bukan sekadar bertani, tapi menjadi agri-sociopreneur yang menciptakan lapangan kerja,” ujarnya.

Ahmad menekankan pemerintah jangan abai dengan situasi ini.

“Pemerintah harus mempercepat regulasi perlindungan pekerja gig, dunia usaha harus lebih fleksibel, serikat buruh harus mengangkat isu kesehatan mental, dan generasi muda harus mengejar keahlian, bukan sekadar pekerjaan,” tegasnya.

red

Foto: Bursa kerja di Kota Sorong, Papua Barat Daya, Selasa (16/9/2025). Sumber: ANTARAFOTO

Pengaruhi Kesehatan Mental

Dari perspektif psikologi klinis, job hugging seringkali berakar pada ketakutan mendalam, perihal kehilangan identitas, status, hingga rutinitas yang melekat pada diri seseorang.

Psikolog klinis sekaligus host Podcast Disko “Diskusi Psikologi” Mutiara Maharini menekankan bahwa rasa takut kehilangan pekerjaan bukan semata-mata soal penghasilan.

“Bagi sebagian anak muda yang memilih job hugging, pekerjaan itu seperti jangkar yang membuat mereka merasa aman, tetapi ironisnya, jangkar itu juga bisa menahan mereka untuk berlayar ke tempat lain,” jelasnya kepada KBR, Kamis(25/09/2025).

Fenomena job hugging, kata Maharini, bisa membawa konsekuensi serius bagi kesehatan mental.

“Kalau terus-terusan job hugging, lama-lama kita akan merasa bosan, lelah, dan kehabisan energi. Ini yang sering disebut burnout. Kita mungkin merasa seperti hamster yang berlari di roda yang sama, tapi tidak ke mana-mana. Seringkali, zona nyaman itu adalah jebakan yang paling nyaman,” ujar Maharini

Kondisi ini dapat membuat seseorang kehilangan motivasi dan tujuan hidup, sehingga menghambat baik dalam perkembangan profesional maupun pribadi.

Sayangnya, menurut Maharini, job hugging kerap dilatari rendahnya rasa percaya diri dan kemampuan mengelola kecemasan.

“Kita berpikir, ‘apakah saya cukup baik untuk mendapatkan pekerjaan lain?’ atau ‘bagaimana jika saya gagal di tempat baru?’ Rasa percaya diri yang rendah membuat kita merasa tidak layak untuk diterima di tempat kerja lainnya, sedangkan kecemasan yang tidak terkelola akan membuat kita stuck, tidak berani melangkah,”

Walau tidak selalu job hugging menandakan kelemahan mental. Dalam kondisi pasar kerja yang sulit, bertahan juga bisa menjadi strategi bertahan hidup yang rasional.

Namun, menurutnya, tak mudah membedakan alasan bertahan di pekerjaan, apakah karena logika atau rasa takut?

“Alasan logis biasanya berdasarkan fakta, memiliki strategi, dan deadline tertentu. Misalnya, ‘saya bertahan karena atasan mengatakan ada potensi naik jabatan dalam satu tahun ke depan.’ Sementara itu, job hugging biasanya hanya didorong oleh emosi, seperti ‘saya bertahan karena saya takut melangkah’,” jelas Maharini.

Karenanya, refleksi diri sangatlah penting. Tanyakanlah ke diri sendiri, seberapa kuat alasan bertahan di pekerjaan? Apakah hanya dilandasi kecemasan akan ketidakpastian?

Keputusan berhenti (resign) sebaiknya diambil saat pekerjaan lebih banyak membawa mudarat ketimbang manfaat. 

“Apabila kesehatan mental sudah mulai mengganggu keberfungsian sehari-hari, maka segera temui profesional untuk mendapatkan pandangan terkait kondisi pekerjaan. Melepas pekerjaan bukan hanya isu psikologis, melainkan finansial juga. Pastikan Anda memiliki dana darurat yang cukup sehingga tidak akan membuat masalah psikologis yang baru lagi setelahnya,” sarannya.

Bagi mereka yang masih bertahan di pekerjaan, Maharini memberi beberapa rekomendasi:

  • Kenali ketakutan terbesar terkait pindah kerja.
  • Temukan kebahagiaan melalui hobi di luar pekerjaan.
  • Tingkatkan keterampilan sambil memantau peluang lain.
  • Jangan ragu berbicara dengan profesional untuk mendapatkan sudut pandang yang lebih jernih.

Baca Juga:

- Nemu Support System di Komunitas Olahraga

- Warisan Inklusivitas Raminten, Berani Mencintai tanpa Membedakan

Jika anda menyukai pembahasan terkait kesehatan mental, anda dapat menyimak Podcast Disko melalui KBR.ID, Spotify maupun Youtube KBR Media seperti episode berikut:

pencari kerja
pengangguran
job hugging
job hugger
psikolog
kesehatan mental
mental health
podcast disko
diskusi psikologi
lowongan kerja

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...