Ratusan gedung terbakar dan rusak akibat Tragedi Mei 1998 dan sampai sekarang masih terlantar.
Penulis: Antonius Eko
Editor:

KBR, Jakarta – Enam belas tahun lalu hari ini, situasi Jakarta benar-benar mencekam. Merah padam disulut api, banyak bangunan rusak, dijarah lantas akhirnya dibakar. Dari ratusan bangunan yang hancur, salah satunya ada di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Jaraknya sekitar 500 meter dari Pasar Kebayoran Lama ke arah Permata Hijau, di sebelah kanan jalan. Sejak dirusak 16 tahun lalu, bangunan itu tak pernah diperbaiki. Dibiarkan teronggok tak terawat. Jendela dibiarkan bolong. Untuk mencegah orang masuk, jendela ditutup dengan batu bata dan disemen. Tinggal bagian bawah bangunan tiga lantai itu yang masih berfungsi, dipakai untuk toko bangunan, mini market dan tempat jual beli kendaraan bermotor.
Agak sulit menemukan saksi mata yang bisa bercerita secara lengkap soal kejadian yang menimpa bangunan itu saat kerusuhan 14 Mei 1998. Banyak cerita simpang siur, namun rata-rata mengungkapkan bahwa massa sudah berkumpul sejak pagi. Seperti ada yang memberi aba-aba, serentak massa mulai melempari bangunan yang ada di pinggir jalan. Sulit memastikan asal dari orang-orang itu.
“Saya tak tahu dari mana, apa dari lingkungan sini atau dari wilayah lain. Kan tidak bisa tanya dari RT mana? Tidak mungkin saya minta lihat KTP mereka, kan,” kata seorang saksi mata, yang enggan menyebutkan namanya.
“Jalan sudah penuh orang. Dari sini (Kebayoran Lama, red) terus sampai ke sana isinya orang semua. Kendaraan pribadi sama angkot tidak ada yang berani lewat. Sudah ramai sejak pagi,” kata saksi lain.
Catatan lengkap
Dadan Umar Daihani adalah akademi Universitas Trisakti yang mencatat dan meneliti bekas-bekas kerusuhan Mei 1998. Dia adalah salah satu akademisi yang punya catatan cukup lengkap tentang jejak-jejak kerusuhan di penjuru Jakarta. Sehari setelah kerusuhan di Jakarta, tepatnya 15 Mei 1998, Dadan menugaskan mahasiswanya untuk mendata dan memfoto semua bangunan yang rusak.
Pekerjaan Dadan ini sudah dipresentasikan ke luar negeri, bahkan sampai ke Beijing, juga di Mabes TNI Cilangkap. Dadan pun menjadi salah satu saksi di hadapan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk dan bekerja untuk mengungkap peristiwa Kerusuhan 13-15 Mei 1998.
Dadan membuat peta kerusuhan yang dimulai dari Jalan Kyai Tapa di sekitar kampus Trisakti hingga mengarah ke kawasan Glodok. Peta itu juga yang lantas diserahkan ke TGPF. Dari situ, kata Dadan, bisa terlihat kalau kerusuhan menyebar secara sistematis, dari Grogol sampai ke Kota.
Kata Dadan, massa berkumpul sejak pukul 8 pagi. Massa berkumpul di beberapa titik salah satunya di Pasar Minggu. Setelah itu meluas ke Ciputat, Kebayoran lama, Cipulir, hingga Ciledug.
Dadan menyebut ada tiga tahap dalam kerusuhan yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya. Katanya, hari pertama pada 13 Mei ibaratnya ‘hidangan pembuka’. “Besoknya itu ‘makanan utamanya’ hampir seluruh Jakarta rusuh,” jelas Dadan.
Di hari kedua (14 Mei 1998), kerusuhan makin meluas ke seluruh Jakarta. Polanya sama: ada yang mengajak massa untuk merusak. “Seperti di Grogol ada yang mengajak. Ada pembakaran, massa kebawa. Seperti gelombang air, kalau kita lempar batu kan gelombangnya makin meluas. Jadi ada yang memulailah. Itu yang saya namakan titik picu dalam analisis saya,” kata Dadan.
Banyak fakta yang bisa menggambarkan betapa mengerikannya peristiwa itu. Ada saksi yang tak bisa melewati jembatan Kebayoran Lama karena masih berlangsung aksi penjarahan di toko-toko. Saksi itu melihat pasar Kebayoran Lama sudah terbakar dan asapnya membumbung tinggi.
“Seluruh masyarakat ikut menjarah dan segala macam. Sorenya beberapa tempat yang terbakar orangnya banyak yang meninggal.”
“Orang-orang itu dibakar. Dimasukin ke toko, ditutup pintunya, terbakar lah di dalam. Akhirnya pada tanggal 15 Mei mereda. Ada banyak orang yang ingin mengembalikan barang. Kita bilang hari terakhir adalah closingnya. Kebanyakan gedung yang dibakar ada di pinggir jalan raya.”
Satu gedung lain yang jadi korban adalah pusat perbelanjaan yang dulu dikenal dengan nama Tamara. Letaknya tak jauh dari Taman Puring, di ujung jembatan layang Kebayoran Lama. Bangunan tiga lantai ini memiliki gedung bioskop Amigo 21. Ini adalah bioskop dari jaringan 21 pertama yang ada di Kebayoran Lama. Gedung itu rusak parah.
Masuk ke jalan Arteri Pondok Indah, massa makin banyak di kiri kanan jalan. Saat itu, mereka melempari toko-toko di sepanjang jalan. Beberapa waktu lalu gedung itu kembali dibangun, bahkan dilengkapi dengan pusat penjualan orderdil motor terbesar di Jakarta. Namun tetap tak laku. Akhirnya gedung diratakan dan kini di lokasi itu tengah dibangun apartemen.
Dadan mencatat kerusakan paling parah terjadi di Jakarta Pusat. Total, pusat perbelanjaan yang rusak sebanyak 32 gedung, toko (218), bank (155), ruko (165), kantor (81), hotel (4), rumah (21) SPBU (2).
Jangan Lupakan 12-21
Dadan meminta masyarakat tak melupakan peristiwa penembakan mahasiswa Trisakti pada 12 Mei 1998 hingga lengsernya Soeharto di 21 Mei 1998. Menurut dia, ada pihak yang berusaha menghapus kejadian itu dari pikiran generasi sekarang.
“Siapa yang berhak memimpin negara ini lihat saja kelakuannya pada 12-21 ada di mana? Di rakyat atau malah ada di rezim yang ingin menghantam rakyat?”
“Silahkan pilih, tapi momen sejarah itu jangan dilupakan,” tegasnya.
Kata Dadan, gedung-gedung yang dulu hancur boleh saja dibongkar, diberi nama baru dan difungsikan kembali. Secara estetika, gedung-gedung yang terbakar itu memang tak layak dipertahankan. Namun, sejarah itu tetap harus disimpan dalam tulisan dan kenangan semua orang.
Menurutnya, bukti berupa catatan dan foto bisa menjelaskan bahwa pemimpin negara ini pernah melakukan kesalahan, mengadu domba masyarakat demi mempertahankan suatu rezim. Sejarah kelam itu tak boleh lagi terjadi.