Penjara tak membuat jera penulis Putu Oka Sukanta dan pembuat film dokumenter, Dominicus Sorabut berjuang menuntut keadilan. Dengan caranya masing-masing mereka melawan kekuasaan. Atas kiprahnya itu mereka mendapat penghargaan internasional Hellman dan
Penulis: Bambang Hari
Editor:

KBR68H - Penjara tak membuat jera penulis Putu Oka Sukanta dan pembuat film dokumenter, Dominicus Sorabut berjuang menuntut keadilan. Dengan caranya masing-masing mereka melawan kekuasaan. Atas kiprahnya itu mereka mendapat penghargaan internasional Hellman dan Hammet. Penghargaan ini diberikan kepada pihak yang menjadi korban penganiayaan politik atau pelanggaran hak asasi manusia.
Putu Oka Sukanta sudah merasakan pahit getirnya berada di balik jeruji penjara Orde Baru selama puluhan tahun. Ia ditahan karena dituding terlibat organisasi yang diharamkan di negeri ini, Partai Komunis Indonesia (PKI). Putu yang merasa dizalimi kekuasaan yang dipimpin Jenderal Soeharto, tak tinggal diam. Ia melawan, lewat tulisan. "Perlawanan yang saya lakukan adalah dengan sadar saya menjadikan tulisan-tulisan saya sebagai alat untuk berjuang. Menulis itu adalah berjuang untuk hidup. Jadi buat saya, menulis itu bukan sebagai hobi, tapi menulis adalah perjuangan--bagi saya. Karena ketertindasan yang berlapis-lapis secara sistematik dan struktural dilakukan oleh Orde Baru dengan Golkar dan Angkatan Bersenjatanya (ABRI),” katanya.
Putu Oka Sukanta, lahir di Singaraja Bali, 74 tahun silam. Dia dikenal sebagai seorang penulis, wartawan dan aktif dalam masalah penanggulangan HIV/AIDS. Karena aktif di organisasi sayap PKI, Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra, dia ditahan oleh Orde Baru selama 10 tahun di Jakarta dan Tangerang tanpa pernah diadili. "Inti dari perlawanan saya adalah menuntut kesetaraan sebagai warga negara. Nah kesetaraan dalam bidang-bidang hukum dan lapangan kerja itu sama sekali tidak bisa (saya dapatkan-red). Jadi saya dijadikan orang 'kelas dua' dalam Rezim Orde Baru itu. Itu harus dilawan. Karena saya seorang pengarang, maka saya lakukan perlawanan itu melalui tulisan-tulisan saya sebagai pengarang," tambahnya.
Belasan novel dan kumpulan cerpen karyanya telah dibukukan. Sebut saja salah satu diantaranya “Di Atas Siang Di Bawah Malam “ yang diterbitkan pada 2004 silam. Ia juga kerap diundang ke beberapa negara Eropa, Asia, Australia dan Amerika, baik sebagai pengarang maupun sebagai aktivis kemanusiaan.
Atas kiprah dan komitmennya pada kemanusiaan, sebuah lembaga nirlaba yang bergerak di bidang perjuangan Hak Asasi Manusia, Human Right Watch beberapa waktu lalu memberikan “Penghargaan Hellman dan Hammet “ kepada Putu."Untuk itu saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua sahabat, lembaga yang mendorong saya, menyemangati saya untuk bisa merealisasikan ide-ide yang ada di dalam kep ala saya menjadi sebuah kenyataan."
Dia menerima dana hibah sebesar 5000 dolar amerika atau sekitar 50 juta rupiah. "Penghargaan ini saya lebih mengartikan sebagai penghargaan untuk kegiatan perlawanan terhadap ketidakadilan yang dilakukan oleh banyak orang. Saya mungkin hanya sebagai simbol kecil dari sebuah perjuangan yang sangat besar yang belum selesai. Tanpa ada ruang yang diciptakan oleh sahabat-sahabat saya, ataupun oleh lembaga-lembaga sejak zaman orde baru, sepertinya agak sulit bagi saya untuk memiliki prestasi seperti sekarang."
Selain penulis dan aktivis Putu Oka Sukanta, penghargaan serupa juga diberikan kepada pembuat Film Dokumenter Dominicus Sorabut. Tapi aktivis Papua tersebut tak bisa hadir di Jakarta menerima penghargaan. Sebab Domi—begitu ia disapa – masih mendekam di Penjara Abepura, Jayapura. Ia diganjar hukuman penjara tiga tahun karena tuduhan makar. Peneas Lokbere, salah seorang kerabat Domi menjelaskan. "Dia bikin film tentang sumber daya alam yang dirusak oleh perusahaan, oleh para penguasa. Umumnya film pendek. Salah satu yang pernah dia angkat adalah soal Freeport. Dia juga terkenal sebagai pimpinan DAP di Wilayah Wamena," paparnya.
Sebelum ditahan Dominikus Sorabut ikut terlibat dalam Kongres Rakyat Papua (KRP) III, Oktober tahun lalu. Film dokumenter yang dibesutnya mengupas isu-isu seperti perusakan hutan, penambangan liar, dan upaya pemerintah Indonesia untuk memberantas budaya Papua.
Pada tahun 2010, Dominikus mewawancarai seorang petani di Bumi Cendrawasih yang disiksa oleh tentara Indonesia. Hasil liputannya membantu memberikan paparan internasional tentang penyiksaan dan penderitaan para petani di wilayah pegunungan Papua.
Rekaman yang dibuatnya dipublikasikan lewat media sosial seperti Youtube. Agar perjuangannya aman, ia memakai identitas palsu, Kembali rekan Domi, Peneas. "Saya pikir waktu film itu diunggah ke Youtube awal-awalnya sangat rahasia. Disembunyikan namanya. Tapi belakangan, orang-orang sudah mulai tahu siapa yang mengunggahnya."
Dia menambahkan, "Saya rasa itu sudah menjadi keputusan dia untuk membuat film. Karena dia pikir film itu bisa dijadikan sebagai dokumen yang hidup. Dia berharap karyanya bisa dilihat hingga beberapa generasi ke depan."
Selain membuat film dokumenter, Sorabut telah menulis beberapa artikel dan sejumlah naskah buku tentang masyarakat Papua. Rencananya, uang hibah dari “Penghargaan Hellman Hammet “ itu akan dipakai untuk perawatan dirinya selama mendekam di bui.
Maklum saja kata Peneas, rekannya Domi tidak mendapatkan fasilitas kesehatan yang layak selama berada di penjara. "Saya pikir uang itu akan digunakan untuk banyak hal. Salah satunya adalah untuk digunakan sebagai penunjang kesehatan selama dia dipenjara. Selain itu, uang itu juga kemungkinan bakal disimpan olehnya untuk dijadikan tabungan."
Selain Dominikus Sorabut dan Putu Oka Sukanta, Penghargaan Helmann dan Hammett sudah diberikan kepada sejumlah penulis di berbagai belahan dunia.
Siapa Helmann dan Hammet?
Aktivis hak azasi manusia dari Human Rights Watch Andreas Harsono menuturkan latar belakang pemberian Penghargaan Hellman Hammet. "Kepada orang-orang yang karena tulisan, atau karya-karya lain seperti film, blog, atau puisi itu masuk penjara. Penghargaan ini diberikan sebagai warisan dari seorang dramawan yang bernama Lilian Helmann. Dia seorang dramawan yang karyanya dijadikan sebagai film di Hollywood. Dan juga nama dari seorang yang bernama Samuel Hammett. Ia adalah seorang penulis cerita berlatar detektif pada tahun 1930-an."
Andreas kembali menjelaskan, "Dua orang ini berteman baik. Ketika Helmann meninggal tahun 1984, dia ternyata memiliki uang yang cukup banyak dan, sejumlah rumah di Massasuchet, juga ada tabungan dari dia. Kemudian ahli waris dia--teman-teman dan keluarganya memberikan uang ini beberapa juta dollar kepada Human Rights Watch. Mandatnya adalah; agar uang ini diberikan kepada sejumlah penulis yang mengalami penganiayaan."
Sejak dimulainya pemberian penghargaan itu, sudah ada ratusan penulis dari berbagai negara yang menerima dana hibah tersebut. Di antara deretan nama itu, terdapat pula sejumlah nama dari Indonesia. Salah satunya adalah penyair kondang WS Rendra. Kembali Andreas
Harsono menuturkan,"Di Indonesia terdapat sejumlah orang yang mendapat penghargaan itu. Termasuk penyair WS Rendra, waktu itu dia ditahan pada zaman Orde Baru. Selain itu ada juga wartawan Ahmad Taufik, seorang wartawan Majalah Tempo yang dipenjara selama tiga tahun sesaat setelah mendirikan AJI (Aliansi Jurnalis Independen-red). Ada juga wartawan Metro TV yang bernama Upi Asmaradhana yang menggugat Kapolda Sulawesi Selatan dan diminta mengundurkan diri dari perusahaannya dan mengalami penganiayaan oleh aparat."
Penghargaan ini diharapkan dapat memicu pejuang HAM untuk terus menyuarakan ide dan aspirasinya. Selain itu, penghargaan ini jadi cermin bagi negara, bahwa ada sejumlah kasus pelanggaran HAM yang belum tuntas penyelesaiannya. Pegiat HAM Galuh Wanita. "Jadi memang persoalan impunitas terhadap pelanggaran HAM di masa lalu ini berbuah kepada pelanggaran HAM pada masa kini, serta kekerasan dan ketidakadilan. Karena itu kami di dalam KKPK, sebuah koalisi yang terdiri dari 30 organisasi dari Sabang-Merauke pada tahun ini kami membuat sebuah inisiatif yang berjudul tahun kebenaran."
Pengamat HAM dari Universitas Indonesia, Iksan Malik menimpali,"Oleh karena itu kita berharap agar penghargaan yang diterima oleh saudara kita bisa menjadi momentum untuk terus mengungkapkan kebenaran di masa lalu."
Bagi penulis dan aktivis seperti Putu Oka Sukanta dan Dominicus Sorabut penghargaan Hellman dan Hammet punya makna tersendiri. Meski dalam perjuangannya tak berharap atau mengejar penghargaan. Rekan Domi, Peneas Lokbere menjelaskan ,"Saya pikir ini sangat luar biasa. Ini juga bisa menjadi sejarah baru. Sebab saya belum pernah mendengar bahwa tahanan politik di Papua, Maluku dan di mana-mana yang mendapatkan penghargaan dari masyarakat internasional. Sementara oleh Pemerintah sendiri, mereka kerap dianggap sebagai orang yang jahat, separatis, yang harus dimusnahkan. Tapi untungnya masih ada masyarakat dunia yang mendukung dan menghargai hak-hak mereka."
(Bam, Fik)