JPPI menyebut tragedi keracunan MBG sebagai darurat kemanusiaan nasional. Itu sebab, program ini perlu dihentikan atau moratorium dulu
Penulis: Naomi Lyandra, Resky N
Editor: Resky Novianto

KBR, Jakarta- Program Makan Bergizi Gratis (MBG) mendapat sorotan luas dari publik, usai kasus keracunan massal yang terus meluas berbagai daerah. Selama sepekan terakhir, kasus keracunan MBG datang dari Garut, Gunungkidul, Lamongan, Baubau, hingga Sumbawa. Ratusan anak mengalami gejala mual, muntah, bahkan sampai dirawat di rumah sakit.
Berdasarkan data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) per 21 September 2025, tak kurang dari 6.452 anak keracunan menu MBG sejak program prioritas Prabowo-Gibran ini diluncurkan pada awal tahun ini.
JPPI menyebut tragedi keracunan MBG sebagai darurat kemanusiaan nasional, sebab, alih-alih menyehatkan dan mencerdaskan, MBG justru mengancam nyawa anak-anak. Itu, sebab program tersebut mesti segera dihentikan sebelum bertambahnya korban.
“Maka ini perlu dihentikan dulu, di moratorium dulu, kalau perlu dihentikan,” ujar Koordinator Program dan Advokasi Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ari Hardianto dalam siaran Ruang Publik KBR, Senin (22/9/2025).
Menurutnya, desain program MBG dari awal sudah bermasalah. Sebab, ada sejumlah persiapan yang dilakukan tanpa perencanaan yang matang dan terstruktur.
“Melakukan kegiatan yang sangat besar, yang sangat ambisius ini, pasti akan banyak sekali celah dan akan banyak sekali tantangannya. Kita melihat memang desain programnya ini memang enggak safety, enggak aman,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa alokasi anggaran MBG mencapai 44% dari anggaran pendidikan, dan harus dipertanggungjawabkan.
“Kalau ini untuk pendidikan, malah menghancurkan dunia pendidikan. Maka hentikan, audit semua dari BGN (Badan Gizi Nasional) sampai SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi),” ujarnya.

KPAI Soroti Kualitas Makanan yang Buruk
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga menyoroti persoalan serius pada kualitas makanan. Temuan KPAI per April-Agustus 2025, sebanyak 583 anak pernah menerima menu MBG dalam kondisi rusak hingga beraroma tidak sedap atau basi.
Jasra Putra, Wakil Ketua KPAI, mengungkap pihaknya telah melakukan pengawasan dan investigasi selama 9 bulan terakhir sejak MBG diluncurkan. Hasilnya, KPAI mencatat 5.165 peristiwa dugaan keracunan.
Ia bahkan menyebut, ada kecenderungan setiap SPPG baru di daerah kerap menimbulkan kasus.
“Setiap pembukaan SPPG baru terjadi keracunan,” jelas Jasra siaran Ruang Publik KBR, Senin (22/9/2025).
Ia juga menyoroti minimnya kepatuhan terhadap Standar Operasional Prosedur (SOP) di dapur SPPG. Banyak pengelola dapur merupakan fresh graduate dengan pelatihan singkat, dan belum memiliki pengalaman dalam manajemen keamanan pangan.
“Saya melihat SPPG ini kepatuhan untuk menjalankan SOP sangat minim sekali seperti APD alat pelindung diri, ketika saya masuk saya coba tidak mengambil masker dan seterusnya, saya uji lah ternyata mereka tidak menghiraukan itu,” terangnya.
Lebih jauh, Jasra mengingatkan adanya dampak trauma psikologis terhadap anak dan orang tua.
“Anak paud dengan daya tahan tubuh yang rendah sangat rentan. Ini bisa jadi trauma bagi anak dan orang tuanya,” lanjutnya.
Lebih lanjut, Jasra menegaskan bahwa anak-anak bukan kelinci percobaan.
“Anak ini generasi penerus kita. Jangan jadikan anak selalu menjadi korban, meskipun tidak diniatkan, tapi faktanya mereka yang menderita,” ujarnya.

DPR Minta Evaluasi Total Program MBG
Ketua DPR RI Puan Maharani mengingatkan kepada pemerintah agar jangan sampai anak-anak justru dirugikan karena program Makan Bergizi Gratis (MBG), saat merespons timbulnya kembali kasus keracunan.
Dia mengatakan pemerintah harus selalu mengevaluasi program tersebut dan menindaklanjuti hasil evaluasi itu supaya pelaksanaan program MBG di lapangan bisa lebih di baik lagi.
"Jangan sampai anak-anak yang kemudian dirugikan," kata Puan di kompleks parlemen, Jakarta, Senin (22/9/2025) dikutip dari ANTARA.
Dia pun memahami bahwa pelaksanaan program MBG merupakan hal yang tidak mudah untuk dilakukan. Untuk itu, seluruh pihak yang terkait program tersebut harus melakukan evaluasi secara total.
Istana: Kami Minta Maaf dan Janji Evaluasi
Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi menempuh langkah pemulihan korban hingga evaluasi dapur dari serangkaian kasus keracunan makanan dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) di beberapa daerah.
Prasetyo, dalam konferensi pers di ruang wartawan Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat, juga menyampaikan permohonan maaf atas terjadinya insiden yang tidak disengaja itu.
“Atas nama pemerintah dan mewakili Badan Gizi Nasional, kami memohon maaf karena terjadi beberapa kali kasus di sejumlah daerah. Itu bukan sesuatu yang diharapkan, apalagi disengaja,” ujarnya dikutip dari ANTARA.
Kepada seluruh penerima manfaat yang terdampak, kata Prasetyo, BGN bekerja sama dengan pemerintah daerah telah memberikan penanganan secara cepat dan sebaik-baiknya.
Pemerintah pun langsung berkoordinasi dengan Badan Gizi Nasional (BGN) serta pemerintah daerah untuk melakukan evaluasi menyeluruh.
“Ini tentu menjadi catatan dan bahan evaluasi. Upaya mitigasi dan perbaikan juga sedang dilakukan agar masalah ini tidak terulang lagi,” ujarnya.

KSP: Perbaikan akan Dilakukan
Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Muhammad Qodari mengatakan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap Program Makan Bergizi Gratis (MBG) setelah maraknya kasus keracunan siswa.
Ia menilai program tersebut harus dibenahi, baik dari sisi mekanisme maupun kelembagaan, agar tujuan utama dapat tercapai tanpa menimbulkan risiko kesehatan.
"Memang harus ada perbaikan mekanisme, perbaikan kelembagaan, dan perbaikan dari berbagai macam sisi. Ini sedang berlangsung prosesnya, doakan. Ini sudah wake up call, bagaimana bahwa ini harus bisa diperbaiki dengan secepat-cepatnya. Yang kita khawatirkan adalah accident di daerah-daerah terpencil yang fokusnya belum sebaik seperti di daerah perkotaan," kata Qodari di Jakarta, Sabtu (20/9/2025) dikutip dari ANTARA.
Qodari menerangkan bahwa MBG seharusnya dirancang sebagai program dengan standar "zero accident".
"Hemat saya (MBG) perlu perbaikan secara menyeluruh, baik dari segi pendirian SPPG-nya maupun juga dari segi delivery-nya di lapangan," ujarnya.

Mencuri Masa Depan Anak
Dicky Budiman, pakar kesehatan global dari Griffith University Australia, menegaskan bahwa kasus keracunan berulang ini bukan perkara remeh.
“Keracunan berulang, ini mencuri masa depan. Karena bisa menyebabkan malabsorbsi, gangguan mikrobiota, anemia sekunder, dan penurunan konsentrasi belajar,” tegasnya dalam siaran Ruang Publik KBR, Senin (22/9/2025).
Ia menjelaskan bahwa makanan yang disiapkan malam hari dan dikonsumsi lebih dari 4 jam kemudian sangat rawan karena berada di zona bahaya suhu 5–60 derajat yang ideal untuk pertumbuhan bakteri.
“Kalau makanan sudah lebih dari 4 jam sejak dimasak dan tidak dijaga suhunya, itu bukan makanan bergizi, itu racun buat anak,” jelasnya.

Dicky juga menyoroti tidak adanya standar “fit to work” bagi penjamah makanan dan lemahnya pengawasan distribusi. Menurutnya, kontrol harus dilakukan pada tiga lini yaitu dapur (SPPG), distribusi, dan penerima (sekolah).
“Batch-nya harus dicek, harus ada quality control. Bahkan obat saja ada sampling-nya, masa makanan tidak?”, ujarnya.
Ia mendukung moratorium berbasis risiko. Sebab, diperlukan ada perbaikan mendasar yang harus dilakukan oleh BGN.
“Saya setuju moratorium, tapi bukan blanket stop. Harus traffic light decision per kabupaten atau per pemasok, berbasis data risiko”, lanjutnya.
Ahli Gizi: Makanan Rentan Terkontaminasi Bakteri
Ahli gizi masyarakat, Tan Shot Yen menilai penyediaan dan penyiapan MBG bagi anak tidak dilakukan sesuai pedoman yang ada. Sebab, ada risiko makanan menjadi sumber tumbuhnya bakteri dan virus.
“Pedoman dari BGN sendiri sudah ditulis sama dia nih, kunci keamanan pangan. Nomor satu, jagalah pangan pada suhu aman. Mana yang aman kalau suhunya sudah antara 5 sampai 60 derajat,” jelasnya dalam RDP di Komisi IX DPR RI, Senin (22/9/2025).
Tan menyebut, ada kesalahan fatal dalam proses penyediaan makanan yang aman bagi anak. Sebab, ada kesesuaian suhu yang perlu dijaga ketika makanan matang hingga sampai ke para siswa.
“Sediain itu mobil dengan berpemanas, shingga anak-anak ketika menerima makanan itu masih 75 derajat celcius. Tidak mendidih tapi masih bagus. Coba anda cek di belahan dunia sebelah mana, food tray itu disusun, diikatkan tali rafia, kasihan,” terangnya.

Tan turut mempertanyakan soal intoleransi dengan alergi makanan terhadap anak-anak. Menurutnya, cukup berbahaya jika anak-anak diberikan makanan yang terkontaminasi bakteri hingga tidak sesuai dengan standar gizi.
“Intoleransi beda dengan alergi, alergi saat diberi langsung muntah, diare, langsung mencret, langsung berak-berak. Tapi intoleransi itu setelah sebulan, dua minggu, mulai kembung, mencret. Itu intoleransi, jadi intoleransi beda dengan alergi,” tegasnya.
Desakan kepada Presiden
JPPI mendesak agar Presiden Prabowo Subianto segera menghentikan program MBG. Menurut JPPI, peristiwa keracunan berulang ini bukan kesalahan teknis.
“Kesalahan sistem di BGN karena kejadiannya menyebar di beberapa daerah,” tutur Ari.
JPPI, kata Ari, turut mendesak evaluasi total sistem tata kelola MBG yang dikendalikan oleh BGN.
“Karena BGN ini di bawah Pak Presiden, maka Pak Presiden ini bertanggung jawab untuk melakukan evaluasi secara total sistem dan tata kelola MBG di BGN itu,” tambahnya.

JPPI, lanjut Ari, meminta agar pemerintah mengutamakan keselamatan anak di atas ambisi politik dan target program.
“Jadi jangan jadikan anak itu jadi target-target program politik, yang akhirnya malah mengenyampingkan keselamatan anak dan tumbuh kembang anak,” terangnya.
Selanjutnya, pemerintah diminta mengevaluasi program MBG dengan memberikannya kepada daerah yang membutuhkan sesuai sasaran target.
“Lakukan itu di tempat yang memang itu diperlukan. Jangan satu ukuran, satu program untuk semua. Bahkan tidak hanya anak atau pelajar atau murid, tapi juga orang tua, terus guru-guru seperti itu,” jelasnya.
Terakhir, kata Ari, JPPI meminta agar dana pendidikan tidak digunakan untuk program MBG.
“Karena pemenuhan standar minimum kebutuhan pendidikan dasar kita seperti infrastruktur, gaji guru, terus pembiayaan anak, anak putus sekolah masih banyak, ini malah MBG menjarah anggaran pendidikan,” pungkasnya.
Obrolan lengkap episode ini bisa diakses di Youtube Ruang Publik KBR Media
Baca juga:
- Meski Menkeu Kucurkan Dana 200 Triliun ke Himbara, Indah Belum Tertarik Ajukan Kredit Lagi
- Tim Reformasi Polri Diharapkan Jangan Sebatas Gimik, Ahmad Dofiri Bisa Jadi Kunci?