indeks
Meski Menkeu Kucurkan Dana 200 Triliun ke Himbara, Indah Belum Tertarik Ajukan Kredit Lagi

Lemahnya kemampuan kredit juga tergambar dari masih tingginya dana kredit yang tersedia di perbankan ...

Penulis: Valda Kustarini

Editor: Sindu

Audio ini dihasilkan oleh AI
Google News
Meski Menkeu Kucurkan Dana 200 Triliun ke Himbara, Indah Belum Tertarik Ajukan Kredit Lagi
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memberikan keterangan pers terkait pencairan dana pemerintah. (Foto: ANTARA/ rwa)

KBR, Jakarta– Pinjaman ke salah satu himpunan bank milik negara (Himbara) yang diajukan Indah (32) dan keluarganya ditolak. Indah menyebut sejumlah alasan mengapa bank menolak. 

“Karena warungnya kelihatan sepi, soalnya, kan, memang nasi pecel sama es teh doang. Mungkin mereka nanya, nih bisa enggak sih bayar cicilannya?” cerita Indah.

Padahal, jika cair, dana kredit itu akan digunakan bisnis nasi pecel keluarganya di Malang, Jawa Timur. Karena itu, kakaknya mengajukan kredit pengembangan bisnis kuliner.

“Nanti mau nambah-nambah rencananya,” tuturnya.

Secara aturan, bisnis nasi pecel Indah dan keluarganya sudah memenuhi syarat pengajuan kredit bank. Yaitu, memiliki usaha sekurang-kurangnya enam bulan, karena telah beroperasi selama dua tahun. Keluarganya juga optimistis bisa membayar tepat waktu.

Hal lain yang dipertimbangkan bank adalah rumah yang jadi agunan. Lokasi yang bukan berada di jalan utama dinilai bank kurang menarik dan tidak cukup tinggi harganya.

“Biasanya bank tidak mau menerima pinjaman dengan agunan rumah yang tidak ada akses ke jalan utama,” kata dia.

Kini, meski Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menggelontorkan dana Rp200 triliun ke Himbara, Indah dan keluarganya belum tertarik lagi untuk mengambil pinjaman. Kata dia. keluarganya akan fokus ke peningkatan bisnis tanpa kredit bank.

“Kalau sekarang belum mau ambil pinjaman lagi. Fokus saja jualan,” ujarnya.

red
Nasi pecel. Foto: Tangkapan layar YouTube
advertisement


Ratusan Triliun Mengucur ke Himbara

Memang, belum lama ini Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menempatkan dana Rp200 triliun ke Himbara, tak lama usai menggantikan Sri Mulyani. Menkeu mengklaim, strategi ini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dalam negeri yang kini masih lesu. 

Dana Rp200 triliun tadi akan dibagikan sejumlah bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan besaran Rp55 triliun untuk Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Negara Indonesia (BNI), dan Bank Mandiri, sementara Bank Tabungan Negara (BTN) dan Bank Syariah Indonesia (BSI) masing-masing mendapat Rp25 triliun dan Rp10 triliun.

Gelontoran dana tersebut digunakan untuk mendukung program prioritas pemerintah serta sebagai stimulus pertumbuhan ekonomi. Purbaya melarang bank BUMN menyimpan dana dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN), tujuannya agar uang bisa membiayai sektor riil serta kredit lain dan membuat perputaran uang di masyarakat.

Ekonom Irman Faiz mengibaratkan keputusan Menteri Purbaya ini seperti “menggarami lautan”. Sebab menurutnya, persoalan perbankan bukan tentang likuiditas, tetapi permintaan kredit yang melemah.

“Memang tidak ada aktivitas ekspansi yang signifikan sehingga kredit yang sudah di-approve tidak terpakai,” ujar Irman kepada KBR.

red
Pedagang menata kipas lukis saat pameran UMKM di Denpasar, Bali. (Foto: ANTARA/Nyoman Hendra)
advertisement


200 Triliun Akankah Sampai ke UMKM?

Sebagai penggerak ekonomi dalam negeri, banyak UMKM masih kesulitan mendapat akses permodalan. Karena itu, sektor ini perlu diperhatikan penyelenggara negara, agar bisa mendapatkan porsi yang cukup dari guyuran likuditas.

Pada 2024 tercatat, ada 29,2 juta UMKM belum mendapatkan akses pendanaan dari perbankan. Indah dan keluarganya salah satu contoh UMKM yang sulit dapat akses modal bank pada tahun ini. 

Menurut catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), penyaluran kredit UMKM pada April 2025 hanya tumbuh 2,6 persen secara tahunan.

Lemahnya kemampuan kredit juga tergambar dari masih tingginya dana kredit yang tersedia di perbankan, tetapi belum tersalurkan atau biasa disebut undisbursed loan. Pada Agustus 2025, besarannya mencapai lebih Rp2.300 triliun.

Dari jumlah itu, kata OJK, Rp1.700 triliun masih berstatus uncommitted. Status ini menandakan pendanaan masih dapat dibatalkan sewaktu-waktu oleh perbankan. Biasanya didorong penurunan kondisi finansial debitur sehingga tak memenuhi syarat kelayakan pinjaman.

Ekonom Irman mengatakan, urungnya pebisnis mengambil kredit dari bank karena memikirkan kemampuan membayar cicilan. Pertimbangannya antara lain tekanan ekonomi dan khawatir gagal bayar. Alhasil, pebisnis memilih menahan diri untuk ekspansi.

red
Kinerja Kredit Indonesia berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan. (Foto: KBR Media)
advertisement


Memberikan Pembiayaan yang Selektif

Gelontoran dana Rp200 triliun bisa berjalan produktif dengan sejumlah catatan dan bukan hanya mengandalkan satu kebijakan.

Ekonom Imran menilai, pembiayaan lewat Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) bisa membantu menyalurkan kredit asalkan dibarengi pemetaan profil risiko penerima. 

Namun, ia tidak ingin kredit ke KDMP dianggap sebagai pemberian stimulus gratis atau celah untuk bagi-bagi uang. Harus ada pengawasan dari mulai proposal bisnis sampai eksekusinya, jika hal itu tidak dilakukan pelambatan ekonomi akan tetap terjadi.

“Apakah dia akuntabel apakah profitable ke depannya itu perlu diperhatikan. Kalau tidak, ini bisa jadi risiko lagi,” jelasnya.

Selain proyek unggulan pemerintah, pembiayaan di sektor riil masih dianggap menarik dan bisa mendorong perekonomian. Proyek-proyek produktif seperti manufaktur dan konstruksi diharapkan bisa menyerap kredit.

“Proyek itu butuh material, materialnya dibeli lagi dari supplier, supplier beli lagi dari siapa jadi semuanya kena, dampak efek multipliernya sehingga sektor riilnya membaik,” kata Irman.

Irman menyebut dari guyuran likuiditas pemerintah wajib memikirkan risiko-risiko yang akan dihadapi perekonomian dalam negeri. Misalnya, larangan menempatkan di SBN harus dibarengi dengan melakukan langkah selektif dalam memberikan kredit.

Sebab, di keadaan yang masih rentan, memaksa memberikan kredit akan menurunkan kualitas kredit, nantinya bisa berdampak ke sistem perbankan di Indonesia.

“Perlu kita ingat kasus US global financial crisis 2008 ini juga akar masalahnya bank-bank di US yang memberikan kreditan perumahan ke segmen yang lebih berisiko atau yang disebut dengan subprime, makanya kita sempat sebut subprime mortgage ini yang perlu kita hati-hati sekali dari pendekatan menkeu ini,” jelas Irman.

Kembali merujuk catatan OJK, kredit macet terbaru tercatat meningkat dibandingkan akhir tahun lalu. Kini, non-performing loan mencapai 2,22 persen.

Menanggapi kondisi ekonomi yang masih tertekan, menurut Irman memberikan memaksa memberikan kredit juga bukan jalan tengah, sebab ada risiko sistemik yang mengintai dan berdampak ke perekonomian.

Sementara itu, peneliti ekonomi digital CELIOS Rani Septya menyebut, bank juga harus melihat profil perusahaan yang akan mengambil pembiayaan, bukan cuma kemampuan bayar serta profitabilitasnya, tetapi juga di sektor mana perusahaan itu bergerak.

“Bank-bank Himbara itu memberikan pinjaman kepada sektor-sektor ekstraktif, seperti batu bara, mungkin ini bisa jadi sorotan, ya, kenapa? Karena bisa saja uang ini justru digelontorkan ke sektor-sektor yang tidak ramah lingkungan tadi, padahal kan kita punya tujuan untuk transisi energi,” jelas Rani.

red
Pekerja merapikan papan informasi harga di Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih Kelurahan Gedawang, Semarang, Jawa Tengah. (Foto: ANTRA/Aprillio Akbar)
advertisement


Ancaman Inflasi

Distribusi Rp200 triliun meski bertujuan untuk menggerakan perekonomian, pemerintah perlu peredaran rupiah. Uang terlalu banyak di masyarakat tanpa dibarengi dengan penyerapan kredit bisa meningkatkan inflasi.

Rani Septya mengatakan pergerakan ekonomi yang lambat harus diwaspadai pemerintah.

“Tujuannya memang sedikit inflasi, inflasi itu enggak selalu buruk, tetapi kalau itu terlalu tinggi dan terlalu cepat apalagi saat kondisi ekonominya yang sedang turun itu tidak dijaga, itu jadinya kaget. Itu yang kita takutkan,” kata Rani.

Selain memerhatikan likuiditas pasar, pemerintah juga harus menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Bank Indonesia (BI) sudah menurunkan suku bunga acuan 25 bps menjadi 4,75%. Angka ini diharapkan bisa menarik uang investor sehingga ada cash inflow ke pasar dalam negeri.

Ekonom Irman menilai, penting menjaga nilai tukar untuk mengendalikan rupiah.

“Jangan sampai rupiahnya banjir sementara dolarnya seret. sehingga membuat nilai dolar itu semakin tinggi rupiahnya bisa tertekan, sebaliknya pada saat dolarnya itu banyak enggak pa-pa kalau rupiahnya karena cukup balance,” jelas Imran.

Baca juga:

200 triliun
Bank Himbara
Perbankan
Kredit

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...