indeks
Rumah Flat di Menteng, Backlog, dan Alternatif Hunian Nyaman

Terdapat situasi serba tanggung bagi sebagian orang.

Penulis: Aura Antari

Editor: Sindu

Google News
Rumah Flat di Menteng, Backlog, dan Alternatif Hunian Nyaman
Contoh rumah flat di Jakarta. Foto: rujak.org

KBR, Jakarta- Mencari rumah layak dengan harga masuk akal jadi tantangan, terutama bagi generasi muda dan kelas menengah. Terlebih, itu terjadi di tengah tingginya harga properti dan makin sempitnya lahan di Jakarta.

Terdapat situasi serba tanggung bagi sebagian orang. Maksudnya, memiliki gaji cukup untuk hidup di kota, tetapi belum mampu beli rumah atau apartemen.

Tetapi, belum lama ini, ada sedikit titik terang di tengah kompleksitas yang terjadi. Perjalanan advokasi panjang yang dilakukan Rujak Center for Urban Studies akhirnya membawa perubahan. Yakni, pengakuan multi-family housing melalui zonasi baru Rumah Flat dalam Peraturan Gubernur Nomor 31 Tahun 2022 tentang Rencana Detail Tata Ruang.

Sesuai aturan tersebut, rumah flat adalah bangunan maksimal empat lantai yang bisa ditinggali beberapa keluarga. Pilihan ini berdasarkan berbagai pertimbangan, yaitu efisiensi penggunaan lahan, pengurangan biaya konstruksi, dan kemudahan implementasi di lingkungan dengan infrastruktur yang terbatas.

Ciri-Ciri

Berdasarkan Pasal 135 ayat 1 Pergub 31/2022, Rumah Flat dibedakan berdasarkan:

a. luas lahan perencanaan (LP) 240 meter persegi sampai 480 meter persegi;

b. luas LP lebih dari 480 meter persegi sampai 720 meter persegi;

c. luas LP lebih dari 720 meter persegi sampai 960 meter persegi.

Rumah Flat sebagaimana ayat (1) paling sedikit memenuhi ketentuan:

a. terdiri dari dua atau lebih kepala keluarga;

b. tanah bersama dengan konsep pertelaan;

c. luas LP paling sedikit 240 meterpersegi;

d. paling banyak 4 (empat) lantai;

e. menyediakan area parkir (bagi yang punya kendaraan) di dalam kavling atau memarkirkan kendaraan pada parkir komunal;

f. menyediakan akses mandiri untuk masing-masing unit;

g- menyediakan Ruang/bagian bersama yang dilengkapi

dengan wifi/nirkabel;

h. lantai atap dapat dimanfaatkan sebagai taman atap,

penampungan air atau Ruang bersama;

i. menyediakan teras rumah dengan lebar paling sedikit 1

(satu) meter;

j. menerapkan prinsip Zero run off,

k. menerapkan daur ulang sampah dan air;

1. tidak diperbolehkan menggunakan air tanah jika telah

terlayani jaringan air bersih; dan

m. menyediakan kolam retensi atau sumur resapan penampung air hujan.

red
Ilustrasi: Pembangunan rumah flat di Menteng, Jakarta Pusat. Foto: rujak.org


Flat Menteng

Salah satu rumah flat yang sedang jadi sorotan berada di Menteng, Jakarta Pusat. Proyek ini dimulai Marco Kusumawijaya, seorang arsitek dan aktivis kota yang memiliki tanah pribadi 280 meter persegi.

Harga dan pengelolaan ditentukan bersama lewat Koperasi Perumahan dan sistem Community Land Trust. Melalui sistem ini, penghuni terlibat langsung pengelolaan, mulai dari iuran bulanan hingga perawatan bangunan.

Di umah flat ini juga ada ruang usaha, toko buku, kedai kopi, dan ruang kerja bersama. Bangunannya dirancang jadi tempat hidup, bukan sekadar tempat tidur

Salah satu alasan rumah flat Menteng lebih terjangkau adalah karena model sewa tanah jangka panjang. Tanah milik Marco disewakan ke koperasi penghuni selama 60 tahun, dengan total sewa Rp90 juta per tahun. Biaya itu dibagi seluruh penghuni, sesuai luas unit masing-masing.

Karena tidak melibatkan pdeveloper, harga tiap unit di rumah flat Menteng ditentukan berdasarkan biaya nyata, yaitu sewa tanah, bahan bangunan, upah tukang, dan iuran koperasi.

Kisaran biaya unit di rumah flat ini variatif, tergantung kebutuhan dan kemampuan masing-masing penghuni. Unit terkecil di rumah flat ini berukuran 40 meter persegi, dengan biaya sekitar Rp380 juta.

Ada yang sekitar Rp400 juta untuk luas 42,5 meter persegi. Adapula yang mengeluarkan sekitar Rp700 juta untuk membangun unitnya sendiri. Sementara unit paling besar seluas 128 meter persegi, dibangun dengan biaya sekitar Rp1,2 miliar.

Para penghuni membuat perjanjian untuk menyewa unit hunian selama maksimal 60 tahun. Kenaikan sewanya diatur per 5 tahun dengan persentase tertentu. Ada perjanjian hukum dengan akta notaris. Serta larangan pemilik tanah untuk menjamin haknya.

Missing Middle, Kelompok yang Terlupakan.

Melansir website Rujak Center for Urban Studies, missing middle dapat berarti ganda. Bisa berarti kelas menengah maupun bentuk hunian. Bentuk hunian terpengaruh intensitas, pola, dan struktur ruang. Missing middle secara spasial adalah keterbatasan pilihan jenis hunian, yaitu hanya rumah tapak dan rumah susun kepadatan tinggi.

Definisi missing middle lain adalah berkurangnya kelas menengah yang dapat mengakses hunian di tengah kota. Kebijakan perumahan di Indonesia selama ini cenderung memprioritaskan pembangunan apartemen mewah untuk kelas atas atau rumah subsidi untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).

Akibatnya, masyarakat kelas menengah, atau yang sering disebut sebagai missing middle, tidak memiliki banyak pilihan hunian yang layak dan terjangkau.

Mereka mencakup pekerja profesional muda, keluarga dengan penghasilan menengah, dan kelompok lain yang berada di antara kelas atas dan bawah. Kelompok ini sering kali terdorong untuk tinggal di pinggiran kota, karena harga hunian di pusat kota tidak terjangkau. 

Dampaknya, mereka harus menghadapi perjalanan panjang setiap hari, yang tidak hanya menguras waktu dan energi, tetapi juga meningkatkan polusi dan kemacetan.

red
Warga melihat hunian di kawasan perkotaan. Foto: rujak.org


Tanggapan Gen Z

Rayhan (26), seorang karyawan swasta yang tinggal di Jakarta Selatan, tengah mempertimbangkan hunian alternatif seperti rumah flat.

Sebagai bagian dari generasi muda yang baru beberapa tahun masuk dunia kerja, ia merasakan tantangan memiliki tempat tinggal layak di Jakarta, terutama yang lokasinya masih terjangkau transportasi umum.

“Sekarang ngekos, tempatnya oke sih, bersih dan nyaman. Tetapi, jauh dari stasiun, jadi ke mana-mana naik motor,” ujarnya kepada KBR, Jumat, (11/7/2025).

Kosnya dihuni puluhan orang dari latar belakang yang berbeda-beda, sehingga kadang tidak ada rasa tenang atau privasi.

“Kalau masih sendiri sih, ya, enggak apa-apa. Tetapi, kalau nanti sudah nikah, bakal nyari alternatif lain sih. Mungkin tadi rumah flat menarik juga,” katanya.

“Butuh tabungan yang besar, ya, kalau liat konsepnya, tetapi kayaknya nyaman buat yang sudah berkeluarga,” ujarnya.

Rayhan mengatakan, selama ini bantuan dan subsidi perumahan lebih banyak untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Sementara kelompok pekerja muda yang tidak miskin, tetapi juga belum mapan justru sering kali terlewat.

“Bantuan rumah tuh seringnya buat yang penghasilan di bawah UMR. Kita yang di tengah-tengah gini enggak masuk kriteria, padahal juga kesulitan beli rumah. Harusnya pemerintah mulai mikirin juga skema subsidi buat kelas menengah,” pungkasnya.

Data Kebutuhan Rumah

Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi (Susenas) BPS 2024, angka backlog alias jumlah rumah yang dibutuhkan bagi keluarga yang belum punya hunian tercatat 9 juta unit.

Angka ini menurun jika disbanding 2022 yang ada di angka 10,51 juta unit. Meskipun terjadi penurunan, angka 9 juta unit masih menunjukkan kebutuhan perumahan yang sangat besar dan mendesak.

Sebaran

Mengutip Peta Jalan Menuju Pembangunan dan Renovasi Tiga Juta Rumah yang dilansir Kementerian PKP di Jakarta, 19 Mei 2025, terdapat beberapa wilayah dengan jumlah backlog tertinggi di Indonesia.

1. Jawa Barat: 2,07 juta unit

2. DKI Jakarta: 1,08 juta

3. Sumatera Utara: 933,53 ribu

4. Jawa Timur: 932,47 ribu

5. Jawa Tengah: 812,83 ribu

6. Banten: 425,85 ribu

7. Riau: 351,22 ribu

8. Sumatra Barat: 344,41 ribu

9. Sumatra Selatan: 239,45 ribu

10. Sulawesi Selatan: 239,45 ribu

red
Ilustrasi: Pembangunan rumah untuk rakyat. Foto: ANTARA


Permasalahan

Tim peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) membedah sejumlah faktor penyebab terjadinya backlog. Hasil kajian itu mereka tuangkan dalam laporan "Ribut soal Tapera: Kebijakan Harga Mati untuk Turunkan Angka Kekurangan Perumahan Nasional?".

Permasalahan dasar mengapa angka backlog Indonesia masih sangat tinggi; di satu sisi terdapat kelebihan penawaran rumah (oversupply housing), namun di sisi lain terjadi kekurangan penawaran rumah dengan harga terjangkau (undersupply affordable housing).

Pasar perumahan di Indonesia terus tumbuh, didorong pertumbuhan populasi dan tingkat urbanisasi. Sensus Penduduk (SP) 2020 menunjukkan, jumlah penduduk Indonesia meningkat menjadi 270,2 juta jiwa (BPS, 2021).

Selain itu, tingkat urbanisasi diestimasi akan meningkat dan mencapai 66,6% pada 2035 atau lebih dari separuh penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan. Permintaan akan rumah hunian, terutama di kota-kota besar wilayah metropolitan seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung, pasti akan terus meningkat.

Namun demikian, banyak penduduk Indonesia, terutama mereka yang berasal dari golongan berpenghasilan rendah dan menengah, kesulitan mengakses kepemilikan rumah layak huni dengan harga terjangkau dan lokasinya terhubung dengan pusat aktivitas ekonomi kota.

Di sisi lain, terdapat indikasi kelebihan penawaran di segmen perumahan bagi kelompok berpendapatan menengah ke atas. Banyak pengembang atau developer properti yang lebih memilih berinvestasi membangun unit rumah dan apartemen pada segmen ini. Karena itu, investasi untuk membangun rumah lebih sedikit, karena pertimbangan margin keuntungan.

Di saat yang sama, harga jual atas rumah dan apartemen tidak seimbang dengan daya beli mayoritas masyarakat yang sudah berada dalam situasi prioritas untuk memiliki rumah. Para developer pun sulit mewujudkan hunian layak berkualitas, karena harga lahan mahal, biaya konstruksi meningkat, dan kebijakan pembiayaan yang belum optimal.

Untuk rumah tapak, misalnya, terdapat kendala berupa mahalnya harga lahan yang pada akhirnya menyebabkan harga jual rumah menjadi semakin tinggi. 

Sementara itu, jika developer membangun hunian vertikal atau rumah susun (rusun) untuk kalangan menengah atau menengah bawah, margin keuntungan yang diperoleh relatif tidak sepadan dengan risiko bisnisnya.

Berdasarkan selera pasar, rumah tapak masih relatif lebih diminati masyarakat daripada rumah susun. Situasi ini juga menjadi salah satu pertimbangan investasi para pengembang properti.

Baca juga:

Rumah Flat
Backlog
Rumah

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...