indeks
PP Muhammadiyah Minta Penjelasan Spesifik Pendidikan Premium Kena PPN 12%

"Ya harapan kami pemerintah perlu men-declare yang dimaksud kategori premium itu seperti apa. Mungkin di situ, supaya tidak menimbulkan spekulasi," katanya

Penulis: Ken Fitriani

Editor: Resky Novianto

Google News
PP
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir dalam refleksi akhir tahun 2024 di kantor PP Muhammadiyah Yogyakarta, Selasa (31/12/2024). (Foto : KBR/Ken)

KBR, Yogyakarta- Pemerintah akan mulai menerapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen pada 1 Januari 2025. PPN 12 persen ini dikhawatirkan bakal diterapkan di dunia pendidikan, khususnya kategori premium

Menanggapi hal itu, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir meminta pemerintah memberikan penjelasan terkait dengan apa yang dimaksud dalam kategori premium tersebut. Hal ini mengingat Muhammadiyah memiliki banyak sekolah mulai dari TK hinggan Perguruan Tinggi.

"Ya harapan kami pemerintah perlu men-declare yang dimaksud kategori premium itu seperti apa. Mungkin di situ, supaya tidak menimbulkan spekulasi," katanya di Kantor PP Muhammadiyah, Selasa (31/12/2024).

Haedar mengatakan kategori premium seharusnya memiliki level tingkat tinggi. Misalnya, jika premium itu dikategorikan sebagai penghasilan, maka itu adalah pendapatan tertinggi.

"Jadi perlu ada penjelasan dan mungkin juga bagaimana masyarakat itu bisa menerima bahwa itu objektif. Kebijakan itu objektif. Jadi lebih baik kategori premium itu harus diperketat ya. Syukur kalau ada peninjauan secara keseluruhan ya," ujarnya.

Haedar menyebut, sebelumnya PP Muhammadiyah pernah mengusulkan kepada pemerintah tentang reorientasi peningkatan perpajakan yang sesuai dengan kondisi Indonesia dan bangunan ekonomi Indonesia.

"Dulu saya yang termasuk yang mengusulkan itu. Jadi bangunan ekonomi Indonesia itu kan ekonomi yang bukan kapitalis, liberal. Kata Bung Hatta ekonomi terpimpin dimana negara hadir sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat," jelasnya.

Menurut Haedar, di dalam pasal 33 UUD 1945 juga disebutkan secara fundamental bahwa penetapan PPN 12 persen ini bertentangan dengan prinsip individualisme dan liberalisme.

"Jadi kementerian yang mengurus perpajakan itu mencoba, bukan hanya soal narik pajak, tapi sejalan dengan kondisi kemudian falsafah bangsa Indonesia dan sistem ekonomi Indonesia," ujarnya.

Kata Haedar, hal ini penting agar kebijakan-kebijakan yang diambil tidak sama persis dengan apa yang diterapkan oleh sistem kapitalisme liberal.

"Bahkan Pak Prabowo kan di mana-mana jug menyampaikan tentang tidak sejalannya ekonomi konstitusi dengan prinsip neo liberal. Neo liberal kan lebih liberal dari yang liberal gitu kan," imbuhnya.

Haedar berharap, ada pejabat yang memahami tentang ilmu ekonomi yang bisa diterapkan dengan kebijakan. Hal itu bisa membantu dalam mengkonfirmasi pada sistem ketatanegaraan Indonesia termasuk pada Pancasila.

"Bahkan saya pernah menyebut perpajakan Pancasila atau berbasis Pancasila. Kita tidak u tuk menghindari pajak, saya yakin bangsa Indonesia itu taat pada pajak. Tetapi ingat, misalkan, apalagi swasta ya kaya Muhammadiyah, setiap membangun itu kan untuk bangsa, untuk negara. Jadi ini perlu menjadi perhatian kesitu. Nah nggak ada salahnya kebijakan itu perlu dikonfirmasi pada sistem dan falsafah negara kita, serta bangunan sosial masyarakat dan bangsa Indonesia," terang Haedar.

Jika hal itu tidak dilakukan, lanjut Haedar, kemungkinan akan terjadi dualisme, yakni akan melihat masyarakat berjalan dengan iramanya dan pemerintah berjalan dengan kebijakannya sehingga terjadi kontradiksi.

"Kalau ada pengecualian kaya premium tadi ya diperjelas premiumnya seperti apa gitu kan. Dan mana yang disasar, sehingga semuanya terbuka," pungkas Haedar.

Baca juga:

PPN 12% Berlaku 2025, Bagaimana Harga Tiket Kereta Api?

PPN 12 Persen
PPN 12%
PP Muhammadiyah
pendidikan
premium
pendidikan premium

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...