Berikut beberapa hal dalam Qanun itu yang dipersoalkan Kementerian Dalam Negeri. Surat permintaan klarifikasi diterima pemerintah Aceh pada awal April ini.
Penulis: Agus Luqman
Editor:
KBR68H, Jakarta - Pro kontra terbitnya Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh sudah memakan waktu lebih dari setengah bulan.
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi bersama sejumlah petinggi Kementerian Dalam Negeri sempat sekali mengunjungi Aceh. Gamawan menemui Gubernur Aceh Zaini Abdullah, Ketua DPR Aceh Hasbi Abdullah, Pemangku Wali Nangroe Malek Mahmud dan sejumlah petinggi Provinsi Aceh. Peristiwa kunjungan semacam ini belum pernah terjadi selama Kementerian Dalam Negeri mengevaluasi peraturan daerah (Perda) di provinsi lain di Indonesia.
Sejumlah pertemuan digelar untuk mencari titik temu. Ada 13 hal yang dipersoalkan Kementerian Dalam Negeri terkait isi Qanun Nomor 3 Tahun 2013, karena dianggap tidak tepat atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Surat klarifikasi Menteri Dalam Negeri menyebutkan, "bahwa berdasarkan hasil kajian Tim Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia bersama dengan Kementerian dan Lembaga Pemerintah Non Kementerian terkait, beberapa substansi Qanun dimaksud bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta aturan dalam pembuatan legal drafting...."
Berikut beberapa hal dalam Qanun itu yang dipersoalkan Kementerian Dalam Negeri. Surat permintaan klarifikasi diterima pemerintah Aceh pada awal April ini.
1. Ketentuan Menimbang mencantumkan MoU Helsinki
Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh mencantumkan tiga butir menimbang yang menyebutkan perjanjian damai Helsinki.
Menimbang:
a) bahwa dalam rangka pelaksanaan Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka
(Memorandum of Understanding Between The Government of Republic of Indonesia And The Free Aceh Movement Helsinki 15 Agustus 2005), Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka menegaskan komitmen mereka untuk menyelesaikan konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua, dan para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga Pemerintahan Rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. bahwa Bendera dan Lambang Aceh merupakan sarana pemersatu, identitas, dan wujud eksistensi Aceh yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan Aceh sebagaimana diamanatkan dalam MoU Helsinki dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh;
d) bahwa seiring dengan adanya Kesepahaman Damai antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang tertuang dalam butir 1.1.5 MoU Helsinki dan dipertegas kembali dalam pasal 246 Ayat (2) dan Pasal 247 Ayat (1) Undang-Undang Ayat 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, maka Peraturan Daerah Istimewa Aceh Nomor 39 Tahun 1961 tentang Lambang Daerah Istimewaan Aceh, perlu diganti;
Tanggapan pemerintah:
1. Konsideran menimbang huruf a, huruf b, dan huruf d yang terkait dengan Memorandum of Understanding Between The Government of Republic of Indonesia and The Free Aceh Movement Helsinki 15 Agustus 2005, tidak perlu dimuat karena substansi MoU telah diwujudkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
2. Dasar hukum pembuatan Qanun Nomor 3/2013
Pada butir 'mengingat', angka 8, Qanun ini mencantumkan: Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4711).
Tanggapan pemerintah:
Dasar hukum mengingat angka 8 bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Lampiran II angka 28. Di sana disebutkan,
"Dasar hukum diawali dengan kata Mengingat.
Dasar hukum memuat:
a). Dasar kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan dan
b). Peraturan perundang-undangan yang memerintahkan pembentukan peraturan perundang-undangan”.
3. Pasal 4 Qanun Nomor 3/2013 tentang Bentuk Bendera Aceh.
Pasal 4
ayat (1): Bendera Aceh berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran lebar 2/3 (dua pertiga) dari panjang, dua buah garis lurus putih di bagian atas, dua buah garis lurus putih di bagian bawah, satu garis hitam di bagian atas, satu garis hitam di bagian bawah, dan di bagian tengah bergambar bulan bintang dengan warna dasar merah, putih dan hitam.
ayat (2) Satu garis hitam di bagian atas dan satu garis hitam di bagian bawah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), besarnya dua kali dari ukuran garis putih yang mengapitnya.
ayat (3) Dua buah garis lurus warna putih pada bagian atas dan dua buah garis lurus warna putih pada bagian bawah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berukuran sama yang besarnya setengah dari garis warna hitam.
ayat (4) Satu garis warna hitam pada bagian atas dan satu garis warna hitam pada bagian bawah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berukuran dua kali lebih besar dari garis warna putih.
ayat (5) Dasar warna merah pada bagian atas dan dasar warna merah pada bagian bawah berukuran sama besar dengan garis warna hitam.
ayat (6) Dasar warna merah pada bagian tengah menyesuaikan dengan besarnya bendera sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Lampiran I menampilkan visualisasi bentuk dan warna bendera Aceh, seperti gambar di bagian atas tulisan ini.
Tanggapan pemerintah:
Pasal 4 dan Lampiran I bertentangan dengan Pasal 6 Ayat (4) dan Penjelasan Pasal 6 Ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah, yang menyebutkan;
a. “Desain logo dan bendera daerah tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
b. “Yang dimaksud dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam ketentuan ini misalnya logo dan Bendera Bulan Sabit yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Aceh, logo burung Mambruk dan Bintang Kejora yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Papua, serta Bendera Benang Raja yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Maluku.”
4. Pasal 6 tentang waktu pengibaran bendera Aceh.
Pasal 6 ayat (3): Bendera Aceh wajib dikibarkan pada setiap Peringatan Hari Besar Aceh (PHBA) atau peringatan hari bersejarah lainnya di samping Bendera Merah Putih.
Tanggapan pemerintah:
Pasal 6 Ayat (3) bertentangan dengan Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah, yang menyebutkan bahwa “Bendera daerah tidak dikibarkan pada upacara memperingati hari-hari besar kenegaraan di daerah, upacara hari ulang tahun daerah, dan/atau upacara/apel bendera lainnya.”
5. Pasal 7 tentang tempat pengibaran bendera Aceh.
Pasal 7 ayat (1): Di samping Bendera Merah Putih, Bendera Aceh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dikibarkan pada:
a. Istana Wali Nanggroe Aceh;
b. kantor Gubernur Aceh;
c. kantor bupati/walikota;
d. gedung atau kantor lembaga Pemerintah Aceh;
e. gedung atau kantor lembaga instansi vertikal di Aceh;
f. gedung atau kantor lembaga Pemerintah Kabupaten/Kota di Aceh;
g. gedung atau kantor DPRA;
h. gedung atau kantor DPRK;
i. gedung atau kantor penghubung dan/atau perwakilan Pemerintah Aceh;
j. gedung atau kantor Badan Usaha Milik Negara;
k. gedung atau kantor Badan Usaha Milik Aceh;
l. gedung atau kantor Badan Usaha Milik Pemerintah Kabupaten/Kota;
m. gedung atau kantor Camat;
n. gedung atau kantor Mukim atau nama lain;
o. gedung atau kantor Keuchik atau nama lain;
p. gedung atau halaman satuan pendidikan;
q. gedung atau kantor swasta;
r. rumah jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur;
s. rumah jabatan pimpinan DPRA;
t. rumah jabatan Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota;
u. rumah jabatan pimpinan DPRK;
v. gedung atau kantor atau rumah jabatan lainnya; dan/atau
w. pos perbatasan dan pulau-pulau terdepan/terluar di wilayah Aceh.
Tanggapan pemerintah:
Pasal 7 Ayat (1) huruf e, huruf j, huruf q, dan huruf w bertentangan dengan Pasal 10 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah, yang menyebutkan “Bendera daerah dapat digunakan sebagai pendamping bendera Negara pada bangunan resmi pemerintahan daerah, gapura, perbatasan antarprovinsi, kabupaten dan kota, serta sebagai lencana atau gambar dan/atau kelengkapan busana.”
Tempat-tempat seperti pada ayat (1) huruf e, huruf j, huruf q dan huruf w pada pasal 7 dianggap tidak termasuk yang diperbolehkan menurut undang-undang.
6. Pasal 8 tentang tempat pemasangan bendera Aceh
Pasal 8 Ayat (1): Bendera Aceh dapat dikibarkan dan/atau dipasang pada:
a. pertemuan resmi Pemerintah Aceh dan/atau organisasi pemerintah/swasta;
b. kendaraan dinas;
c. perayaan keagamaan atau adat;
d. pertandingan olahraga; dan/atau
e. perayaan/peristiwa bersejarah lainnya.
Tanggapan pemerintah:
Pasal 8 Ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, bertentangan dengan Pasal 10 Ayat (1) dan Ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah, yang menyebutkan:
a. “Bendera daerah dapat digunakan sebagai pendamping bendera Negara pada bangunan resmi pemerintahan daerah, gapura, perbatasan antar provinsi, kabupaten dan kota, serta sebagai lencana atau gambar dan/atau kelengkapan busana.”
b. “Bendera daerah dapat digunakan dan ditempatkan dalam pertemuan resmi kepala daerah dengan mitra kerja/badan/lembaga dari luar negeri.”
Tempat-tempat seperti pada huruf b, c, d dan e pada Ayat (1) tidak termasuk yang diperbolehkan sebagai tempat pengibaran bendera daerah.
7. Pasal 8 Ayat (2) dan Ayat (3) tentang pemasangan bendera Aceh di mobil
Ayat (2): Disamping Bendera Merah Putih, Bendera Aceh dipasang pada mobil dinas Wali Nanggroe, Gubernur/Wakil Gubernur, Pimpinan DPR Aceh, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota, Pimpinan DPR Kabupaten/Kota, sebagai tanda kedudukan.
Ayat (3): Bendera Aceh sebagai tanda kedudukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dipasang di samping kiri bagian depan mobil.
Tanggapan pemerintah:
Pasal 8 Ayat (2) dan Ayat (3) bertentangan dengan Pasal 10 Ayat (1) dan Ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah, yang menyebutkan:
a. “Bendera daerah dapat digunakan sebagai pendamping bendera Negara pada bangunan resmi pemerintahan daerah, gapura, perbatasan antar provinsi, kabupaten dan kota, serta sebagai lencana atau gambar dan/atau kelengkapan busana.”
b. Bendera daerah dapat digunakan dan ditempatkan dalam pertemuan resmi kepala daerah dengan mitra kerja/badan/lembaga dari luar negeri.”
Pemasangan bendera daerah di mobil tidak termasuk yang diperbolehkan sebagai tempat pengibaran bendera daerah. (bersambung ke: Polemik Qanun Bendera Aceh; Dari Pengibaran untuk Perkabungan Hingga Gambar Singa (2)