"Jadi saya berpikir, selain pelatihan masif, selain sertifikasi yang harus kita perbaiki. Yang tidak kalah pentingnya harus siber kita harus kuat di Indonesia ini."
Penulis: Hoirunnisa
Editor: Muthia Kusuma

KBR, Jakarta- Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) mendorong peningkatan pengawasan sektor siber untuk mencegah Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Menteri P2MI/Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), Abdul Kadir Karding, mengungkapkan modus operandi TPPO saat ini banyak memanfaatkan media sosial.
"Jadi saya berpikir, selain pelatihan masif, selain sertifikasi yang harus kita perbaiki. Yang tidak kalah pentingnya harus siber kita harus kuat di Indonesia ini. Komdigi harus lebih di upgrade atau lembaga-lembaga lain. Karena memang modusnya tidak hanya lagi tradisional," kata Abdul Kadir dalam Diskusi Publik 'Mendorong Penyusunan Road Map Pencegahan dan Penanganan TPPO Berbasis HAM' di kanal Komnas HAM, Kamis (5/12/2024).
Baca juga:
- Polisi Membekuk Empat Tersangka Perdagangan Anak di Kulon Progo
- Migrant CARE: Perlindungan PMI di Malaysia Masih Kurang
Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Abdul Kadir Karding mengatakan, jumlah pekerja migran Indonesia yang tercatat sejak tahun 2007 hingga November 2024 mencapai lebih dari 5 juta orang. Angka ini menunjukkan besarnya ancaman menjadi korban TPPO.
Sementara itu, Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro mengungkapkan data dari Global Slavery Index yang menunjukkan negara Indonesia termasuk dalam 10 negara dengan estimasi jumlah orang yang hidup dalam perbudakan modern terbesar di dunia.
"Tentu perbudakan disini jangan dibayangkan seperti jaman dahulu, perbudakan modern atau modern slavery samar dan sulit diidentifikasi karena terselubung sifatnya. Hubungan kerja sosial yang mengandung eksploitasi seringkali luput dari amatan kita," kata Atnike.
Lebih lanjut, Atnike mengutip data Kementerian Luar Negeri yang menyebutkan bahwa sekitar 1.200 pekerja migran Indonesia menjadi korban TPPO scamming di kawasan Asia Tenggara pada tahun 2022.
Menghadapi situasi ini, Atnike mendorong seluruh pihak, baik pemerintah, kepolisian, maupun lembaga terkait perlu bersinergi untuk menyusun peta jalan pencegahan dan penanganan TPPO berbasis HAM. Menurutnya, pengawasan siber yang lebih ketat menjadi salah satu langkah penting dalam upaya mencegah terjadinya TPPO.
Baca juga: