indeks
Penantian 14 Tahun RUU Masyarakat Adat, Hanya Bolak-balik Masuk Prolegnas Prioritas

“Pengesahan RUU Masyarakat Adat bukan sekadar tugas legislasi, melainkan komitmen moral sekaligus kewajiban negara menghentikan ketidakadilan yang dialami masyarakat adat selama puluhan tahun."

Penulis: Agus Luqman

Editor: Wahyu Setiawan

Google News
Penantian 14 Tahun RUU Masyarakat Adat, Hanya Bolak-balik Masuk Prolegnas Prioritas
Ilustrasi. Aksi mendukung masyarakat adat Papua di gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Senin (22/07/2024). (Foto: ANTARA/Galih Pradipta)

KBR, Jakarta – Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat mendesak DPR dan pemerintah segera membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Masyarakat Adat yang terkatung-katung pembahasannya selama 14 tahun.

Sejak pertama kali digagas 2003 dan naskah akademiknya dirumuskan pada 2010 di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, RUU Masyarakat Adat bolak-balik masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas. RUU ini sempat masuk Prolegnas Prioritas 2017, 2018, 2019, 2020, 2021, 2022, 2023 dan 2024. Selanjutnya, RUU Masyarakat Adat kembali masuk Prolegnas Prioritas 2025.

Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat menyebut masuknya RUU ini ke Prolegnas Prioritas mestinya jadi momen bagi DPR untuk menunjukkan keberpihakan nyata terhadap masyarakat adat.

"Kami berharap delapan fraksi partai politik di DPR RI segera membahasnya pada tahun 2025," kata Kasmita Widodo, Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) mewakili Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, dalam rilis yang diterima KBR, Jumat (22/11/2024).

Koalisi juga menyebut tidak adanya payung hukum bagi masyarakat adat menciptakan ruang yang semakin memperparah ketidakadilan terhadap masyarakat adat.

"Kriminalisasi terhadap mereka semakin masif, dengan banyak kasus penangkapan hanya karena mereka berusaha mempertahankan tanah ulayat atau menjalankan hukum adat. Di sisi lain, tanah ulayat yang menjadi sumber kehidupan berbasis adat terus terampas oleh proyek-proyek besar tanpa persetujuan atau konsultasi yang layak, mengabaikan prinsip hak asasi manusia dan hak-hak masyarakat adat," kata Syamsul Alam Agus, Ketua Badan Pelaksana Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN).

Kasus kriminalisasi yang dialami masyarakat adat di antaranya terhadap masyarakat adat O Hangana Manyawa di Maluku Utara, masyarakat adat Pocoleok di Kabupaten Manggarai NTT, masyarakat adat Nangahale dari Kabupaten Sikka NTT, masyarakat adat dari Dolok Parmonangan, Sihaporas, Sigala Gala di Tano Batak, Sumatera Utara, masyarakat adat di sekitar pembangunan Ibu Kota Nusantara di Kabupaten Paser dan Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, serta masyarakat adat di Papua dan Jawa.

"Mereka hingga saat ini masih mengalami pergulatan dengan adanya ancaman pengkriminalisasian secara struktural,” kata Syamsul Alam Agus.

Baca juga:

Ancaman Baru dari "Proyek Hijau"

Di tengah krisis iklim yang semakin mendesak, masyarakat adat juga menghadapi ancaman baru. Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional Uli Arta Siagian menyebut komitmen global yang mengedepankan solusi palsu iklim seringkali menjadi petaka bagi masyarakat adat.

"Atas nama iklim, proyek-proyek "hijau" menjadi alat perampasan wilayah adat dan kriminalisasi. Perdagangan karbon, teknikalisaai karbon, transisi energi, hanya terus memperpanjang krisis sembari menjadikan wilayah adat sebagai komoditas yang layak untuk dijadikan objek bisnis. Sehingga yang dibutuhkan adalah kebijakan yang melindungi Masyarakat Adat, wilayahnya bahkan pengetahuannya serta praktik tradisional nya dalam melindungi bumi," kata Uli Arta Siagian.

Sementara itu, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan, masyarakat adat juga menghadapi ancaman kebijakan nasional seperti pengaturan "Hukum yang Hidup" dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta produk regulasi turunannya.

Aturan itu mengancam eksistensi lembaga musyawarah adat dan hukum adat yang telah menjadi inti dari keberlanjutan komunitas adat.

"Regulasi ini bukan hanya melemahkan kelembagaan adat, tetapi juga membuka ruang bagi penghapusan nilai-nilai yang telah terjaga selama ratusan tahun," kata Isnur.

Perempuan adat dan pemuda-pemudi adat serta kelompok penyandang disabilitas di Komunitas Adat menjadi kelompok yang paling rentan menghadapi semua tekanan ini.

Senior Campaigner Kaoem Telapak, Veni Siregar mengatakan, kehilangan tanah ulayat sebagai sumber penghidupan menjadikan perempuan adat kehilangan ruang untuk mendukung keluarga dan komunitas mereka.

Veni mengatakan beban ganda yang dialami perempuan adat semakin menonjol, kontras dengan program pemerintah yang sering kali menjanjikan tempat tinggal layak bagi warganya. Belum lagi pengabaian hak-hak masyarakat adat membuat mereka kehilangan akses dan terpinggirkan secara struktural, menambah daftar panjang ketimpangan yang harus dihadapi oleh negara.

Veni Siregar mengatakan RUU Masyarakat Adat adalah peluang untuk memperbaiki ketidakadilan ini. Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat mendesak DPR agar segera memenuhi janjinya untuk mengesahkan RUU ini menjadi undang-undang pada tahun depan.

"Masyarakat adat tidak membutuhkan janji baru atau sekadar wacana, melainkan perlindungan yang nyata dan menyeluruh atas wilayah adat, hukum adat, dan kelembagaan adat mereka," kata Veni Siregar.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi menuntut DPR membuktikan keberpihakannya kepada masyarakat adat, demi keadilan hak asasi manusia dan keberlanjutan masyarakat adat di Indonesia.

"Pengesahan RUU Masyarakat Adat bukan sekadar tugas legislasi, melainkan komitmen moral sekaligus kewajiban negara menghentikan segala bentuk ketidakadilan yang dialami masyarakat adat selama puluhan tahun---dalam konteks kriminalisasi, konflik lahan, krisis iklim dan perlindungan masyarakat adat sebagai penjaga keanekaragaman terbaik," kata Rukka.

Dengan mengesahkan RUU Masyarakat Adat, kata Rukka, DPR juga dapat membuktikan komitmen Indonesia dalam menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keadilan iklim di mata dunia.

Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat terdiri dari YLBHI, HuMa, Seknas WALHI, KPA, KEMITRAAN, ICEL, Debt Watch, PEREMPUAN AMAN, Yayasan PUSAKA, Kaoem Telapak, Yayasan Madani Berkelanjutan, BRWA, JKPP, merDesa Institute, RMI, EPISTEMA, Greenpeace Indonesia, Lakpesdam NU, KIARA, LOKATARU, Forest Watch Indonesia (FWI), Sawit Watch, PPMAN, Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), Yayasan Jurnal Perempuan (YPJ), Forum Masyarakat Adat Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Format-P), Kalyanamitra, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), SATUNAMA, Protection International Indonesia, KKC Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Working Group ICCAs Indonesia, AMAN, Samdhana, EcoAdat.

Baca juga:

Hukum
Politik
RUU Masyarakat Adat
Masyarakat Adat
Prolegnas
Prolegnas Prioritas

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...