kebijakan impor dokter asing ini belum mengatasi masalah kurangnya jumlah dokter di tanah air
Penulis: Hoirunnisa
Editor: Muthia Kusuma

KBR, Jakarta- Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) meminta pemerintah tidak mengobral izin praktik dokter asing, dengan memberlakukan persyaratan ketat.
Ketua PB IDI, Mohammad Adib Khumaidi mengatakan persyaratan impor dokter asing diharapkan dapat mengantisipasi praktik ilegal.
"Artinya Indonesia harus punya domestic regulation dalam hal untuk memproteksi warga negaranya. Melalui sebuah persyaratan tadi, evaluasi administrasi, evaluasi kompetensi, atau letter of good understanding. Sehingga kalau kemudian kita bicara. Apakah dokter asing itu bisa masuk di Indonesia? Kalau umpamanya sudah ada domestic regulation-nya ya saya kira bisa. Dengan ketentuan yang harus dihormati oleh orang-orang yang mau masuk ke RI,” ujar Adib dalam diskusi daring melalui Zoom, Selasa (9/7/2024).
Meski begitu, Adib Khumaidi mengingatkan pemerintah bahwa kebijakan impor dokter asing ini belum mengatasi masalah kurangnya jumlah dokter di tanah air. Apalagi, pemenuhan kebutuhan dokter merupakan masalah kompleks.
Baca juga:
- PB IDI: Konsep Naturalisasi Dokter Spesialis Asing Tak Ancam Dokter Lokal
- Jokowi: Indonesia Kekurangan 124 Ribu Dokter Umum dan 29 Ribu Dokter Spesialis
"Jadi apakah ini bisa menjadi solusi, untuk saat ini belum bisa terjawab. Sebab ini masalah yang kompleks dan tata kelola tenaga medis atau dokter spesialis ini harus kemudian kita perbaiki bersama," kata Adib.
Lebih jauh Adib meminta pemerintah mengapresiasi tenaga kesehatan dan dokter dari dalam negeri. Apalagi dokter di dalam negeri dinilai berkompetensi dan mampu bersaing dengan dokter dari negara lain.
"Jadi tidak ada masalah kita dengan dokter dari luar negeri. Tapi yang kita dorong adalah bagaimana negara lebih memberikan apresiasi. Karena masih banyak permasalahan dalam tata kelola ini yang harus diperbaiki," kata Adib.
Adib mencatat rasio dokter spesialis terhadap pendidik nasional adalah 1,5 per 10.000 penduduk. Sedangkan, pada tingkat provinsi, rasio terendah di Papua sebesar 0,69 dan rasio tertinggi di Jakarta yang mencapai 6,3 per 10.000 penduduk.