indeks
Cari Kerja Sulit, Job Fair Bisa jadi Solusi?

Lapangan pekerjaan jadi barang mahal saat ini, job fair dinilai jadi salah satu pintu untuk mendapatkan pekerjaan.

Penulis: Nafisa Deana

Editor: Valda Kustarini

Audio ini dihasilkan oleh AI
Google News
Cari Kerja Sulit, Job Fair Bisa jadi Solusi?
Ilustrasi bursa kerja.
TL;DR
  • Job fair ricuh menunjukkan jumlah pencari kerja yang jauh melebihi lowongan yang tersedia.
  • Acara bursa kerja hanyalah gerbang akses; akar masalah ketenagakerjaan justru ketidaksesuaian kualifikasi pendidikan dengan industri.
  • Solusi permanen ada pada reformasi pendidikan, peningkatan vokasi, dan pemanfaatan teknologi dalam pendidikan dan pelatihan.

KBR, Jakarta - Fenomena membludaknya pencari kerja di bursa kerja atau job fair mencerminkan jumlah pencari kerja melebihi lowongan pekerjaan yang ada. Job fair kerap dianggap sebagai solusi masalah lapangan pekerjaan, padahal acara ini bahkan hampir tidak menyentuh akar masalah ketenagakerjaan di Indonesia.

Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Norman Luther Aruan mengatakan kegiatan job fair bukanlah hal baru yang dilakukan sebagai upaya menyerap tenaga kerja. Namun tampaknya baru belakangan ini job fair sampai menyebabkan kericuhan akibat jumlah peserta yang lebih banyak.

"Saya melihat fenomena job fair kemarin itu sebenarnya seperti fenomena gunung es. Jadi apa yang tampak di permukaan itu cuma sebagian kecil dari masalah yang sebenarnya,"

Job Fair Berakhir Rusuh, Job Fair "Online" Juga Tidak Menjanjikan

Kegiatan job fair di Bekasi, bulan Mei lalu sempat viral yang berujung ricuh, karena jumlah pencari kerja membludak, saling berdesakan dan berdorongan, hingga ada yang jatuh dan pingsan.

Kemunculan platform mencari kerja daring membuat perilaku pencari kerja juga mulai bergeser. Namun, banyaknya peminat job fair di tengah perkembangan teknologi digital membuat Norman menilai fenomena ini pun tidak menangkap gambaran situasi ketenagakerjaan saat ini.

"Job fair yang saat ini itu belum tentu bisa menangkap gambaran pencari kerja saat ini. Karena mungkin orang tidak bisa datang atau orang lebih memilih online dengan perkembangan teknologi," ujar Norman.

Iris (24), sudah berjuang mencari pekerjaan lebih dari dua tahun juga sempat mengadu nasib lewat job fair. Ia tertarik mencoba karena melihat banyak perusahaan yang buka lowongan dan beberapa di antaranya sesuai dengan jurusan kuliah. Sayangnya, setelah dua kali ikut job fair, Iris tidak dapat panggilan lanjutan.

"Dilihat dari rasio dipanggilnya (untuk proses rekrutmen selanjutnya) dan tidak terpanggil, menurut saya job fair kurang efektif," katanya.

Sementara itu, Rizqy (25) yang tiga bulan lalu kontrak kerjanyanya tidak diperpanjang, juga masih berusaha mencari kesempatan baru lewat kanal daring. Berbagai aplikasi dan platform mencari pekerjaan sudah ia jajaki. Namun, hingga kini balasan perusahaan pun tidak sebanding dengan jumlah lamaran yang telah dikirim.

"Sangat sulit (mencari kerja) karena bidang atau keahlian yang saya miliki saat ini cukup populer sehingga persaingan juga menjadi besar," ujar Rizqy.

Wulan (25) hingga saat ini belum pecah telur pekerjaan pertama. Ia merasa lapangan kerja di bidangnya semakin sedikit, sementara kualifikasi yang ia miliki kerap tidak bertemu dengan kriteria yang diinginkan perusahaan. Hal ini akhirnya mendorongnya untuk mengejar pendidikan lebih tinggi di luar negeri.

"Aku merasa pendidikan S-1 kita aja tuh nggak cukup, kita harus level up ini itu, sampai lintas jurusan untuk mendapat pekerjaan. Jujur saja, di Indonesia susah dapat pekerjaan yang sesuai passion kita, sesuai major kita, mungkin karena banyak bidang yang nggak berkembang di Indonesia," sebut Wulan.

red
Pencari kerja mencari informasi lowongan pekerjaan dalam acara Job Fair 2025 Hari Jadi ke-80 Jawa Tengah di Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Prov Jateng. (Foto: ANTARA/Makna Zaezar)
advertisement

Baca Juga:
Kontroversi Rencana Pembagian 330 Ribu Smart Digital Screen ke Sekolah

Apakah Job Fair Masih Relevan?

Norman bilang, job fair menjadi salah satu akses terhadap kesempatan kerja. Selama diselenggarakan dengan tertib, job fair masih akan menjadi opsi yang dipertimbangkan bagi para pencari kerja.

"Jadi kalau kita melihatnya sebagai pintu, pintu akses kan harus kita buka seluas-luasnya. Bisa dari job fair, bisa dari penempatan langsung, kerja sama dengan industri dan sekolah. Hal seperti ini tentu masih sangat relevan dalam jangka pendek dan menengah," ujar Norman.

Wulan juga menambahkan, meski ia sendiri tidak tertarik untuk ikut job fair, namun ia melihat kegiatan tersebut masih banyak peminatnya. Tak dapat dipungkiri, pengalaman bertemu langsung dengan perekrut tenaga kerja dan bertanya-tanya lebih jauh hanya didapat lewat job fair.

"Di dunia yang serba online ini, menurutku masih banyak orang yang lebih memilih kegiatan dan interaksi langsung, sih. Kesan dan experience yang didapat pasti beda, jadi tentu saja masih relevan," jelas Wulan.

Sementara itu, Rizqy, merasa job fair cukup membantu untuk mengetahui perusahaan dan posisi apa saja yang sedang dibuka. Di sisi lain, ia mempertanyakan efektivitas bersusah payah menghadiri job fair, sementara beberapa perusahaan hanya menerima lamaran lewat daring.

"Secara sistematisnya masih sangat kurang membantu untuk acara job fair. Karena dari adanya job fair para pencari kerja tetap harus meng-apply pekerjaan by online, mau itu melalui website resmi perusahaan ataupun third party application," katanya.

Lebih jauh, Iris melihat jika job fair dapat menimbulkan kericuhan, lebih baik kegiatan tersebut diberhentikan. Ia lebih mendorong pemerintah bekerja sama dengan industri untuk melakukan penyuluhan terkait keahlian yang dibutuhkan oleh industri.

"Job fair offline tidak lagi relevan, antara lain karena lokasi yang kadang jauh untuk sebagian orang. Selain itu, risiko terjadinya ricuh seperti job fair di Cikarang beberapa waktu lalu membuat job fair offline sudah seharusnya tidak dilakukan lagi," ucap Iris.

red
Hasil riset Populix tahun 2025 menunjukkan kualifikasi masih jadi problem perusahaan mencari karyawan yang sesuai dengan yang diinginkan. (Foto: Riset Populix)
advertisement

Job Fair Bukan Solusi Masalah Ketenagakerjaan di Indonesia

Berdasarkan catatan Populix tahun 2024, job mismatch masih jadi masalah di dunia ketenagakerjaan. Dalam riset yang dilakukan pada 400 responden menyebutkan 30% pencari kerja tidak memiliki latar belakang pendidikan dari pekerjaan yang mereka lamar. Para pencari kerja mencoba mendaftar karena tertarik dengan bidang yang ditawarkan.

Sementara itu di pihak perusahaan dalam riset yang sama, 46 responden perusahaan menyebut kesulitan mencari karyawan karena kualifikasi pelamar yang tidak sesuai.

Menurut Norman, akar permasalahan ketenagakerjaan di Indonesia masih berkutat di pendidikan. Misalnya job mismatch atau ketidaksesuaian kualifikasi tenaga kerja dengan kebutuhan industri. Menurutnya, hal itu bisa diminimalisir apabila lembaga pendidikan dapat menyiapkan tenaga kerja yang relevan bagi industri.

Ia menyebutkan, misalnya lembaga pendidikan seperti Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) atau politeknik dapat melakukan kerja sama dengan perusahaan-perusahaan di industri yang relevan. Kemudian, lembaga pendidikan juga bisa menawarkan sertifikasi keahlian di tingkatan pendidikan tertentu, supaya para siswa/mahasiswa sudah punya bekal untuk melamar kerja.

"Memang ada usaha-usaha untuk melakukan kerjasama dengan industri yang lebih erat. Karena memang ini hal yang harus dipersyaratkan untuk membuat transisi dari sekolah ke dunia kerja itu mulus," jelas Norman.

Norman menilai sektor padat karya masih menjadi bidang dominan yang dibutuhkan industri. Sementara, lulusan sarjana jarang berminat di sektor tersebut. Maka dari itu, ia mendorong peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) lewat pendidikan dan pelatihan vokasi agar lapangan kerja di sektor jasa ikut terbuka lebar.

"Karena untuk menghasilkan SDM-SDM yang berkualitas, dengan sendirinya sektor nanti akan bergeser ke arah industri-industri jasa. Karena negara-negara maju, mereka berubah dari yang sebelumnya manufaktur atau eksploitasi sumber daya alam menuju ke sektor-sektor jasa," kata Norman.

Selain itu, mengutip saran dari riset Populix, pemanfaatan teknologi dalam pendidikan dan pelatihan juga menjadi faktor penting meningkatkan kualitas SDM Indonesia. Sebab, pembuatan e-learning dan platform pendidikan online dapat memberikan akses ke materi pelatihan yang relevan dengan kebutuhan industri juga dapat menjadi solusi untuk mengurangi job mismatch. Keberadaan teknologi memungkinkan pekerja untuk terus meningkatkan keterampilan mereka sesuai dengan perkembangan teknologi dan pasar kerja.

Dengarkan selengkapnya di Uang Bicara episode “Ayah, Kenapa Sekarang Susah Cari Kerja?” di link bawah ini.

Baca Juga:

job fair
lapangan pekerjaan
pekerja

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...