Hidup adalah pilihan. Sebagian warga Timor-Timur memilih tinggal di Indonesia pasca jajak pendapat 1999
Penulis: Nanda Hidayat
Editor:

KBR68H - Hidup adalah pilihan. Sebagian warga Timor-Timur memilih tinggal di Indonesia pasca jajak pendapat 1999. Diantaranya seratusan orang bekas pengungsi memilih tinggal di Jawa Barat. Mereka terpaksa meninggalkan kerabat yang memilih hidup di tanah Lorosae. KBR68H pergi ke Desa Gunung Manik, Sumedang. Melihat kehidupan komunitas warga Timor-Timur yang coba bangkit dari keterpurukan.
Seratusan anak asal Timor-Timur yang tinggal di Yayasan Lemorai Timur, Desa Gunung Manik, Sumedang Jawa Barat tengah sibuk membersihkan kolam ikan. Belasan anak terlihat bertelanjang dada. Aktivitas mereka disertai canda dan tawa. Sejumlah anak asik berlarian, menikmati sore menunggu matahari terbenam. Sementara itu, sebagian anak lainnya terlihat sibuk membetulkan atap dapur yang rusak diterjang banjir. Kegiatan yang dilakukan akhir pekan itu merekatkan kebersamaan mereka.
Berpisah dari keluarga dan kampung halaman bukan berarti harus bersedih dan merasa terasing. Di tempat baru, mereka menatap masa depan. Tempat ini dijadikan pusat penampungan warga bekas provinsi ke 27 Indoneseia, khususnya dari kalangan anak-anak. Gedung dua tingkat, bercat hijau dengan luas tanah satu hektar lebih itu dibangun secara bertahap sejak 2002 silam.
Pendiri Yayasan Lemorai Timor Hasan Bisri mengatakan, setidaknya 150-an bekas pengungsi tinggal di desa ini. Sebagian besar pengungsi didominasi oleh anak-anak. Lemorai Timur mengandung arti sebagai orang yang hidup berpindah-pindah.“Jumlahnya 89 jiwa ditambah dengan yang bekeluarga ada 68 KK. Kita berkesinambungan dan kalau ada kegiatan saling mendukunng tanpa harus digaji, kalau minta di gaji tidak ada dananya,” terang Hasan.
Salah satu anak itu Nasbudi. Dia terpaksa berpisah dari keluarganya di Timor Timur demi mengejar satu impian. Melanjutkan sekolah tanpa harus merasa takut karena trauma pasca jejak pendapat 1999 . Hasil referendum rakyat di bekas provinsi ke-27 itu memilih memisahkan diri dari Indonesia. Selanjutnya berdiri negara Timor Leste. “Sudah hampir delapan tahun di sini dari Timor Timur, sekarang saya SMP kelas III. Waktu pertama ke sini saya sama orang tua dan juga diantar adiknya pak haji. Saya senang di sini karena diteriam juga,” jelasnya. Fadhlun juga punya impian sama, melanjutkan pendidikan.” Sudah berapa lama di sini ? saya dari umur 12 tahun dan sekarang umur 13 tahun. Bisa ke kesini ? saya diantar kakak dan tujuannya mau sekolah.”
Yoshua Ricardo Santos salah satu anak yang tidak mengganti nama aslinya. Kulitnya gelap,, rambutnya ikal, dan sorot matanya tajam. “Sudah berapa lama di sini ? 4 tahun, sekarang saya SMP dan ada paman yang antar saya ke sini. Sekarang pisah dengan orang tua ? iya, sudah 4 tahun. Waktu paling kangen seperti apa ? saat saya lagi sendiri. Bagaimana menghilangkan rasa kangen ? saya main bola.”
Setiap anak punya cara khusus untuk melepas rindu dengan keluarga dan kampung halamannya, seperti dituturkan Wafid. “Sudah berapa lama di sini ? delapan tahun. Sekarang SD atau SMP ? saya masih SD, kelas enam. Saya sampai ke sini diantar sama bapak. Suka kangen sama orang tua ? iya, saya telponan menanyakan bagaimana khabar semua di sana.”
Cara lain yang biasa ia lakukan dengan bermain bola. Kalau rasa rindu tak bisa lagi diatasi Bocah 11 tahun ini nekat pulang ke kampung halaman. Karena tak punya paspor dan visa kunjungan, Wafid memilih cara ilegal untuk sampai ke Timor Leste.”Bararti kalau mau pulang ke Timor bagaimana ? saya jalan tikus lewat Kupang NTT kemudian ke Timor Leste. Berapa lama perjalannya ? paling 3 jam. Takut ngak ? saya ngak takut.”
Syamsuddin bangga menjadi bagian keluarga besar Lemorai Timor. Sudah lebih 11 tahun dia tinggal di Sumedang. Tugasnya di yayasan ini mengawasi kegiatan “Paling mengawasi ketertiban anak-anak ini, seperti kebersihan.Kita awasi tidur mereka, dan juga seperti ada bangunan seperti ini kita bantuin kerja, kalau tukang Rp.60 ke atas. Kalau untuk anak-anak kecil, dianggap nakal.”Meski hidup dengan penuh kesederhanaan mereka tak sekadar berdiam diri menerima uluran tangan dermawan.
“Kalau dulu nama saya Martinus Farera, kalau sekarang nama saya Arif Marzuki.Waktu itu nama saya diberikan kepala MUI tingkat II Kabupaten Bandung.”
“Kalau yang dulu nama saya Isabel Da Silva, sekarang Al Siti Khodijah, saya ke sini tahun 1998 kalau suami duluan tahun 1997. Kami hampir mau dibunuh dengan keluarga sendiri di sana.”
Bertahan Hidup
Arief dan Khodijah adalah orang yang ikut berperan mendirikan Yayasan Lemorai Timur di Sumedang,. Arief mengenang ihwal berdirinya yayasan ini :”Terpaksa kita harus cari nafkah untuk kehidupan anak-anak, kita mengamennya dekat kantor gubernuran dan di sana ada lampu merah kita mengamen di situ. Kita baru tahu kondisi di sini dan belum punya pengalaman cari uang di sini dan kita berusaha, kemudian jualan koran dan buku.”
Beragam pekerjaan dilakoni untuk bisa bertahan hidup saat hijrah ke Bumi Pasundan.”Bahkan saya sendiri hampir 6 tahun menjual barang rongsokan, itu barang bekas seperti barang elektronik kebetulan saya punya tempat di Pajegalan. Sambil jualan saya urus anak di yayasan terutama mereka putus sekolah dan oarang tuanya petani dan pelaut dan sekarang mereka tidak memiliki keahlian.”
Agar bisa bertahan hidup, mereka bertani dan beternak dengan lahan yang serba terbatas.”Sekarang kita bisa usaha ternak ayam, domba, bebek, ikan lele serta pabrik tempe dan sambil usaha serta ada titipan dermawan kita manfaatkan untuk anak-anak sekolah,” jelasnya.
Sebagian hasil panen di jual ke pasar, sementara sisanya bisa dimakan untuk kebutuhan sehari-hari.”Kalau usahanya sudah berlebih kita jual, ayam misalnya kalau dalam satu bulan panen dan jadwal anak di sini d elapan kali satu bulan makan daging kalau lebih kita jual. Kemudian ikan lele kita lihat harga pasar, kalau bagus kita jual. Jadi di sini tidak hanya di jual tapi juga dimakan untuk anak-anak.”
Pekerjaan lain yang dilakoni adalah membuat tas dari jerami yang dijual ke pasar, tutur Khodijah.”Kami buat tas dari tali tambang dan satunya Rp. 4000 pak, mungkin per-hari kita dapat 1-2 untuk makan minum sehari-hari untuk anak-anak pertama itu 7 0rang. Untuk kehidupan sehari-hari sulit sehari dan pak Hasan itu sampai jual koran dan kita buat anyaman.”
Tidak banyak bantuan yang diperoleh yayasan ini, termasuk dari pemerintah daerah setempat. Meski demikian mereka tak berharap belas kasih. “Bantuan dari provinsi itu setahun sekali untuk bantuan 20-an anak. Tapi kalau dari Sumedang bantuannya 3 bulan sekali sekitar 5 jutaan, jadi per-anak itu sehari makannya Rp. 2 ribu. Kadang lucu untuk menyambung hidup ke depan,” terangnya.
Agar pendapatan yang diperoleh mencukupi, mereka hidup berhemat. Misalnya membatasi jatah makan anak. “Jatah makan dalam satu hari itu kita tetapkan Rp2 ribu, tapi kalau saya hitung-hiting tidak cukup karena beras saja satu hari itu satu karung, untuk beras saja sudah 6 juta. Sementara bantauan dari pemerintah Sumedang hanya Rp. 5 juta dan belum termasuk lauk pauknya.” Tak semua anak bekas pengungsi Timor Leste dapat mengenyam pendidikan tinggi. Salah satu yang beruntung Muhammad Toha. “Baru semester pertama, di sini 4 tahun kalau saya pendidikan agama Islam. Ada teman yang lain ambil jurusan ekonomi, theknik komputer, dan satunya lagi hukum”
Untuk menyiasati hidup dan membiayai kuliah, dia bekerja di beberapa tempat. Termasuk di Yayasan Lemorai Timur. “Kebetulan saya juga memiliki tugas jadwal mengajar sore untuk adik-adik, kemudian di luar saya mengajar di Pusdiklatkom sebagai guru kursus komputer, untuk nambah uang saku, uang tugas, dan juga uang kuliah,” jelasnya. Pendiri yayasan Hasan Bisri mengatakan tenaga pengajar seperti Mohammad Toha tidak digaji. Mereka diminta menyumbangkan ilmunya dilandasi semangat solidaritas. “Mendidik anak-anakpun mereka yang sudah senior istilahnya hanya hibah saja.Ada lulusan dari sini atau teman-teman yang dari luar memiliki solidaritas itu membagi ilmu dan sangat membantu, berjalan saja sampai sekarang lancar,” jelas Hasan.
Kini, Hasan, Khodijah dan Arif menaruh harapan besar terhadap anak-anak pengungsi Timor Leste yang sudah berhasil. “Mahasiswa saja sudah 29 orang sementara sarjana sudah 21 orang kita salurkan. Mereka sudah kerja semua dan ada yang sudah bisa bantu kembali, sebulan Rp150-250 kita tidak persoalkan karena sesuai dengan gaji pertama. Kemudian anak-anak kalau sudah beres bisa kembali ke daerah dan keluarganya bisa hidup, meski dari keluarga tidak mampu bisa menjadi mahasiswa,” pungkasnya.
(Nan, Fik)