indeks
KPPOD: Inpres 1/2025 Ancam Otonomi Daerah, Kenapa?

Berdasarkan catatan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2020, 88% daerah masih bergantung pada transfer dari pusat

Penulis: Siska Mutakin

Editor: Muthia Kusuma

Google News
anggaran
Ilustrasi pemangkasan anggaran dana ke daerah (FOTO: Setkab)

KBR, Jakarta- Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menyoroti Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi belanja yang dinilai bertentangan dengan prinsip penguatan otonomi daerah. Menurut Direktur Eksekutif KPPOD, Armand Suparman, kebijakan ini justru berpotensi berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi di tingkat lokal maupun nasional.

"Penggunaan dari hasil pemangkasan itu diarahkan untuk program prioritas pemerintah pusat. Padahal kita tahu pemerintah daerah itu juga punya program prioritasnya. Bagaimana mungkin kita memindahkan alokasi untuk prioritas daerah kepada program prioritas pemerintah pusat? Kemudian yang kedua kalau lihat di Undang-Undang APBN 2025, bahwa penyesuaian APBN seharusnya itu dibahas bersama DPR, dan pemerintah harus mengajukan RUU Perubahan APBN 2025, bukan langsung mengeluarkan Inpres baru dibahas kemudian bersama DPR RI," ujar Armand dalam sebuah diskusi publik dipantau secara daring pada Selasa, (19/2/2025).

Direktur Eksekutif KPPOD, Armand Suparman juga menyoroti dampak pemangkasan anggaran dalam Inpres 1/2025 serta Keputusan Menteri Keuangan Nomor 43 Tahun 2025. Ia menekankan, pemotongan transfer ke daerah sebesar Rp50,59 triliun akan berpengaruh pada sektor-sektor krusial.

Baca juga:

Rincian pemotongan tersebut meliputi kurang bayar Dana Bagi Hasil (DBH) sebesar Rp13,9 triliun, Dana Alokasi Umum sebesar Rp15,6 triliun, Dana Alokasi Khusus Fisik (DAK) Rp18,3 triliun, Dana Otonomi Khusus Rp509 miliar, Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta Rp200 miliar, dan Dana Desa Rp2 triliun.

“UU APBN 2025, besaran DAK fisik itu sekitar Rp36 triliun, di Inpres itu dipotong Rp18,3 triliun, itu hampir setengah. Kalau kita cek lagi satu persatu. DAK fisik itu terkait dengan konektivitas Rp14,5 triliun, DAK fisik bidang irigasi Rp1,7 triliun, kemudian bidang pangan pertanian Rp675 miliar dan juga bidang pangan akuatik sebesar Rp1,3 triliun gitu ya," jelasnya.

Lebih lanjut, ia menegaskan kebijakan pemangkasan ini tidak melibatkan daerah dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini bertentangan dengan prinsip hubungan keuangan pusat dan daerah yang seharusnya adil, transparan, dan akuntabel. Armand juga mengkritik keputusan penggunaan dana hasil pemangkasan yang lebih diarahkan ke program prioritas pemerintah pusat, bukan untuk kebutuhan daerah.

“Bagaimana mungkin alokasi untuk prioritas daerah dipindahkan ke program prioritas pusat tanpa melibatkan daerah? Ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah semakin kehilangan kewenangan dalam mengatur kebijakan fiskalnya sendiri,” tambahnya.

Baca juga:

Selain itu, Armand menyoroti bahwa efisiensi yang diatur dalam Inpres 1/2025 akan mengganggu belanja infrastruktur serta pelayanan publik di daerah. Ia mencontohkan, pemangkasan anggaran perjalanan dinas berdampak pada instansi seperti Ombudsman yang mengalami kesulitan dalam menindaklanjuti laporan masyarakat karena keterbatasan anggaran.

“Banyak laporan masyarakat yang masuk ke Ombudsman, baik di tingkat nasional maupun daerah. Namun, akibat kebijakan efisiensi ini, instansi pengawasan seperti Ombudsman sulit menjalankan tugasnya karena perjalanan dinas yang menjadi bagian penting dari pengawasan tidak bisa dilakukan,” ujar Armand.

Lebih lanjut, ia menyoroti ketergantungan tinggi daerah terhadap transfer keuangan dari pusat. Berdasarkan catatan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2020, 88% daerah masih bergantung pada transfer dari pusat, kata dia, hal ini menunjukkan tingkat kemandirian fiskal yang rendah. Selain itu, peraturan Kementerian Keuangan yang semakin membatasi ruang gerak daerah dalam mengelola anggaran juga memperburuk situasi ini.

    Retret Kepala Daerah

    Armand juga mengkritisi kebijakan retret kepala daerah yang dinilainya tidak efektif dan justru bertentangan dengan Inpres 1/2025. Ia menilai bahwa retret kepala daerah menambah beban anggaran perjalanan dinas yang seharusnya dikurangi sesuai dengan Inpres.

    "Kalau kita lihat di pemberitaan media selama ini tujuan dari retret ini adalah, salah satunya itu untuk sinkronisasi pembangunan pusat dan daerah. Menurut kami tidak efektif. Kenapa? justru hubungan kewenangan, hubungan keuangan, hubungan pembinaan pengawasan antara pusat dan daerah selama ini itu akarnya itu ada di dalam sejumlah kebijakan strategis di level nasional. Antara lain misalnya ketidak harmonisan antara Undang-Undang Pemda dengan Undang-undang sektoral yang lain, kenapa hal ini tidak disorot untuk mengatasi persoalan terkait dengan hubungan pusat dan daerah ini,” tegas Armand.

    "Kita tahu retret ini juga memberikan beban tersendiri kepada kepala-kepala daerah terpilih. Mereka harus mengeluarkan ongkos untuk perjalanan dan itu tentu berlawanan dengan Inpres 1/2025," pungkasnya.

    KPPOD
    Armand Suparman
    Efisiensi anggaran
    pemerintah daerah

    Berita Terkait


    Komentar

    KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

    Loading...