AI mampu dilatih sensitivitasnya terhadap konten yang memiliki hak cipta. Developer bisa membuat AI memahami petunjuk penggunaan konten.
Penulis: Nafisa Deana
Editor: Valda Kustarini

KBR, Jakarta - OpenAI, pemilik platform ChatGPT, beberapa bulan lalu merilis generator gambar terbarunya pada platform ChatGPT-4o. Pengguna OpenAI memanfaatkannya dengan membuat gambar bergaya khas studio animasi Ghibli asal Jepang. Tren ini mengundang perbincangan soal hak cipta dan dampaknya terhadap seniman.
Tak lama setelah tren AI Ghibli populer, muncul cuplikan video lama dari penemu Studio Ghibli, Hayao Miyazaki yang mengatakan animasi buatan AI merupakan “penghinaan” terhadap kehidupan itu sendiri.
Pernyataan Hayao menjadi diskusi panas para pekerja seni. Seniman yang kontra menilai AI melakukan pencurian terhadap gaya seni. Pertanyaan yang perlu dijawab, jika animasi berlisensi seperti Studio Ghibli bisa dicomot perusahaan AI, bagaimana nasib ilustrator yang masih dalam perjalanan kreatifnya?
Ilustrator dan content creator Puty Puar menyebut art style atau gaya seni adalah identitas seorang seniman. Jika suatu saat identitas tersebut diambil tanpa persetujuan sang seniman dan dikomersialisasi, tentu AI menjadi ancaman yang besar.
“Ketika karya Ghibli dimasukkan ke dalam dataset kemudian dikapitalisasi, lalu kita bayar ke OpenAI untuk bisa generate gambar-gambar Ghibli, aku yakin ini against his (Hayao) will,” ujar Puty.
Meski penggunaan AI pada karya seni bisa jadi tak bisa dipungkiri lagi, namun di sisi lain, Puty juga menekankan AI tidak bisa dijadikan sebagai solusi produktivitas illustrator di industri seni.
“Dari biasa bikin lima halaman, kamu bisa bikin 500 halaman dengan AI. Apakah itu yang dunia butuhkan? Apakah itu yang diinginkan oleh kita para ilustrator? AI digadang-gadang sebagai solusi karena melihatnya pakai lensa ekonomi,” tegas Puty.
Terkait pro-kontra hak cipta pada generator gambar Ghibli, Peneliti Natural Language Processing (NLP) Okky Ibrohim memaparkan AI mampu dilatih sensitivitasnya terhadap konten yang memiliki hak cipta. Bahkan, AI pun bisa diajarkan supaya bisa memahami terms of use dari sebuah konten. Semua tergantung dari developer AI itu sendiri.
“Kalau kita melatih AI-nya dari data-data yang hak ciptanya sah untuk digunakan, mereka pasti men-generate dari situ-situ saja gaya bahasanya. Nggak mungkin kita pakai data A untuk melatih dataset, terus tiba-tiba bisa menirukan gaya bahasa B tanpa kita beri datanya,” kata Okky.
Perlindungan terhadap hak cipta seniman masih dalam proses yang panjang, ditambah dengan kemunculan AI.
Sebelum ada AI, kesejahteraan ilustrator belum sepenuhnya dianggap krusial oleh masyarakat maupun negara. Kini kesejahteraan tersebut semakin terancam sebab masyarakat melihat AI sebagai “pengganti” ilustrator yang lebih murah dan instan.
“Misalnya kita bilang, oh Jepang membolehkan karya-karya dimasukin ke dataset. Tapi mereka secara proteksi terhadap artisnya sudah ajek. Konsumennya memahami karya ilustrasi adalah sesuatu yang harus dibayar. Indonesia punya peta jalan juga belum, market pun belum siap,” papar Puty.
Okky pun menyetujui untuk pemerintah lebih proaktif dalam mengontrol penggunaan AI.
“Udah pasti watchdog-nya pemerintah. Seperti di Eropa payung besarnya si European Commission, misal aplikasi AI ini melanggar GDPR (General Data Protection Regulation), bisa dikenakan denda yang besar,” sebut Okky.
Puty berpesan untuk sesama pekerja seni supaya semakin mengedepankan kemanusiaan dalam karya mereka. Ia percaya AI hanya bisa meniru, tapi tidak memiliki jiwa. Maka, penting bagi pekerja seni agar terus konsisten menyuarakan nilai-nilai yang mereka anut di dalam karyanya sebagai identitas.
“Own your identity, own your story, know your message. Karena cuma bisa itu di saat semua orang lagi digempur AI,” pungkas Puty.
Baca Juga:
Teknologi Kecerdasan Buatan AI Makin Marak, Muncul Tantangan dan Peluang Baru
Menko PMK: Industri Padat Teknologi Mengikis Angkatan Kerja