Dispensasi atau pengecualian usia kawin tercatat 263.862 (8%) selama lima tahun.
Penulis: Aura Antari, Sindu
Editor: Sindu

KBR, Jakarta- Komite Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (CRC) mencecar Delegasi Republik Indonesia (Delri) terkait terjadinya dispensasi atau pengecualian usia kawin.
CRC mengaku mengkhawatirkan praktik tersebut. Menurut CRC, meski usia minimal pernikahan telah resmi dinaikkan menjadi 19 tahun, namun jalan belakang lewat mekanisme dispensasi masih terbuka lebar.
"Kami menerima informasi yang meresahkan, Anda telah menetapkan umur pernikahan menjadi 19 tahun. Tetapi, mengapa dispensasi diberikan? Berapa banyak dispensasi diberi dan di wilayah mana saja?" ujar Wakil Ketua Komite Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa, Phillip D. Jaffe dalam Sidang Hari Pertama Komite Hak Anak di Jenewa, Swiss, Rabu (14/5/2025).
CRC mempertanyakan jumlah dispensasi atau pengecualian yang dikeluarkan, asal wilayah, dan alasan dispensasi diberikan.
"Karena kami memiliki informasi, bahwa kadang-kadang ada lebih banyak kasus daripada yang kami harapkan," ujar Phillip.
"Bukankah pernikahan bisa digunakan untuk melakukan kekerasan terhadap anak-anak? Itu tidak seharusnya terjadi. Mengapa terdapat begitu banyak dispensasi yang diberikan?" tanya Anggota Komite CRC dari Togo, Suzanne Aho dalam kesempatan yang sama.

Respons Indonesia
Menanggapi pertanyaan itu, Direktur Jenderal Pelayanan dan Kepatuhan HAM Kementerian Hak Asasi Manusia, Munafrizal Manan mengklaim, dispensasi kawin hanya untuk anak usia tertentu.
"Sebenarnya, dispensasi diberi pada umur anak 17 dan 18 tahun untuk menikah. Dispensasi tidak diberi pada anak-anak di bawah 17 dan 18 tahun. Itulah jawaban saya," ungkap Munafrizal dalam Sidang Komite Hak Anak di Jenewa, Swiss, Rabu, (14/5/2025).
Sementara itu, Asisten Deputi Perumusan dan Koordinasi Kebijakan Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Muhammad Ihsan mengklaim, kasus-kasus kekerasan dan diskriminasi di Indonesia tidak mencerminkan kondisi keseluruhan pemenuhan hak anak.
"Perlu dicatat, bahwa ketika membahas kasus-kasus terkait anak di Indonesia, itu bukanlah merefleksikan realitas pemenuhan hak asasi di Indonesia secara keseluruhan," kata Muhammad Ihsan dalam sambutan pembukaan mewakili anggota delegasi Indonesia di Jenewa, Swiss.
"Pemenuhan hak anak merupakan aspek fundamental dalam pembangunan sumber daya manusia di Indonesia. Prioritas nasional dalam pemenuhan hak anak sebagaimana tercermin di dalam RPJMN 2025-2029 dan RPJPN 2025-2045 dilaksanakan dengan beberapa strategi," kata Ihsan.
Data Dispensasi Pernikahan Anak
Merujuk jumlah perkara yang terdaftar di pengadilan agama selama 2020-2025, dispensasi atau pengecualian usia kawin tercatat mencapai 263.862 (8%).
Dispensasi masuk lima jenis perkara terbanyak yang terdaftar di pengadilan agama selama lima tahun terakhir. Terbanyak pertama adalah cerai gugat, 1.797.495 perkara.
Dalam lima tahun, Ditjen Badilag Mahmakah Agung menyebut, pengadilan agama di seluruh Indonesia telah menerima 3.118.803 perkara. Rata-rata perkara yang masuk tiap tahun 623.760.

Turun
Pada tahun lalu, pemerintah mengklaim, berhasil melampaui target perkawinan anak yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, yakni 8,74 persen pada 2024.
"Angka perkawinan anak terus menurun dalam tiga tahun terakhir. Pada tahun 2021, angka perkawinan anak menurun dari 10,35 persen menjadi 9,23 persen. Kemudian, menjadi 8,06 persen di tahun 2022, dan menjadi 6,92 persen pada tahun 2023. Hal ini telah melampaui dari target yang telah ditetapkan dalam RPJMN 2020-2024," kata menteri PPPA saat itu, dalam acara peluncuran Panduan Praktis Strategi Nasional Pelaksanaan Pencegahan Perkawinan Anak di Daerah.
Daerah Tertinggi
Secara daerah, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) menjadi wilayah pertama dengan angka pernikahan anak tertinggi di Indonesia. Data itu disampaikan Badan PBB untuk Urusan Anak (Unicef) saat kampanye pencegahan pernikahan anak bertema Gawe Gubuq di Desa Lendang Nangka, Lombok Timur, Selasa, 20 Mei 2025.
Perwakilan UNICEF Indonesia, Muhammad Zubedy mengatakan, ada 6.200 kasus pernikahan anak di NTB sepanjang 2024. Angka tersebut setara 15 persen pernikahan anak yang dicatat UNICEF secara nasional, yaitu 618 ribu kasus.
"Ini perkiraan kami berdasarkan kajian, akan tetapi sampelnya masih kecil. Kemungkinan yang belum tercatat lebih banyak lagi," kata Zubedy kepada Detik.com, Selasa, 20 Mei 2025, seperti dikutip KBR Rabu, 21 Mei 2025.

Faktor
UNICEF Perwakilan Indonesia menyebut, pernikahan anak masih jadi salah satu faktor utama kesenjangan sosial dan kemiskinan. Sebab, pelaku pernikahan secara umum belum matang, baik fisik maupun mental untuk berkeluarga.
Menurut Zubedy, ada beragam faktor penyebab tingginya pernikahan anak. Mulai dari minimnya pemahaman orang tua hingga rendahnya pendidikan.
"Pengetahuan yang masih rendah tentang dampaknya, pola asuh, dan juga faktor pendidikan orang tua juga memengaruhi tingginya angka pernikahan usia anak," imbuhnya.
Kata dia, banyak kasus pernikahan anak tak tercatat, karena tidak melalui pengadilan agama.
"Mereka yang mengajukan dispensasi nikah di pengadilan agama ada juga yang tidak disetujui. Akhirnya banyak yang memilih untuk menikah siri sehingga tidak tercatat di data pemerintah," ungkap Zubedy.
Anak Dipaksa Nikah
Di daerah, kasus pernikahan anak tak melulu lantaran permohonan dispensasi. Ada juga yang terjadi karena paksaan, semisal di Lampung Timur, belum lama ini.
Pemaksaan terjadi setelah dua pelajar digerebek saat berhubungan intim di sebuah rumah di Kecamatan Sekampung Udik, Kabupaten Lampung Timur, Minggu, (9/2/2025). Kejadian itu diketahui dalam sebuah video yang beredar di media sosial.
Dalam video tersebut, sejumlah pria memasuki rumah dan menemukan kedua pelajar tersebut. Setelah itu, kedua anak yang merupakan siswa-siswi salah satu SMA tersebut dinikahkan paksa secara agama oleh keluarga masing-masing.
Suaralampung.id menuliskan, upaya pemerintah setempat untuk memastikan hak-hak mereka terpenuhi.
Kepala Dinas PPPA Provinsi Lampung, Fitrianita Damhuri mengatakan, pemda juga akan memastikan serta menjamin hak memperoleh pendidikan kedua remaja terpenuhi.
"Kami tetap upayakan yang terbaik untuk anak-anak ini, terutama agar mereka bisa melanjutkan sekolahnya. Dan pihak keluarga, lingkungan, bisa tetap mendukung," ujarnya.
Dampak Negatif
Pemaksaan pernikahan anak di Lampung Timur disesalkan Kemen PPPA. Sekretaris Kemen PPPA, Titi Eko Rahayu beralasan, perkawinan anak memiliki banyak dampak negatif sangat besar, semisal terancamnya kesempatan korban memperoleh pendidikan.
"Kami prihatin dengan pergaulan remaja yang semestinya tidak dilakukan sebelum resmi menikah. Namun, di satu sisi kami juga sangat menyayangkan keputusan dari pihak keluarga yang mengambil jalan pintas untuk menikahkan para korban," kata Titi.

Konklusi
Kondisi pernikahan anak di Indonesia, termasuk dispensasi di dalamnya-lah yang menjadi sorotan Komite Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (CRC). Karena itu, sejumlah anggota komite CRC mempertanyakan hal tersebut kepada Delri saat Dialog Konstruktif di Jenewa, Swiss, 14-15 Mei 2025.
Dialog ini adalah tindak lanjut rangkaian penyampaian laporan periodik ke-5 dan ke-6 Indonesia sejak Januari 2021. Dialog tersebut juga bagian dari proses peninjauan CRC terhadap penerapan Konvensi Hak Anak oleh negara-negara pihak.
Selanjutnya, komite akan menyusun konklusi observasi.Konklusi observasi adalah ikhtisar dari laporan periodik dan dialog konstruktif, termasuk rekomendasi komite untuk jadi bahan masukan dan pertimbangan Indonesia dalam penerapan Konvensi Hak Anak ke depan.
Sekilas tentang CRC
Komite Hak Anak (CRC) ialah badan yang terdiri dari 18 ahli independen yang mengawasi penerapan Konvensi Hak Anak oleh negara-negara pihak. CRC juga mengawasi implementasi Protokol Opsional terhadap Konvensi, yakni mengenai keterlibatan anak dalam konflik bersenjata, serta tentang penjualan anak, prostitusi anak, dan pornografi anak.
Dalam 30 tahun ke belakang, kehidupan anak-anak telah berubah signifikan berkat perjanjian HAM yang paling banyak diratifikasi dalam sejarah. Konvensi Hak Anak telah menginspirasi pemerintah mengubah kebijakan dan undang-undang.
Perbaikan juga terjadi terhadap perlindungan anak dari kekerasan dan eksploitasi. Kini, lebih banyak anak yang suaranya didengar dan ikut berpartisipasi di masyarakat, namun masih ada banyak pekerjaan yang perlu dilakukan.
Baca juga:
Simak juga kisah perempuan yang jadi korban kawin anak dalam serial Disclose: Dipaksa Kawin.