indeks
KaburAjaDulu dan PHK Massal, Bukti Krisis Ketenagakerjaan Indonesia?

"Gen Z untuk masuk ke lapangan kerja susah. Tapi banyak perusahaan yang banyak PHK, ya ini akan tambah rumit,"

Penulis: Shafira Aurelia, Muthia Kusuma

Editor: Muthia Kusuma Wardani

Google News
ketenagakerjaan
Ilustrasi generasi muda memviralkan tagar KaburAjaDulu untuk mencari peluang kerja di luar negeri (FOTO: ANTARA)

KBR, Jakarta- Fenomena "kabur aja dulu" menjadi sorotan di kalangan generasi muda Indonesia yang ingin mencari kehidupan lebih baik di luar negeri. Adam (nama disamarkan), WNI yang tengah menempuh pendidikan S2 di Jepang mengingatkan kepada generasi muda yang ingin keluar negeri untuk melakukan persiapan yang matang, agar tidak terjebak dalam keputusan yang gegabah.

Jepang merupakan salah satu negara tujuan favorit warganet yang turut memviralkan #KaburAjaDulu di platform X (Twitter).

Meskipun menawarkan peluang lebih baik, Adam mengingatkan, hidup di luar negeri juga memiliki tantangan tersendiri.

Adam bilang, tinggal di luar negeri bukan hanya soal gaji besar, tetapi juga soal adaptasi dengan budaya dan iklim yang berbeda. Adam mengingatkan tidak semua orang cocok dengan cuaca ekstrem di Jepang atau Eropa.

"Bahasa Jepang susah, budaya mereka juga berbeda. Selain itu, perubahan musim juga menjadi tantangan, terutama bagi yang tidak terbiasa dengan suhu dingin," ucapnya kepada KBR, Jumat, (28/2/2025).

“Kalau nggak tahan dingin, sebaiknya pilih negara yang iklimnya lebih mirip Indonesia,” sambungnya.

Adam menambahkan, peluang kerja di Jepang masih sangat terbuka lebar. Kondisi itu kata dia, berbanding terbalik dengan lowongan kerja di Indonesia yang masih belum memadai. 

"Saat ini tuh Indonesia kan peringkat tertinggi pengangguran di ASEAN, tapi kalau Jepang itu lowongan kerja masih sangat banyak, karena nggak ada yang daftar gitu, nggak ada manusianya. Banyak sektor di Jepang butuh tenaga kerja, dari IT hingga buruh pabrik. Tapi kalau tidak punya skill yang dicari, peluangnya kecil,” kata Adam.

Adam juga mengingatkan, bekerja di luar negeri juga memiliki konsekuensi pajak dan administrasi hukum. 

“Tapi sebelum pindah permanen, pahami konsekuensinya. Bagaimana pajaknya, dan lain-lain,” katanya.

Ancaman Brain Drain

Fenomena brain drain atau migrasi besar-besaran individu berbakat ke luar negeri dinilai dapat menyebabkan kehilangan talenta unggul di Indonesia. Adam menyebut, beberapa negara, seperti Singapura dan Jepang, mulai menarik talenta asing dengan iming-iming beasiswa dan kewarganegaraan.

Menurutnya, jika pemerintah Indonesia tidak serius menghadapi gerakan "Kabur Aja Dulu", maka semakin banyak talenta unggul yang akan menetap di luar negeri.

Baca juga:

"Singapura sadar anggaran beasiswa di Indonesia dipotong, jadi mereka menawarkan banyak beasiswa serta jalur untuk menjadi warga negara mereka," jelasnya.

"Jepang juga sama dia juga lagi nargetin pasar-pasar Indonesia juga gitu, kayak blue collar ataupun yang IT gitu, karena memang di sini nggak ada orang buat kerja," sambungnya.

Data Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) menunjukkan, sebanyak 3.912 Warga Negara Indonesia (WNI) memutuskan pindah jadi Warga Negara Singapura sepanjang 2019-2022.

Pada Festival Gen Z 2023, Direktur Jenderal (Dirjen) Imigrasi, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Silmy Karim bilang, terdapat 1.000 mahasiswa RI yang menjadi warga negara Singapura setiap tahunnya.

Respons Pemerintah Jepang

Duta Besar Jepang untuk Indonesia, Masaki Yasushi mendorong lebih banyak pelajar dan pekerja Indonesia untuk menetap di Jepang. Menurut Masaki Yasushi, pelajar Indonesia dapat melanjutkan studi meski dengan kemampuan bahasa Jepang yang terbatas karena banyak universitas menggunakan bahasa Inggris, dan pekerja terampil dari Indonesia. 

Selain itu, Jepang juga membuka peluang bagi pekerja terampil dari Indonesia untuk masuk ke berbagai sektor industri.

Peluang di dalam negeri

Indonesia terancam kehilangan talenta unggulnya karena peluang kerja dalam negeri belum menjanjikan. Badan Pusat Statistik merilis data, sebanyak 20,31 persen orang berusia 15-24 tahun atau Gen Z berstatus NEET. Artinya, seseorang yang tidak dalam pendidikan, pekerjaan atau pelatihan.

Mereka yang lahir pada tahun 1997-2012 ini berusia di rentang 13-28 tahun. Berdasarkan provinsi, Gen Z yang berstatus NEET ini paling tinggi di Papua Tengah, Maluku, dan Aceh. Sedangkan di Pulau Jawa, tertinggi di Banten dan Jawa Barat.

Kesulitan mendapatkan pekerjaan juga dialami Abdul Rohim, WNI berusia 32 tahun asal Kuningan, Jawa Barat. Dia pernah merasakan betapa sulitnya mencari pekerjaan di Indonesia setelah lulus kuliah S1 di usia 28 tahun. Meskipun sudah mengirimkan banyak lamaran, ia tetap kesulitan mendapatkan pekerjaan karena berbagai syarat yang menurutnya tidak masuk akal.

Salah satu kendala terbesar adalah batasan usia yang ditetapkan perusahaan untuk para pelamar yang baru lulus masa pendidikan.

"Tagar KaburAjaDulu itu bentuk kekecewaan generasi muda, termasuk saya. Saya fresh graduate di usia 28 tahun. Saya merasa miris karena di usia 30 tahun, saya merasa seperti tidak layak lagi mendapatkan pekerjaan baru di bidang baru," ucap Rohim kepada KBR.

"Kenapa saya baru menyelesaikan S1 di usia 28 tahun? Karena tidak semua masyarakat Indonesia mampu secara finansial menyelesaikan pendidikan lebih cepat. Saya harus bekerja dulu untuk menunda perkuliahan saya gitu, walaupun pada saat itu saya lanjut dari DIII ke S1 itu sambil bekerja gitu, hasilnya 28 tahun saya baru lulus," sambungnya.

Kondisi itu membuat Rohim merasa kecewa dengan sistem ketenagakerjaan di Indonesia yang menurutnya kurang menghargai kompetensi dan lebih banyak mengutamakan faktor administratif. Ditambah lagi, kebijakan yang tidak berpihak pada pencari kerja semakin memperparah keadaan, membuatnya semakin pesimistis terhadap masa depannya di Indonesia.

Kondisi ini membuatnya memutuskan untuk mencari peluang kerja di luar negeri. Ia akhirnya bekerja di kapal pesiar Oceania Cruises - Marina. Oceania merupakan kapal pesiar Luxury class dari Norwegian Cruise Line (NCL) group.

wni
WNI asal Kuningan, Abdul Rohim bekerja di kapal mewah perusahaan asing setelah sulit mencapat peluang kerja di Indonesia

Rohim mengaku hal itu termasuk sebuah keputusan yang tidak mudah dan membutuhkan proses panjang selama dua tahun sebelum benar-benar bisa berangkat ke luar negeri.

    Meskipun harus menghadapi tantangan dalam mengurus dokumen, belajar keterampilan baru, dan meningkatkan kemampuan bahasa asing, ia merasa usahanya terbayar karena bisa bekerja sembari keliling dunia. 

    "Sekarang saya bisa keliling dunia digaji, jadi tidak ada salahnya ikut #KaburAjaDulu tetapi dengan persiapan yang matang," ucapnya.

    Rohim menyebut, keputusan ini juga bukan sekadar "kabur," tetapi lebih kepada mencari lingkungan kerja yang lebih menghargai kemampuan tanpa melihat batasan usia atau latar belakang pendidikan secara berlebihan.

    Meski begitu, Rohim mengingatkan, banyak mafia tenaga kerja yang menawarkan jalan pintas ke luar negeri.

    “Prosesnya memang panjang, bisa setahun atau lebih. Tapi kalau ilegal, risikonya besar. Bisa dideportasi dan dilarang masuk kembali ke negara tujuan,” katanya.

    Rohim menyarankan kepada WNI yang berminat mencari kesempatan kerja di luar negeri untuk mencari informasi dari sumber resmi, seperti kedutaan atau program pemerintah. 

    Permasalahan Ketenagakerjaan

    Pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Tadjudin Nur Effendi, menilai, fenomena "kabur aja dulu" merupakan respons dari permasalahan serius di Indonesia, terutama terkait maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) dan kesulitan mencari pekerjaan, khususnya bagi generasi muda.

    "Iya saya pikir kalau PHK-nya banyak, anak-anak muda yang ingin mencari kerja juga banyak, terutama Gen Z untuk masuk ke lapangan kerja susah. Tapi kemudian banyak perusahaan yang banyak PHK ya ini akan tambah rumit," ucap Tadjudin kepada KBR, Jumat, (28/2/2025).

    Menurutnya, gelombang PHK yang terus meningkat disebabkan oleh faktor pasar yang menurun hingga daya beli masyarakat yang melemah.

    Ia mengkritik pemerintah yang dinilai tidak serius dalam mengatasi masalah ini, seperti dalam kasus PT Sritex, di mana janji pemerintah untuk menyelesaikan masalah utang tidak terealisasi.

    Tadjudin juga menyoroti lapangan pekerjaan baru tidak akan tercipta jika investasi tidak datang, dan upaya pemerintah untuk mendatangkan investasi belum terlihat hasilnya.

    "Dulu kalau gak salah tahun 2024, kita banyak bicarakan tentang Undang-Undang Cipta Kerja yang akan mempermudah investasi masuk, tapi ternyata sampai sekarang itu tidak ada hasilnya," jelasnya.

    Dalam konteks ini, ia melihat "kabur aja dulu" sebagai jalan pintas bagi generasi muda untuk mengatasi persoalan pengangguran, dengan mencari pekerjaan di luar negeri sambil menunggu pemerintah menciptakan lapangan kerja yang memadai di dalam negeri. Ia menekankan pentingnya pemerintah untuk segera mengambil tindakan nyata dan implementasi kebijakan yang cepat agar masalah ini dapat diatasi.

    Baca juga:

    #KaburAjaDulu
    Jepang
    Amerika Serikat
    Ketenagakerjaan
    PHK
    Generasi Z

    Berita Terkait


    Komentar

    KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

    Loading...