Provinsi baru Kalimantan Utara tak bisa berlama-lama
Penulis: Antonius Eko
Editor:

Provinsi baru Kalimantan Utara tak bisa berlama-lama ‘berpesta’, pasalnya begitu banyak pekerjaan rumah yang harus digarap setelah Menteri Dalam Negeri meresmikannya menjadi provinsi ke 34 pada Agustus nanti.
Selain menyiapkan pembentukan perangkat daerah seperti sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah, serta unsur perangkat daerah lainnya, Kaltara juga bakal menghadapai berbagai masalah, termasuk lingkungan sebagai dampak dari kebijakan pemprov Kalimantan Timur, saudara tua Kaltara.
Salah satu yang paling penting adalah konversi hutan. Ketika disahkan sebagai provinsi baru, alih fungsi ini akan semakin tinggi. Pasalnya, Kaltara harus meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), sehingga besar kemungkinan mengorbankan hutan untuk menarik investor.
Hutan juga bakal tergusur oleh pengembangan infrastruktur perkotaan dan kabupaten. Berkaitan dengan pengembangan perkotaan, kawasan pantai dan daerah aliran sungai juga berpotensi besar menjadi rusak. Pasalnya, tipikal kota-kota di Kaltim dan Kaltara berada di pinggir atau mengikuti daerah aliran sungai.
Direktur Eksekutif Walhi Kaltim, Isal Wardhana mengatakan, beberapa kabupaten yang bergabung di Kaltara, seperti Bulungan, Malinau, Tanah Tidung dan Nunukan daratan masih memiliki hutan yang sangat banyak. Salah satunya di Taman Nasional Kayan Mentarang, yang ada di perbatasan Malinau dan Nunukan.
Kata Isal, hutan-hutan itu bakal menghadapi ancaman perluasan pertambangan dan perkebunan. Belum lagi rencana pembukaan jalan yang menembus kawasan hutan lindung.
“Apalagi dilihat dari Master Plan Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (MP3I) koridor Kalimantan. Daerah-daerah itu akan dibangun jalan dan infrastruktur untuk mempermudah distribusi pengangkutan dari sumber-sumber daya alam yang akan digali di kawasan hulu,” tambahnya.
Kawasan pesisir laut juga bakal diacak-acak oleh pihak swasta yang sudah mengantongi izin Hak Pengelolaan Pesisir Pantai (HP3) dan jumlah pemegang izin ini, kata Isal, bakal terus bertambah.
“Kalau penambangan pasir pantai Nunukan skalanya kebanyakan dilakukan oleh masyarakat kecil, tapi kalau misalkan itu adalah pasir nikel itu yang lebih berbahaya sebenarnya, itu digali oleh perusahaan-perusahaan besar.”
Isal meminta Pemprov Kaltara benar-benar mematuhi undang-undang tata ruang, dimana minimal 30 persen wilayah adalah kawasan hijau. Kaltara, katanya, masih punya potensi koservasi atau daerah perlindungan masyarakat yang tinggi dan semua warganya bergantung pada kawasan hutan.
Dia meminta Kaltara jangan mencontoh cara Kaltim untuk meningkatkan perekonomian dengan mengorbankan kekayaan alam. Kata Isal, Kaltara masih memiliki hutan primer yang bagus sehingga harus hati-hati mengelola sumber daya alam. Pasalnya, kalau terlalu dieksploitasi, bakal terjadi kehancuran seperti di Kaltim.
“Tidak ada salahnya pemerintah provinsi meningkatkan PAD, tapi yang harus dilihat adalah kemampuan secara lingkungan hidup, kemampuan secara ekologi untuk PAD itu. Jadi tak kemudian mengorbankan masyarakat demi PAD.”
Namun Isal masih percaya dengan karifan masyarakat lokal untuk menyelamatkan alam. Pasalnya, posisi masyarakat adat yang ada di dalam dan sekitar hutan dilindungi undang-undang.
“Perlindungan flora dan fauna sebetulnya kuncinya di masyarakat. Kalau kita punya sekitar tujuh juta hektar kawasan hutan yang sekarang masih ada, artinya terdiri dari hutan primer, itu semua yang mengelola masyarakat. Kalau dikelola korporasi, hutan itu akan hancur. Hubungan dengan masyarakat ini yang sebenarnya harus dijaga oleh pemprov Kaltara,” tutup Isal.