indeks
Hari Tani 24 September, Urusan Politik Cawe-cawe Ketahanan Pangan

Ketahanan pangan di Indonesia banyak mendapatkan pengaruh dari adanya campur tangan urusan politik didalamnya.

Penulis: Ken Fitriani

Editor: R. Fadli

Google News
Hari Tani
Guru Besar Bidang Ilmu Tanah Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Gunawan Budiyanto saat ditemui di sela acara Masa Ta'aruf UMY, (23/9/2024). (Foto : KBR/Ken)

KBR, Yogyakarta - Hari Tani Nasional ke-64 yang diperingati setiap 24 September 2024 menjadi refleksi untuk berbagai komoditas pertanian di tanah air. Terlebih, kebijakan hukum impor dan ekspor pangan yang memberikan pengaruh cukup signifikan kepada ketahanan pangan.

Guru Besar Ilmu Tanah Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Gunawan Budiyanto mengatakan, ketahanan pangan di tanah air bisa dilihat dari beberapa aspek. Mulai dari ketersediaan pangan, akses pangan, hingga pemanfaatan pangan.

Namun ironisnya, kata Gunawan, ketahanan pangan di Indonesia banyak mendapatkan pengaruh dari adanya campur tangan urusan politik didalamnya.

"Yang terjadi sekarang, lebih banyak dipengaruhi keputusan politik. Selalu, selama ini, dari beberapa kali rezim itu kan selalu kebijakan politik yang dimunculkan, sehingga selalu saja kebijakannya adalah impor dan impor. Tentunya ada yang diuntungkan dari impor itu, padahal potensi panen petani, saya pikir cukup bisa memenuhi kebutuhan pangan kita," katanya saat ditemui KBR Media di sela acara Masa Ta'aruf UMY, Senin (23/9/2024).

Gunawan menjelaskan, apabila petani disediakan atmosfer yang tepat, justru potensinya akan sangat luar biasa. Hal ini, menilik balik dari beberapa kejadian, diantaranya pada 1998 dan saat pandemi Covid-19 lalu. Petani di Indonesia terbukti memiliki kemampuan beradaptasi yang sangat baik.

"Ini dilihat dari adanya upaya perubahan sistem ekonomi yang dilakukan petani menjadi barter di beberapa wilayah. Akan tetapi, kebijakan politik saat ini banyak dicampur-tangankan ke pangan di Indonesia," ujarnya.

Menurut Gunawan, selama ini petani di Indonesia masih kurang dibimbing memanfaatkan sumber daya alam dengan maksimal. Karenanya, untuk menuju ketahanan pangan yang baik, pemerintah perlu melakukan pembentukan Kelompok Tani dan Koperasi Unit Desa (KUD) seperti pada saat Orde Baru.

"KUD pada saat zaman Orde Baru, bisa memerdekakan petani secara ekonomi, sehingga para petani dapat merancang proses budidaya tanaman yang ingin dilakukan," tukasnya.

Terpisah, Dosen Program Studi Agribisnis UMY, Oki Wijaya menambahkan, sebenarnya pelaksanaan impor dan ekspor sangat diperbolehkan untuk dilakukan, karena perdagangan luar negeri memberikan manfaat.

Namun, hal tersebut perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut untuk kasus ketahanan pangan seperti kebutuhan untuk stabilitas harga, banyaknya cadangan pangan yang dibutuhkan, serta banyaknya preferensi konsumen dari produk impor.

“Hal ini, agar impor yang dilakukan tidak menimbulkan excess supply (situasi dimana jumlah barang yang ditawarkan lebih besar dari jumlah permintaan). Sebab ini akan berdampak pada jatuhnya harga pangan di bawah harga pasar sehingga dapat merugikan petani sebagai produsen,” jelasnya.

Berkaitan dengan pelaksanaan impor beras, kata Oki, pemerintah juga belum melaksanakan impor dengan sebagaimana mestinya.

Ini diindikasikan dengan adanya kelebihan cadangan pangan yang pernah terjadi, dan justru menyebabkan kelebihan biaya, pada biaya penyimpanan yang ditanggung oleh Bulog.

"Dampak pelaksanaan impor beras yang kurang baik dapat kita rasakan juga saat ini. Misal, Bank Dunia mengungkapkan bahwa harga beras di Indonesia jauh lebih mahal 20 persen dibandingkan harga beras di pasar global. Bahkan harga beras di Indonesia lebih tinggi dari negara tetangga ASEAN lainnya, " pungkasnya.

Baca juga:

Perubahan Harga Beras selama 10 Tahun Jokowi Memimpin

Pakar: Pembangunan Pertanian di Era Jokowi Gagal

hari tani nasional

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...