indeks
Deteksi Kanker Limfoma Lewat Teknologi Terkini, Kenali dan Waspadai Gejalanya

Pakar menjelaskan PET scan memungkinkan dokter menentukan stadium penyakit dengan lebih akurat, sehingga terapi bisa lebih tepat sasaran dan membuat peluang sembuh dari kanker limfoma.

Penulis: Naomi Lyandra

Editor: Resky Novianto

Audio ini dihasilkan oleh AI
Google News
cancer
Ilustrasi kanker. (ANTARA/Pixabay)

KBR, Jakarta- Perjalanan pasien kanker limfoma atau kelenjar getah bening di Indonesia dalam dua dekade terakhir menunjukkan perubahan besar. Jika dulu pasien terbebani biaya tinggi dan akses informasi terbatas, kini layanan kesehatan melalui BPJS, sistem rujukan, serta kemajuan teknologi medis membuat peluang penyembuhan semakin terbuka.

Perkembangan Teknologi Medis Permudah Penanganan

Dokter Spesialis Penyakit Dalam, konsultan hematologi-onkologi medis di MRCCC Siloam, dr. Ralph Girson Gunarsa, Sp.PD-KHOM menilai perkembangan teknologi medis sangat memengaruhi penanganan kanker limfoma.

“Pada utamanya harus ada pemeriksaan histopathologi. Sekarang ini ada metode baru untuk penentuan stadium, khusus untuk limfoma, yaitu namanya PET scan,” jelasnya dalam siaran Ruang Publik KBR, Senin (15/9/2025).

PET scan memungkinkan dokter menentukan stadium penyakit dengan lebih akurat, sehingga terapi bisa lebih tepat sasaran. Ralph menegaskan, tingkat kesembuhan limfoma sebenarnya cukup tinggi.

“Kalau stadium awal bisa 90% lebih yang sembuh, kalau stadium 4 masih 70% lebih," katanya.

Ia juga meluruskan mitos yang masih berkembang di masyarakat, salah satunya anggapan bahwa biopsi berbahaya.

“Sama sekali tidak benar, biopsi itu adalah satu-satunya cara untuk memastikan diagnosis limfoma,” tegasnya.

Meski layanan kesehatan kini jauh lebih baik, namun tidak serta merta terlepas dari suatu tantangan. Ralph mengatakan, tidak semua daerah memiliki fasilitas PET scan atau pusat kanker dengan dokter subspesialis. Namun, kata dia, Indonesia kini lebih siap dibanding dua dekade lalu.

“Kalau dengan berkembang pengetahuan tentu kita sudah bisa dibilang siap terutama di berbagai kota besar. Limfoma ini adalah cancer yang curable dan berarti bisa disembuhkan,” ujarnya.

Pengalaman Penyintas

Penyintas kanker limfoma dari Cancer Information and Support Center (CISC), Agnes Emmy, mengenang masa awal dirinya didiagnosis pada 2004.

Saat itu, ia kerap mengalami demam, batuk, mudah lelah, dan akhirnya muncul benjolan di payudara dan ketiak. Setelah diperiksa, ia didiagnosis mengidap limfoma burkitt, salah satu jenis kanker yang agresif.

“Limfoma itu, sepengetahuan saya, membutuhkan biaya yang sangat besar. Pada saat saya alami benar-benar menguras kantonglah, mahal,” ujar Emmy dalam siaran Ruang Publik KBR, Senin (15/9/2025).

Kala itu, Emmy harus menanggung sendiri biaya kemoterapi dan radioterapi yang ia jalani hampir setahun, tanpa jaminan kesehatan seperti BPJS Kondisi ini, kata dia, sering membuat pasien menunda pengobatan atau mencari alternatif lain yang justru berisiko.

Kini, Emmy melihat situasi berbeda. Dengan adanya BPJS, pasien kanker tidak lagi harus menanggung beban biaya sepenuhnya.

“Tentunya saat ini jauh banget lebih bagus ya, ada BPJS, ada layanan rujukan, dan ada komunitas yang membantu,” tambahnya.

red
Enam strategi dalam program pencegahan dan pengendalian kanker. Foto: kemenkes.go.id
advertisement

Deteksi Dini dengan Rajin Melakukan Pemeriksaan

Direktur pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kementerian Kesehatan dr. Siti Nadia Tarmizi M.Epid mendorong masyarakat untuk rajin memeriksakan kesehatan seiring dengan pergeseran penyakit tidak menular termasuk kanker yang semakin besar.

“Kita tau namanya penyakit tidak menular itu tiga hal yang lebih banyak berpengaruh mulai dari genetik, lingkungan, dan perilaku, walaupun seringkali kita tidak tahu kenapa kanker ini tapi dari tiga hal itulah kebiasaan-kebiasaan dan perilaku sehat termasuk skrining kesehatan itu menjadi penting,” kata Nadia dalam diskusi mengenai limfoma hodgkin di Jakarta, dikutip dari ANTARA.

Salah satu kasus penyakit tidak menular yang mengalami kenaikan kasus adalah kanker limfoma hodgkin yang menempati urutan ke 26 di dunia. Di Indonesia, kasus kanker limfoma menempati posisi ke 27 dan sekitar 1.294 kasus terjadi dengan kasus kematian 373 jiwa berdasarkan data Global Cancer 2022.​​​​​​​

Kanker Limfoma termasuk Salah Satu Kasus Terbesar

Nadia mengatakan dibandingkan kasus kanker yang jadi prioritas Kementerian Kesehatan, yakni kanker leher rahim, kanker payudara, kanker usus, kanker paru serta kanker anak, kasus kanker limfoma termasuk jenis kanker dengan kasus yang besar.

“Kanker limfoma hodgkin memang kalau kita lihat usianya ini pada usia 10-49 tahun, jadi benar-benar pada usia-usia produktif, tapi harapan hidupnya cukup besar asal jangan kena second attack, nanti malah menurunkan survivalnya,” kata Nadia.

Ia mengatakan peran grup pendukung menjadi penting untuk memberikan kesadaran bagi masyarakat terhadap penyakit limfoma serta menjadi “rumah” bagi para pejuang dan penyintas kanker.

Ia juga berharap BPJS terus memberikan ketersediaan obat untuk para pasien kanker dan mengupayakan kemandirian farmasi serta ketersediaan ruang rawat untuk memberikan pelayanan terbaik.

red
Prevalensi kanker nasional per seratus ribu penduduk pada pasien BPJS Kesehatan tahun 2022 (menurut region). Foto: kemenkes.go.id
advertisement

BPOM Sudah Beri Izin Edar Dua Produk Terapi Kanker

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memberikan izin edar untuk dua produk baru terapi kanker, yaitu Etapidi dan Brukinsa, yang dikembangkan oleh PT Etana Biotechnologies Indonesia dan pengembang pengobatan onkologi BeiGene.

Kepala BPOM Taruna Ikrar mengatakan, dengan adanya kemudahan akses pada obat kanker, beban keuangan negara dapat dikurangi. Menurutnya, kanker bukan hanya menjadi keprihatinan di Indonesia, namun juga secara global.

“Time Magazine bahkan khusus membahas tentang kanker delapan tahun lalu. Ini menunjukkan betapa ilmuwan dan dokter masuk di fase frustasi dalam mengatasi kanker,” katanya di Jakarta 12 Desember 2024, dikutip dari ANTARA.

Dia menjelaskan, segala upaya dilakukan untuk mengupayakan terapi kanker, mulai dari tingkat molekul, in vitro, dan terapi klinis.

Ini disebabkan karena kanker sangat berbeda dengan penyakit lainnya, kata Taruna, karena memiliki reseptor dan antigen yang dapat berbeda-beda jumlah dan jenisnya antara satu pasien dengan pasien lainnya.

“Karena itu, BPOM berusaha mempercepat akses masyarakat Indonesia pada obat inovatif. Saat ini, obat inovatif baru mendapatkan izin edar setelah 300 hari kerja (1 tahun 6 bulan). Kami akan upayakan dipercepat menjadi 120 hari kerja,” katanya.

Dia menyebutkan, pemberian izin edar dua produk tersebut diharapkan bisa mempercepat masyarakat untuk mengakses obat kanker yang berkualitas.

Apa itu Kanker Limfoma?

Mengutip dari Halodoc, limfoma atau kanker kelenjar getah bening adalah kanker darah yang bisa menyebabkan pembengkakan pada kelenjar getah bening.

Kanker ini bermula saat sel kanker menyerang limfosit (salah satu sel darah putih) yang berperan penting dalam kekebalan tubuh.

Limfosit memiliki tugas untuk melawan infeksi bakteri dan virus yang masuk ke tubuh.

Tak hanya di aliran darah, limfosit juga ada di berbagai bagian dan jaringan tubuh. Termasuk di kelenjar getah bening, limpa, timus, sumsum tulang, dan saluran pencernaan.

red
Deteksi dini Kanker Limfoma. Sumber: kimiafarmaind
advertisement

Penyebab Limfoma

Limfoma terjadi ketika sel darah putih dalam sistem limfatik berubah (bermutasi) menjadi sel kanker yang tumbuh dengan cepat dan tidak mati.

Seperti kebanyakan penyakit kanker, sebagian besar mutasi genetik yang jadi penyebab limfoma terjadi secara spontan, tanpa penyebab yang dapat diidentifikasi.

Namun, ada beberapa faktor yang bisa membuat seseorang lebih berisiko mengalami penyakit ini. Contohnya, paparan radiasi dan jenis bahan kimia tertentu.

Benzena dan beberapa bahan kimia pertanian sudah terlibat. Orang yang terpapar di tempat kerja, yang memiliki risiko paling tinggi, harus mengikuti panduan kesehatan kerja untuk meminimalkan paparan bahan kimia tersebut.

Bagi orang yang sistem kekebalannya tertekan, paparan virus seperti virus Epstein-Barr atau HIV juga dapat meningkatkan risiko limfoma.

Jenis-Jenis Limfoma

Secara umum, limfoma terbagi menjadi dua jenis, yaitu:

1. Limfoma hodgkin

Limfoma Hodgkin adalah jenis yang terjadi ketika limfosit tipe B berkembang secara tidak normal. terjadi Nah, limfosit tipe B (sel-sel kekebalan tubuh) berkembang secara tidak normal menjadi sel-sel Reed-Sternberg.

Sel-sel ini kemudian menyebar ke berbagai bagian tubuh melalui pembuluh limfatik. Kadar limfosit B yang berlebihan ini dapat mengganggu daya tahan tubuh dan membuat pengidapnya lebih rentan terhadap infeksi.

2. Limfoma non-hodgkin

Limfoma non-Hodgkin adalah jenis yang berasal dari kelenjar dan saluran limfe atau sel-sel limfoid yang lain. Keduanya adalah organ yang berfungsi sebagai bagian dari kekebalan tubuh.

Pada pengidap penyakit ini, jumlah limfosit terus membelah tetapi tidak bisa berkembang secara normal. Hal ini membuat limfosit menumpuk di kelenjar dan saluran limfe sehingga menimbulkan berbagai gangguan kesehatan di berbagai organ tubuh.

red
Ilustrasi Kanker Limfoma pada anatomi tubuh manusia. Foto: iccc.id
advertisement

Faktor Risiko Limfoma

Terdapat beberapa faktor yang bisa meningkatkan risiko terjadinya limfoma. Misalnya:

  1. Orang berusia 15-30 tahun (limfoma Hodgkin), dan orang berusia lanjut atau di atas 60 tahun (limfoma non-Hodgkin).
  2. Pengidap obesitas.
  3. Memiliki anggota keluarga yang mengidap jenis kanker ini sebelumnya.
  4. Berjenis kelamin laki-laki.
  5. Mengidap penyakit autoimun, yakni penyakit yang menyerang sistem kekebalan tubuh seperti HIV atau AIDS, rheumatoid arthritis, atau lupus.
  6. Mengalami infeksi virus tertentu seperti virus hepatitis C, Epstein-Barr, atau herpes HHV8.
  7. Selain pada orang dewasa, kanker ini juga bisa terjadi pada anak.

Gejala Limfoma

Limfoma mungkin tidak selalu menimbulkan gejala pada tahap awal. Namun, dokter mungkin menemukan gejala limfoma seperti pembesaran kelenjar getah bening selama pemeriksaan fisik. Kondisi ini mungkin terasa seperti benjolan kecil dan lunak di bawah kulit. Seseorang mungkin merasakan pembesaran kelenjar getah bening pada beberapa area tubuh, seperti: Leher, dada atas, ketiak, perut, pangkal paha.

Selain itu, pada tahap awal gejala penyakit ini seringkali tidak tersadari oleh pengidapnya. Hal ini membuat gejala tersebut mudah terabaikan.

Gejala awal yang umum tersebut meliputi:

  • Panas dingin.
  • Batuk.
  • Kelelahan.
  • Pembesaran limpa.
  • Demam.
  • Keringat malam.
  • Gatal-gatal.
  • Sesak napas.
  • Kulit gatal.
  • Sakit perut.
  • Kehilangan selera makan.
  • Penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

Obrolan lengkap episode ini bisa diakses di Youtube Ruang Publik KBR Media

Baca juga:

-  SE Larangan Demo Pelajar: Pakar Tekankan Pentingnya Hak Kebebasan Berekspresi

Punya Aset Tanah dan Bangunan? Jangan Ragu Rencanakan Warisan

kanker
kanker limfoma

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...