indeks
Catatan Akhir 2023, Koalisi Sipil: Aturan Dipreteli, Demokrasi Semu, Empat Pilar Negara Ambruk

Koalisi Masyarakat Sipil menilai demokrasi di Indonesia dibikin mundur, dengan cara pelemahan aturan perundang-undangan oleh penguasa. Demokrasi Indonesia bergerak menuju demokrasi iliberal (semu).

Penulis: Resky Novianto

Editor:

Google News
Catatan Akhir 2023, Koalisi Sipil: Aturan Dipreteli, Demokrasi Semu, Empat Pilar Negara Ambruk
Aliansi Mahasiswa Papua menggelar aksi menuntut pembebasan Haris Azhar-Fatia di Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat (1/12/2023). (Foto: ANTARA/Hasrul Said)

KBR, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil menilai demokrasi di Indonesia dibikin mundur, dengan cara pelemahan aturan perundang-undangan oleh penguasa. Demokrasi Indonesia bergerak menuju demokrasi semu.

Deputi Eksekutif Nasional WALHI, Muhammad Islah mengatakan demokrasi Indonesia sedang dipreteli dengan cara mengubah beberapa peraturan-peraturan perundang-undangan.

"Undang-undang yang direvisi oleh pemerintah dijadikan sebagai instrumen untuk membungkam orang-orang atau kelompok yang tidak pro-pada penguasa. Undang-Undang ITE, UU Minerba, dan UU Cipta Kerja menggambarkan hal demikian," kata Islah, dalam rilis Koalisi Masyarakat Sipil "Diskusi dan Catatan Akhir Tahun 2023 tentang Kondisi Demokrasi, Hukum dan Hak Asasi Manusia" yang diterima KBR, Jumat (29/12/2023).

Koalisi Masyarakat Sipil ini terdiri dari IMPARSIAL, ELSAM, Lingkar Madani, Centra Initiative, WALHI, Kontras, Setara Institute, Forum De Facto, PBHI Nasional.

Selain itu, kata Islah, UU Cipta Kerja juga dipakai untuk menutup ruang-ruang demokrasi. Di sektor lingkungan saja, ada tiga persoalan sangat serius. Pertama, penegakan hukum dilemahkan. Kedua, kejahatan lingkungan diputihkan. Ketiga, partisipasi warga dihabisi.

Baca juga:


Di pihak lain, Sekretaris Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia PBHI Gina Sabrina menyebut demokrasi di Indonesia saat ini menunjukkan tanda-tanda bergeser ke arah demokrasi iliberal alias demokrasi semu atau demokrasi kosong.

Menurut Gina, hal itu ditandai dengan beberapa indikator. Misalnya terjadinya upaya partisan dengan memanfaanfaatkan lembaga negara yang lahir dari reformasi menjadi instrumen kekuasaan, politisasi hukum, politik sanedra terhadap oposisi dan melawan oposisi di akar rumput hingga politisasi militer.

Mundur Sejak 2019

PBHI mencatat berbagai peristiwa kemunduran demokrasi ini telah dimulai pascapemilu 2019. Mulai dari konsolidasi lawan Pemilu menjadi "sekutu", termasuk partai lawan untuk mengkonsolidasikan kekuatan dan mengkooptasi lembaga negara.

PBHI menyebut ada upaya pembuatan skenario yang sangat rapi untuk memundurkan demokrasi di Indonesia. Mulai dari isu perpanjangan jabatan presiden tiga periode, penempatan penjabat daerah dari unsur TNI, POLRI hingga "incumbent" di belakang layar.

"Puncak pembajakan MK dan penambahan batas syarat pencalonan dilanjutkan dengan skenario pengkondisian Pemilu, seperti pelibatan aparat pertahanan dan keamanan dalam proses kampanye, penerbitan PP 52/2023 tentang Cuti Dalam Kampanye Pemilu, Perubahan UU ITE untuk membungkam kelompok kritis terhadap pemilu hingga wacana pemilihan tidak langsung di RUU Daerah Khusus Jakarta," kata Gina Sabrina.

Baca juga:


Jadi negara kekuasaan

Ketua Centra Initiative, Al Araf menyatakan Presiden Jokowi telah meruntuhkan pilar-pilar negara hukum demi kekuasaaan. Indonesia sebagai negara hukum, kata Al Araf, kini telah diubah menjadi negara kekuasaan.

"Negara hukum itu dicirikan dengan empat pilar. Pertama, penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia. Kedua, peradilan yang independen. Ketiga, pemerintahan yang berdasar kepada undang-undang. Keempat, pembagian kekuasaan (power sharing). Empat pilar negara hukum itu kini ambruk. Dengan demikian, negara hukum (rechstaat) yang menjadi cita konstitusi negara itu mati dan kini menjadi negara kekuasaan (machstaat)," kata Al Araf.

Al Araf mengatakan Presiden Joko Widodo tidak melakukan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Ia menyebut salah satu indikator terbesarnya adalah diabaikannya pelanggaran HAM berat masa lalu.

"Bahkan, yang lebih menyakitkan, Jokowi berkoalisi dengan pelanggar HAM dan menjadikan anaknya sebagai pendamping pelanggar HAM tersebut sebagai cawapres pada Pilpres 2024. Selain itu, kebebasan sipil secara faktual terancam. Kriminalisasi atas pegiat HAM terjadi, seperti dalam kasus Haris dan Fatia," kata Al Araf.

Ia menilai saat ini pemerintahan juga tidak tunduk pada peraturan perundang-undangan. Yang terjadi, justru jalannya pemerintahan dilakukan dengan mengakali peraturan perundang-undangan.

"Dalam kondisi demikian, power sharing tidak terjadi. Yang ada adalah kooptasi atas cabang-cabang kekuasaan, bahkan terjadi intimidasi terhadap kekuasaan yang berbeda dengan kekuasaan politik Jokowi," lanjut Al Araf.

Editor: Agus Luqman

demokrasi
HAM
Catatan Akhir Tahun 2023
Koalisi Masyarakat Sipil
KontraS

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...