Presiden Joko Widodo memerintahkan para menterinya mengecek penyebab deflasi yang telah terjadi lima bulan beruntun atau sejak Mei hingga September 2024.
Penulis: Ardhi Ridwansyah
Editor: Agus Luqman

KBR, Jakarta - Presiden Joko Widodo memerintahkan para menterinya mengecek penyebab deflasi yang telah terjadi lima bulan beruntun atau sejak Mei hingga September 2024.
"Pertama coba dicek betul deflasi itu karena penurunan harga-harga barang, karena pasokannya baik, karena distribusinya baik, karena transportasi nggak ada hambatan, atau karena memang ada daya beli yang berkurang." ujar Jokowi, Minggu, (6/10/2024).
Jokowi memerintahkan agar, baik deflasi maupun inflasi, dikelola dengan baik. Keseimbangan antara kedua kondisi ini penting untuk menjaga stabilitas harga, agar produsen dan konsumen tidak dirugikan.
Menurut data Badan Pusat Statistik BPS, tingkat deflasi bulanan sebesar 0,12 persen. Sedangkan secara tahunan terjadi inflasi 1,84 persen.
Meski deflasi sudah lima bulan berturut-turut, para menteri masih anteng dan menganggap situasi ekonomi belum genting. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, indikator daya beli masyarakat harus dilihat dari banyak sisi. Dari indeks kepercayaan konsumen hingga indeks ritel. Ia menyebut indeks-indeks itu masih di level stabil.
“Yang kita harapkan bisa menciptakan level harga makanan di level yang stabil rendah itu baik untuk konsumen di Indonesia, terutama menengah bawah mayoritas belanjanya adalah untuk makanan. Sedangkan dari core inflation-nya masih tumbuh kita perlu untuk meneliti, apakah itu merefleksikan demand berarti ekonominya masih tumbuh dan memang umumnya sekitar 5%,” kata Sri Mulyani.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian juga mengeklaim, daya beli masyarakat masih kuat. Tito berdalih deflasi hanya terjadi pada sektor tertentu saja.
"Karena yang terjadi penurunan adalah sektor pangan, sementara daya beli masyarakat tetap meningkat, karena ditandai dengan inflasi inti yang di luar makanan minuman, itu terjadi kenaikan, demand masyarakat tetap tinggi," kata Tito dalam rapat koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah yang disiarkan YouTube Kemendagri, Senin (7/10/2024).
Sementara Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan menyebut deflasi terjadi lima bulan beruntun karena harga pangan terlalu murah.
“Kalau harga terlalu murah, kalau saya ngomong terlalu murah pasti di-bully lagi nih, cabai terlalu murah, misalnya patokan kita Rp40 ribu di pasar Cuma Rp15 ribu itu langsung bangkrut petaninya, atau telur standar kita kan sekarang Rp28 ribu kalau dia harganya cuma Rp24 ribu itu tutup, nah ini memang ada beberapa yang terlalu murah, nah ini yang terlalu murah kita belum ada jalan untuk membantunya kan,” katanya di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (4/10/2024).
Baca juga:
- BPS Catat Deflasi 0,12 Persen di September 2024, Lima Bulan Beruntun
- Deflasi Picu Pelemahan Daya Beli, Pengusaha Isyaratkan Bahaya
Kelompok buruh termasuk yang paling menderita dari kondisi ekonomi saat ini. Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia KASBI, Nining Elitos mengatakan deflasi tidak membuat pekerja bahagia. Apalagi, banyak pekerja kena PHK, dan mengalami pemotongan gaji.
"Kalau deflasi itu kan seharusnya dengan murahnya barang, masyarakat bisa menjangkau untuk membelinya. Praktiknya kebutuhan masih juga mahal, kemudian pendapatan rakyat tidak sesuai dengan apa yang harus dikeluarkan oleh masyarakat, ditambah lagi situasi tidak adanya keberlangsungan pekerjaan, tidak adanya pendapatan yang layak, sehingga ini akan mempengaruhi baik ekonomi di daerah maupun secara nasional," kata Nining kepada KBR, Senin (7/10/2024).
Nining meminta situasi ini harus segera disikapi pemerintah, dengan menghentikan pemborosan anggaran. Dia mendorong ada langkah konkret untuk meningkatkan pendapatan pekerja, memperluas lapangan kerja, dan menyalurkan bantuan sosial untuk mendongkrak daya beli.
Direktur Eksekutif lembaga kajian ekonomi INDEF, Esther Sri Astuti menilai sikap adem para menteri itu bentuk ketidak seriusan pemerintah menangani deflasi.
Menurut Esther, ketidakseriusan itu terlihat dari tidak adanya kebijakan konkret pemerintah untuk memberikan bantalan ekonomi pada kelas menengah hingga bawah. Padahal, laju inflasi dan kenaikan upah dalam 10 tahun terakhir tidak sebanding. Begitu juga serapan tenaga kerja sektor formal kian menyusut.
"Saat ekonomi lesu maka kebijakan pemerintah yang diharapkan adalah kebijakan ekspansif, baik sisi moneter maupun sisi fiskal. Kalau tidak maka ini merupakan early warning system untuk resesi. Solusi yang harus dilakukan adalah turunkan tingkat suku bunga," ujar Esther kepada KBR, Senin (7/10/2024).
Direktur Eksekutif INDEF Esther Sri Astuti menyebut, kini masyarakat dihadapkan pada kondisi sulit untuk bisa mengatur keuangan, khususnya kelas menengah.
Dari catatan INDEF, kontribusi konsumsi kelas menengah terhadap PDB menurun dari 41-an persen pada 2018 menjadi 36,8 persen di 2023. Esther mendorong Bank Indonesia segera menurunkan suku bunga acuan atau BI Rate, sebagai salah satu upaya menangani deflasi. Saat ini suku bunga BI di level 6,25 persen.
Baca juga:
- Deflasi Lima Bulan Beruntun, Alarm Bahaya Ekonomi Indonesia?
- Deflasi Beruntun, Ini Saran Ekonom untuk Prabowo Cegah Krisis 99 Terulang